Resume: ