Bobo doll experiment dari Albert Bandura menggunakan dua kelompok anak usia dini, kelompok eksperimen diberi tontonan kartun dengan kelompok kontrol tanpa perlakuan apapun. Hasilnya adalah anak yang mendapat tontonan menjadi lebih agresif dibandingkan anak pada kelompok kontrol. Proses ini menggelitik dan menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa tidak ada satu kelompok anak yang menonton dengan dampingan orang tuanya?
Bukankah menjadi orang tua memerlukan jawaban “how”. Jika dokter, pilot, bahkan tukang jahit diajarkan keahlian tentang bagaimana menjalankan perannya, bagaimana dengan orang tua?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas orangtua mengasuh anaknya dengan “learning by doing” lalu apa bedanya dengan “trial and error” ?
Apakah artinya menjadi orang tua tidak perlu persiapan? Apakah bila nanti tiba saatnya, maka berarti it’s time to practice. Dan pada saat itu saya melakukan riset sederhana dan mendapatkan hasil bahwa 83% ibu yang sudah memiliki anak mengaku bahwa mereka baru mempelajari hal seputar pengasuhan anak ketika sudah tau akan punya anak (mengandung), dan sisanya baru mempelajari hal seputar pengasuhan setelah melahirkan anak.
Menjadi seorang pengasuh, menjadikan kita menjadi seorang pembelajar, karena seandainya jika ada seseorang yang sudah ikut pengajian parenting berkali-kali, lalu kuliah dengan jurusan psikologi sampai dengan master, lalu apakah secara otomatis dia akan siap menjadi orangtua? Tentunya tidak. untuk itulah mengapa kita kita sama-sama belajar menjadi orangtua
Mengapa mengasuh harus disiapkan dari sekarang? karena anak adalah tanggung jawab terbesar yang dititipkan Allah dan akan diminta pertanggungjawabannya. Dari sudut pandang Islam, tertulis dalam QS An-Nisaa: 9 yang artinya:
“Dan hendaklah takut orang yang meninggalkan dibelakang mereka, anak-anak keturunan yang kalian khawatir terhadap mereka. maka bertakwalah pada Allah dan berkata yang benar/jujur.”
dan hendaklah takut, siapa? ‘orang yang meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah’ apa yang dimaksud dengan lemah? ayat ini terselip diantara ayat-ayat tentang mawaris (pewarisan) yang menjadi banyak orang salah tangkap, anak-anak lemah karena tidak ditinggali harta yang cukup. Tapi yang dimaksud lemah sebenarnya adalah lemah karena tidak memiliki kesiapan untuk menghadapi tantangan zamannya. ‘Maka bertaqwalah, dan ucapkan kalimat yang benar, kalimat yang jujur’ bagaimana kita bisa mengucapkan kalimat yang benar, jika tidak ada ilmu mengenai hal itu? Seperti apa makna ‘berkata benar’ itu? ingat, berkata benar berarti mencakup segala perkataan perilaku dan keputusan yang kita berikan kepada anak kita.
Jika tanpa ilmu, tanpa sadar kita bisa mengatakan hal yang tidak benar terhadap anak kita. Sebagai contoh jika suatu saat seorang ibu menghadapi anak balitanya yang jatuh ketika lari-lari, lalu ia kesakitan, ia bisa saja mengatakan.. ‘Gapapa ini, besok juga sembuh..’ yang ternyata besok harinya si anak mendapati lukanya masih sakit. ‘Oooh ini mejanya nakal..sini ibu pukul mejanya’ yang membuat anaknya mudah menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dia perbuat sendiri ‘Alaaah gapapa itu sakit segitu aja, udah gapapa jangan nangis..’ yang membuat anak menjadi tidak memiliki empati kepada orang lain Suatu saat jika ibu harus pergi dari rumah lalu anaknya nangis, kemudian dititipkan pada pembantunya atau neneknya lalu dialihkan perhatiannya lalu ibunya pergi. Suatu saat jika ingin menyuapi anaknya makanan sehat lalu anaknya tidak mau makan, lalu mengelabui dulu ke gelas teh yang manis, tapi padahal isinya asin? yang ternyata membuat si anak menganggap ‘boleh berbohong’ jika tujuannya untuk kepentinganmu. Suatu saat ketika kita sedang sibuk dengan urusan pekerjaan lalu anak balita kita rewel, lalu kita berikan handphone di usia balita? yang ternyata membuat si anak lebih lekat kepada gadget dibandingkan dengan orangtuanya.
Pengetahuan mengenai cara berkata yang benar harus kita siapkan sejak sekarang, Benar perkataan, sikap, perbuatan, dan keputusan. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah memerintahkan para pemuda yang sudah ‘mampu’ untuk menikah.. mampu disini bukan hanya mampu bayar rumah kontrakan, atau mampu beli rumah, beli kendaraan atau mampu bayar sekolah anak. Mampu disini adalah sadar dengan pernikahan tersebut kita akan menghasilkan keturunan dan harus mampu untuk mengasuh dan mendidik keturunan tersebut. Bagi yang laki-laki, konsekuensi dari pernikahan berarti akan memimpin rumah tangga. Sejauh mana kita sudah siap jadi pemimpin dalam rumah tangga? Bagi para perempuan, konsekuensi dari pernikahan adalah untuk tugas perempuan sederhana, cukup taat pada suaminya. Tapi mudahkah merendahkan ego untuk taat kepada suami?
Perkara mendidik keturunan saat ini menggaris bawahi gap generasi di masyarakat sebagai jawaban dari alasan menyiapkan kemampuan mengasuh sebelum menikah. Generasi Y adalah generasi transisi antara X dan Z, sedangkan generasi Alpha, generasi mendatang, sudah harus beradaptasi dengan 4 tantangan utama mengasuh anak, sebagai berikut;
1. Gap generasi, Recovery masa kemerdekaan RI membuat sebagian besar orangtua dikala itu (generasi baby boomers dan gen X) memiliki mindset bahwa jika anak mau sukses, maka anaknya harus mengisi pos-pos industri sehingga orientasi target akademis tinggi pada anak-anaknya. Kita generasi Y dibekali dengan pendidikan setinggi-tingginya tapi ternyata tidak dibekali dengan kemampuan mengasuh anak, bahkan mindset yang lazim dimiliki masyarakat hari ini adalah “mengasuh adalah hal natural yang nanti akan juga bisa didapatkan seiring dengan berjalannya waktu” ini sama dengan istilah yang sudah disinggung diawal ‘learning by doing’ dan ‘trial and error’. Akhirnya, bagi generasi Y cita-cita yang terbersit akan ada seputar menjadi dokter, pilot, guru, dan insinyur dibuktikan anak-anak pada jaman ini disibukkan dengan kegiatan akademis, Sekolah – PR – Les – Sekolah – PR – Les dst.
2. Ketika tidak memiliki kesiapan mengasuh, kita akan cenderung menggunakan cara pengasuhan hasil observasi dari lingkungan terdekat. Misalnya kita akan menggunakan kembali cara mengasuh yang digunakan oleh orangtua kita dulu walaupun kadang kala ada beberapa sisi yang tidak kita sukai, (sering dimarahi, sering dibandingkan, mudah diremehkan, terlalu kolot, pemikiran yang kaku dll) tapi rupanya secara tidak sadar kita mengulangi hal tersebut jika tidak memiliki pengetahuan bagaimana cara merubahnya. Bukan bermaksud menyalahkan cara pengasuhan orang tua kita dahulu, tapi itulah cara terbaik yang bisa mereka lakukan di zamannya, ingat! di zaman orangtua kita parenting belum marak seperti sekarang. Nah, ketika menggunakan cara pengasuhan orangtua kita dulu terhadap anak kita, ini menjadi masalah tersendiri karena kita akan mengasuh generasi Alpha! yang pola pikirnya, gaya hidupnya, tantangan di zamannya akan sangat berbeda dengan jaman orangtua kita dahulu. apa yang terjadi jika gaya pengasuhan Gen X, dipakai untuk mengasuh generasi Alpha? ini menyebabkan terjadi kesenjangan generasi yang bisa menyebabkan pola asuh kita tidak optimal.
3. Generasi Alpha adalah generasi Digital native, yang sejak kecil sudah mengenal teknologi. Sehingga mereka sekarang hidup, belajar, bergaul, bahkan bernafas dengan internet. Tantangan mengasuh menjadi semakin besar dengan terjangan arus bebas informasi yang dapat diakses oleh anak kita kapan pun dan dimanapun. perlu diketahui, di masyarakat kita (Indonesia) terjadi satu fenomena yaitu Gegar budaya (cultural shock) yaitu ketika teknologi berkembang sangat cepat, tidak dibarengi dengan kemampuan para orangtua untuk mendampingi anaknya mengenal teknologi dengan baik. Akhirnya muncul dua tipikal orang tua; orangtua permisif, adalah orangtua yang membiarkan anaknya kenal teknologi sendirian tanpa pendampingan, tipikal orangtua ini menyebabkan anak terpapar hal-hal negatif yang ada di internet. Tipikal kedua adalah orangtua parno, yang menganggap internet adalah berbahaya dan akhirnya menutup akses anaknya dengan teknologi/internet yang mana lebih berbahaya karena menyebabkan anaknya mencari teknologi sendirian dan terjadi kesenjangan dengan orangtuanya. Inilah beberapa data dan fakta yang terjadi di masyarakat kita akibat gegar budaya dengan teknologi. 1. Sebanyak 95 dari 100 anak SD mengaku sudah pernah melihat pornografi (terbukti dengan riset tim edukasi Kakatu setiap kali melakukan edukasi di sekolah). di tahun yang sama, menunjukan bahwa 4,3 juta situs porno dibuat setiap harinya. jika dulu orang harus mencari pornografi jika ingin melihatnya, sekarang pornografi yang mencari anak-anak kita dengan agresif. 2. Pembentukan dopamin (hormon yang membuat seseorang merasa senang) di golden age terstimulasi oleh gadget sehinggal kelekatan anak kepada gadget melebihi kelekatan anak kepada orangtuanya. 3. Adiksi games sampai dengan total penggunaan gadget yang tidak wajar, data terparah yang pernah kami dapatkan adalah anak-anak SD di kota Bandung ada yang masih main HP sampai jam 4 pagi. jika tidak sigap dengan tantangan mengasuh di era digital, anak-anak hari ini terancam: BLAST (Bored, Lonely, Afraid,Angry, Stress, Tired) hidupnya membosankan, kurikulum di sekolah menjadi semakin berat, ditambah lagi dengan tuntutan orangtua harus les, Kesepian, tidak ada teman cerita, komunikasi orangtua dengan anak buruk, Afraid Angry, Stress dan Tired (kelelahan). Anak-anak BLAST sangat rentan terhadap bullying, peer pressure, konten dan value yang tidak baik, sasaran empuk pebisnis pornografi, dan budaya hidup tidak sehat. padahal anak-anak yang akan kita besarkan hari ini dan 87 juta anak lainnya akan mengisi semua posisi pemimpin di negeri ini di tahun 2045, 100 tahun kemerdekaan Indonesia ada yang jadi dokter, guru, peneliti, birokrat, menteri, bahkan presiden. Bisakah kita bayangkan apa yang terjadi di negeri ini jika generasi penerusnya terancam BLAST? Salah satu dari 87 juta anak itu adalah anak kita. Yuk kita sama2 belajar mengasuh anak (parenting) dari sekarang. Sadari bahwa anak kita adalah amanah. Bayangkan jikalau kita dititipkan satu buah benda berharga oleh seorang presiden, apa yang akan kita lakukan? Pastinya kita akan menjaga barang tersebut dengan sangat hati-hati. Bahkan jangan sampai ada satu gores pun pada benda tersebut. Sekarang kita akan dititipkan seorang anak oleh yang maha memiliki alam semesta, dalam keadaan baik-baik, dalam keadaan suci, seberapa kali lipat kita harus berhati-hati menjaga titipan tersebut? Jangan sampai kita mengembalikannya atau mempertanggungjawabkannya dalam keadaan yang rusak. untuk menutup sesi awal ini, mengutip perkataan sayyidina Ali bin Abi Thalib, Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena ia hidup di zamannya, bukan di zamanmu
Tanya jawab
1. David
1.Bagaimana solusi mengatur kebiasaan anak di sekolah dan dirumah? Aturan, pengawasan dirumah dan di sekolah tentu ada perbedaan. Misal : gadget di sekolah dilarang, dirumah boleh dengan pengawasan orangtua. Jikalau anak protes, karena membandingkan teman sebaya di sekolah bebas menggunakan gadget di rumah dan ayah/ibunya ketahuan anaknya sering main gadget online?
2. Bagaimana merubah tabiat anak jalanan yang masuk remaja untuk diajarkan akhlak? Padahal akhlak idealnya sudah diajarkan pada anak-anak usia balita/sebelum remaja.
~ Bagiamana mengatur kebiasaan anak menggunakan gadget, salah satu caranya adalah dengan membuat kesepakatan diawal. Artinya saat awal anak mulai memegang gadget, bentuk kesepakatan contohnya seperti mau lihat apa, mau main berapa lama, dan waktu selesai bermain. Kesepakatan ini dilakukan sebelum memberikan gadget ke anak. Jika anda membelikan gadget pribadi ke anak ada tiga hal yang perlu didiskusikan:
1. Diskusikan kebutuhan, butuh gadget untuk apa? Jika butuh gadget untuk komunikasi dengan orangtua dari sekolah cukup handphone yang bisa menelfon dan sms saja. Jika butuh gadget untuk membantu tugas sekolah, tidak perlu handphone (HP) canggih seperti Samsung 7, Iphone 7, dan HP dengan spesifikasi tinggi lainnya. Jika butuh HP untuk bermain game, masuk ke tahapan diskusi berikutnya
2. Diskusikan resikonya, diskusikan kepada anak terkait resiko yang akan dia hadapi ketika menggunakan gadget dan internet (resiko kecanduan, resiko konten negatif, dan adab-adab berinteraksi). Bayangkan jika kita sedang mengajari anak kecil naik sepeda, apa yang dia rasakan? Cemas, was-was, khawatir lalu kita akan mengatakan kepada anak untuk berhati-hati, memberi berbagai wejangan; hati-hati jaga keseimbangan, nanti ada polisi tidur, hati-hati banyak motor, dsb. Sama halnya ketika kita memberikan sebuah gadget, anak perlu tau resiko yang akan dia hadapi supaya menghindarinya.
3. Diskusikan tanggungjawabnya, diskusikan tanggung jawabnya ketika terlanjur terkena resiko yang sudah diberi tahu.
Sebuah tips menarik yang bisa kita contoh, seorang ibu di US membuat surat perjanjian dengan anaknya sebelum memberikan gadget, salah satu bunyinya seperti ini;
“Mama berikan HP untuk kamu, tapi HP ini milik mama, kamu boleh menggunakannya untuk menunjang kebutuhan sehari-hari kamu. Karena HP ini milik mama, sewaktu-waktu mama mau lihat atau mama mau ambil, kamu harus mengizinkannya.”
Cara ini bisa digunakan untuk mengantisipasi kasus orangtua yang kesulitan mengakses HP anaknya karena diberi ‘password’ dan alasan privacy.
2. Mila Jovovich
Kalau baca materi, semacam sesuai sama candaan teman-teman saya jaman SMA yang intinya anak-anak itu hasil trial and error orangtua,, hehehe … Tapi setelah dipikir serius, mungkin ada benarnya. Anak pertama mungkin udah jadi semacam “korban” trial and error supaya orang tua bisa belajar untuk adik-adiknya. Nah disini emang sih ada aja teman-teman saya yang lebih bermasalah dibandingkan adik-adiknya, atau kakak-kakaknya. Secara keilmuan kondisi begini benar nggak ya? Atau asumsi aja? Hehehe… ada yang jusru belajar dari pengalaman itu dan jadi orangtua yang lebih baik, tapi ada juga yang menurunkan pola didik yang kurang baik ke anak-anaknya. Pertanyaan saya, buat yang sudah terlanjur dapet pola asuh yang kurang baik, dirinya perlu melakukan apa supaya nggak menurunkan pola didik yang sama ke anak-anaknya? Atau saya sebagai sahabatnya, bisa melakukan apa supaya anak-anak mereka nggak menjadi generasi hasil trial and error lagi?
~ Perbedaan hasil pola asuh anak pertama dan anak kedua dst bisa jadi adalah salah satu indikasi dari kekurang siapan orang tua untuk mengasuh, jadi betul-betul ‘trial and error’ padahal mengasuh anak kan tidak bisa diulang kembali, kalau ingat slogan salah satu produk minyak kayu putih “Buat anak kok coba-coba”
Tapi, tidak ada kata terlambat untuk menyadari pentingnya pola asuh apa yang akan kita berikan ke anak kita nanti, selama seseorang mau belajar memahami diri dan belajar menghadapi tantangan. Kuncinya terdapat pada 2 hal itu tadi; SADAR dan TAU. Sadar bahwa perlu belajar mengasuh anak, sadar bahwa ada tantangan pengasuhan yang semakin banyak seiring dengan perkembangan zaman, dan tau apa saja yang perlu dilakukan untuk membekali diri sehingga bisa mengasuh anak dengan baik. Jika memang ada ‘karakter’ yang tidak bisa lepass akibat dari pengasuhan orangtua terdahulu, kita bisa ikut pelatihan ‘forgiveness therapy’ atau ‘healing innerchild’
Mila Jovovich
Sayapun mungkin bungung mau ngapain kalau nanti punya anak. Teman saya bahkan ada yang sampai menangis ketika menyusui karena tidak tahu harus ngapain. Sarannya akan saya jadikan referensi
~ Ada beberapa hal yang bisa disiapkan secara konkret untuk mempersiapkan kemampuan mengasuh, kita bahas pasca sesi tanya jawab.
Innerchild sederhananya adalah sosok anak kecil yang berada dalam diri kita. Ada orang yang innerchild nya baik ada juga yang kondisinya buruk atau bisa dikatakan trauma.
Sebagai contoh:
Prankk!!! (terdengar suara gelas pecah). “Kok dipecahin sih gelasnya?!!” Semua kata-kata negatif terlontar pada anak kecil yang sedang bermain dan tak sengaja menyenggol gelas di sebuah meja. Gelas seakan jauh lebih mahal dibandingkan harga diri anak. Sebenarnya, orangtua juga memahami bahwa anak jauh lebih mahal daripada gelas. Tapi entah mengapa emosi pad situasi itu tidak terkendali sehingga dengan agresifnya orangtua memarahi anaknnya sendiri. Masalah seperti itu sering terjadi karena innerchild kita msih bermasalah. Masalah mood dan emosi seperti kecewa berlebihan, bimbang, agresif bahkan seringkali menimbulkan kekerasan fisik dikarenakan permasalahan innerchild yang masih belum terselesaikan di masa lalu. Masalah ini bisa berdampak besar karenaakan membentuk skema emosi yang sama pada anak kita, turun menurun, terus ke generasi selanjutnya. Makadari itu, penting bagi kita untuk memberikan penanganan yang tepat.
Innerchild itu berwujud rekaman masa lalu yang masih teringat dan terbayang sampai saat ini. Saya yakin pasti banyak hal yang sudah kita lalui bersama orangtua, entah itu kenangan baik atau buruk. Nah kenangan buruk inilah yang perlu diwaspadai, jangan sampai kita meneruskan kenanagan ini ke anak kita kelak. Hal yang perlu dilakukan adalah berdamai dengan masa lalu, maafkan kenangan pahit saat itu, dan ikhlaskan.
3. Gita dan Karrama
Mohon maaf sebelumnya, perkenalkan saya Gita dari Makassar. Aku kan masih awam tentang ilmu parenting nih kak. Sedangkan dari penjelasan kakak ada beberapa kata-kata yang sudah menjadi “budaya” yang sering dilakukan orang tua. Apa sih kata dan sikap yang sebaiknya kita lakukan jika kita dihadapkan seperti kasus Anak jatuh yang di’bohongi’ besok akan langsung sembuh. Bagaimana saya harus bersikap?
~ Orang tua harus konsisten, jika sudah membuat kesepakatan dengan anak, tepati kesepakatan itu apapun kondisinya, jangan mengalah karena alasan ‘ga tega’ dengan anak, jika sering kendor aturannya, anak akan terus mencari celah supaya bisa membujuk orangtuanya. Konsisten juga berarti orangtua harus membuat kesepakatan dengan seluruh orang dewasa atau anak lainnya dalam keluarga yang terlibat langsung dalam pengasuhan si anak. Misalnya istri,suami, anak pertama dengan kakek, nenek, juga asisten rumah tangga.
Jika tanpa ilmu, tanpa sadar kita bisa mengatakan hal yang keliru kepada anak. Sebagai contoh, jika suatu saat seorang ibu menghadapi anak balitanya yang jatuh ketika lari-lari, lalu anak merasa kesakitan, Ibu bisa saja mengatakan ‘Gapapa nak besok juga sembug’ yang ternyata besok harinya si anak mendapati luka yang masih sakit. ‘Oh… ini mejanya nakal, sini ibu pukul mejanya’ ini sadar tidak sadar mendidik anak untuk menyalahkan orang/hal lain di luar dirinya atas kesalahan yang ia buat sendiri. ‘ Alaaaah gapapa itu sakit segitu aja, udah nggakpapa jangan nangis…’ ini membuat anak tidak berempati kepada orang lain. Suatu saat jika ibu harus pergi dari rumah lalu anaknya nangis, kemudian dititipkan pada pembantunya atau neneknya lalu dialihkan perhatiannya lalu ibunya pergi.. Suatu saat jika ingin menyuapi anaknya makanan sehat lalu anaknya tidak mau makan, lalu mengelabui dulu ke gelas teh yang manis, tapi padahal isinya asin? yang ternyata membuat si anak menganggap ‘boleh berbohong’ jika tujuannya untuk kepentinganmu. Suatu saat ketika kita sedang sibuk dengan urusan pekerjaan lalu anak balita kita rewel, lalu kita berikan handphone di usia balita? yang ternyata membuat si anak lebih lekat kepada gadget dibandingkan dengan orangtuanya.
Bagaimana harus bersikap?
jika mendapati anak jatuh, apa yang harus dilakukan? memang tidak harus melakukan apa2 peluk dulu sampai emosinya stabil, jangan dihentikan tangisnya, biarkan dia mengalirkan emosinya sampai selesai.. kemudian sapa perasaannya.. ‘sakit yaa kakinya’ semoga lekas sembuh yaa.. sambil dielus2 atau beri pertolongan langsung jika memang lukanya besar dan butuh pertolongan.. sampai emosinya stabil, tidak perlu mengatakan apapun, apalagi menasehati.. menasehati bisa saja jadi salah satu komunikasi populer yang sering dilakukan oleh orgtua yang justru menyebabkan miss komunikasi dengan anaknya.. menasehati disaat yang tidak tepat, misal kasusnya ketika anak sedang mengangis atau anak sedang tantrum.. setelah emosinya stabil, baru boleh dinasehati dengan baik.. misalnya: adik jatuh karena lari2 yaa.. nah sekarang adik tau, kalo lari2 kencang, kita bisa jatuh, lain kali larinya harus lebih hati2 ya! lebih baik mengatakan seperti ini daripada bilang ‘jangan lari2!’
4. Robbi Aulia Helmi
Bagaimana pendapat kang Saad tentang Homeschooling karena disini bonding antara orangtua dan anak bisa sangat dekat. Saya melihat pola asuh ini dari Bunda Septi Peni dan menginspirasi saya untuk melakukan hal yangg sama kelak. Namun pada beberapa kasus, homeschooling menyebabkan anak tidak banyak memiliki teman dan menjadi ansos. Disisi lain, saya memiliki planning bahwa anak saya kelak harus menjadi hafidz atau hafidzah. In case, diupayakan masuk pesantren, ya sangat bertabrakan. Mohon pencerahan kang, mungking kang Saad bisa membuat titik temu antar keduanya?
~ Homeschooling pastinya orangtua harus sudah siap dengan menjadi provider pendidikan anak dari segala aspek, psikologis, akademis, lifeskills dsb. Nah terkait ansos, rasanya homeschooling yang baik idealnya tak akan membuat anak menjadi ansos, karena skill bersosialisasi menjadi salah satu ‘kurikulum’ yang harus orangtua siapkan juga dalam proses pendidikan. Buktinya jika mengambil contoh dari bu Septi Peni, ketiga anaknya adalah entrepreneur yang skill sosialnya tidak diragukan lagi, bahkan mereka semua memiliki skill public speaking diatas rata-rata, mungkin lebih baik dari anak yang sekolah formal. Terkait cita-cita menjadi hafidz atau haafidzah ini baik sekali, namun jangan lupa, peran orangtua dalam mendidik tetap yang utama. Sekolah/pesantren hanyalah sarana untuk mencapainya. Jangan sampai kita ‘mensubkontrakkan’ anak kita pada sekolah/pesantren, dalam artian karena merasa anak sudah sekolah di pesantren, lalu orangtua sudah tenang dan tinggal memetik hasilnya.
Robbi Aulia Helmi
saya ngeliat case temen lain kang hehe jadi agak ansos.. mungkin karena perbedaan kurikulum yaa. hem baik kang 🙂 kalau kang Saad dihadapkan pada pilihan. anak kang Saad mengikuti apapun keputusan orangtuanya. kang Saad akan memilih Homeschooling atau sekolah formal atau pesantren?
terkait kurikulum sekali lagi saya belum tau yah kurikulum ideal home schooling itu seperti apa.. kalo temen-temen tertarik mau angkat home schooling jadi pembahasan khusus, nanti bisa sayasambungkan ke pakar home schooling untuk mengisi sesi sharse selanjutnya pada intinya home schooling dilakukan ketika orangtua ingin menerapkan sistem pendidikan yang lebih tepat dengan tujuan pengasuhan anaknya.. jika anak jadi ansos, mungkin skill bersosialisasinya luput dari kurikulum yang diterapkan orangtuanya.
~ kalo saya cenderung ke sekolah formal kang 🙂 dengan pertimbangan saya perlu tau dulu tujuan pendidikan sekolahnya dan lingkungan yang dibentuk oleh sekolah tsb
Bagaimana dengan keluarga yang mengalami divorced dan broken home sehingga kehilangan salah satu sosok orangtua dan tidak mendapatkan pola asuh seimbang?
~ idealnya pendidikan parenting akan berjalan sempurna dan beriringan ketika dilakukan oleh orangtua yg lengkap. namun bagaimana keadaannya, jika orangtuanya divorced.
betul, idealnya pendidikan dan parenting butuh peran lengkap ibu dan ayah.. Jika anak mendapat kasih sayang hanya dari ibu, namun tidak mendapatkannya dari ayah, ia seperti bendungan dengan air berlimpah, namun temboknya rapuh.. Jika anak mendapat kasih sayang hanya dari ayah, namun tidak mendapatkannya dari ibu, ia bagai bendungan kokoh yang kering tak berisi. Kultur kita terlanjur melekat kuat bahwa urusan anak adalah urusan Ibu. jangankan pada keluarga yang mengalami divorce, keluarga yang lengkap pun masih banyak ditemukan peran pengasuhannya tidak seimbang. yah dan Ibu memiliki porsi masing-masing dalam membangun bendungan jiwa anak. Perannya saling melengkapi. Dan yang perlu ditekankan adalah bukan lengkap jumlah atau personnya yang paling penting, tapi lengkap fungsinya. Jika kita ada pada suatu kondisi tidak ideal, tetap lengkapi peran yang hilang dari kakek atau nenek, paman atau bibi, kakak, atau orang dewasa lainnya yang bisa jadi panutan.. Dan pihak yang terlibat dalam pengasuhan anak harus kompak dan konsisten terhadap batasan dan nilai yang dibuat oleh pemimpin keluarga.. Jika peran pengganti juga sulit didapatkan, sebagai orangtua tunggal kita perlu berperan ganda, menjadi ayah sekaligus menjadi ibu.
5. Ayu Jannat
Apa saja resiko dari mengasuh anak dengan menggunakan metode ‘learn by doing’ kak? Kalau boleh mohon dipaparkan hasil riset terkait itu jika ada?
~ Resiko dari mengasuh anak learn by doing ada risetnya? Belum ada.. tapi coba deh kalo misalnya kita ngelakuin sesuatu dengan cara learn by doing, selalu ada celah untuk melakukan kesalahan. Sebetulnya bukan berarti kita harus siap dulu tau segala hal baru boleh mengasuh anak, menjadi seorang pengasuh selalu menjadikan kita seorang pembelajar. belajar sejak dini bertujuan untuk meminimalisir resiko kesalahan perkataan, perbuatan dan keputusan yang akan kita ambil untuk mengasuh anak kita kelak.
Sebagai contoh, ada sharing cerita dari teman di kelas pendampingan kehamilan yang saat ini sedang saya ikuti. Saat ini dia sedang mengikuti probram VBAC karena dulu melahirkan anak pertamanya dengann caesar dan mendapatkan banyak intervensi dari pihak rumah sakit karena pada waktu itu dia tidak memiliki pengetahuan tentang proses persalinan. Dia bilang menyesal baru ikut kelas pendampingan kehamilan setelah hamil anak kedua.
Bagaimana cara ‘merehabilitasi’ anak-anak yang sudah telanjur di posisi dimana kelekatannya pada gadget melebihi kelekatan pada orangtua?
~ Carikan alternatif kegiatan yang lebih menarik atau minimal sama menariknya dengan gadget, jangan sampai orangtua bilang ‘jangan main hape terus!’ Tapi tidak menyediakan aktivitas lain yang menarik untuk anak. mungkin kegiatan fisik, misalnya; menunggangi kuda, berenang, memanah, book hunter, camping Bersama ayah. diantara tips & triknya bisa lihat lagi jawaban saya soal cara mengatur kebiasaan anak menggunakan gadget. tambahannya, kenali karakteristik digital native dan pengasuhan seperti apa yang tepat untuknya, pelajari bagaimana cara mendampingi anak mengenal teknologi, kenalkan anak pada teknologi sesuai dengan kebutuhannya, diskusikan dengannya terkait resiko2nya, diskusikan juga tanggungjawabnya, beri aturan waktu dalam menggunakan gadget, dan yang paling utama lakukan semua itu dengan komunikasi yang benar, baik dan menyenangkan..
Adakah pilihan lain selain menjadi orangtua yang permisif atau parno di era digital sekarang? Bagaimana cara mempersiapkan dari sekarang, mohon tips dan triknya?
~ Orangtua permisif dan parno hanyalah 2 tipe akibat dari fenomena gegar budaya di masyarakat kita. Pilihan lainnya tentu menjadi orangtua yang bijak di era digital yang sadar dengan tantangan mengasuh di era digital, kenal karakteristik anak era digital dan tau bagaimana cara mengasuhnya.
Seringkali ada fakta bahwa terjadi ketidak kompakan antara sang ayah dan ibu terkait pola asuh bahkan dalam menentukan keputusan tertentu untuk anaknya. Sayangnya resikonya pun berakibat ke mental sang anak. Nah, bagaimana cara mengantisipasi hal tersebut dimulai sejak tahapan memilih pasangan halal dan berlanjut ke tahap-tahap selanjutnya?
~ Lanjutan pertanyaan terakhir dri Ayu 4. Seringkali ada fakta bahwa terjadi ketidak-kompakkan antara sang ayah dan ibu terkait pola asuh atau bahkan dalam menentukan keputusan, tertentu untuk anaknya. Sayangnya, risikonya pun berakibat ke mental sang anak. Nah, bagaimana cara mengantisipasi hal tersebut dimulai sejak tahapan memilih pasangan halal dan berlanjut ke tahapan-tahapan selanjutnya? diantara tips & triknya bisa lihat lagi jawaban saya soal cara mengatur kebiasaan anak menggunakan gadget. tambahannya, kenali karakteristik digital native dan pengasuhan seperti apa yang tepat untuknya, pelajari bagaimana cara mendampingi anak mengenal teknologi, kenalkan anak pada teknologi sesuai dengan kebutuhannya.. diskusikan dengannya terkait resiko-resikonya, diskusikan juga tanggungjawabnya, beri aturan waktu dalam menggunakan gadget, dan yang paling utama lakukan semua itu dengan komunikasi yang benar, baik dan menyenangkan.
Hak pertama anak kita di dunia ini adalah dipilihkan ayah/ibu yang baik untuknya 🙂 tentunya jadi tugas bagi yang sedang mencari calon pendamping untuk benar2 memilih pendamping sesuai yang pas dengan frame diri kita. bagaimana cara mengenalnya? apakah harus dijalani dengan masa perkenalan (ta’aruf) yang bertahun-tahun? ingat! “Mengenal calon pasangan sebelum nikah bukanlah jaminan pernikahan akan berlangsung dengan baik, karena semua sifat asli akan muncul setelah menikah sehingga proses mengenal pasangan adalah proses seumur hidup.” sampaikan pandangan hidup dan rencana-rencana pengasuhan anak kita ketika berkenalan dengan calon pasangan, tanyakan pula bagaimana pandangannya dalam hal pengasuhan anak. Jika sudah satu pandangan, satu aqidah, mau saling membuka diri, mau saling menjaga komunikasi, mau saling bekerjasama, insya Allah kedepannya akan terjalin kekompakkan dalam rumah tangga kita, insya Allah
12 Gaya Populer/ Gaya Parentogenic
12 Gaya populer atau istilahnya adalah gaya parentogenic, adalah gaya yang biasa digunakan oleh orangtua. Saking umumnya digunakan oleh orangtua bahkan secara turun-temurun, kita menganggap kalimat-kalimat itu adalah kalimat yang wajar. emangnya ini kalimat yang tidak wajar? gaya komunikasi seperti ini membuat perasaan anak menjadi tidak nyaman (dengan kadar masing-masing). Gaya komunikasi seperti ini menciptakan satu lubang di hati anak yang tak terlihat oleh orangtua. Jika terus menerus digunakan, gaya populer ini menjadi penghalang komunikasi anak dengan orangtua.
Gaya populer Kekeliruan dalam Komunikasi. Lihat komunikasi dalam pengasuhan anak oleh Psikolog perempuan yang berfokus pada parenting dan pendidikan anak dari
Seratusintitute.com . http://www.seratusinstitute.com/news/detail/psikologi/53/gaya-populer-kekeliruan-dalam-komunikasi.html
Kegiatan Fisik, misalnya, menunggangi kuda, berenang, memanah, book hunter, camping bersama ayah.
Referensi lain Ust. Bachtiar Nasir “Ayah dan anak laki-laki” dan pakar parenting Ust. Budi Ashari “Melahirkan generasi al Fatih dan Salahuddin Al-Ayubi”.
Closing statement
Setiap diri kita sudah dibekali naluri untuk menjadi ayah/ibu yang baik bagi anak2 kita. Tugas kita adalah melatih naluri tersebut untuk bisa dimaksimalkan dalam mengasuh anak dengan segala tantangan yang kita hadapi hari ini. Dalam satu kisah Rasulullah mengatakan, ikat dulu untamu, baru bertawakkal. Siapkan diri kita untuk menjadi orangtua yang bijak di zaman sekarang, insya Allah akan selalu diberikan keberkahan dalam menjalankan amanah kita kelak sebagai orangtua.
(Minggu 12 November 2017, Diskusi FC#4)
Bomber: Saad Ibrahim ( Inisiator Nuparents, Edukator Parenting di Era Digital)
Moderator: Robbi Aulia Helmi (FIM 18)
Notulis : Sekar Hanafi (FIM 17)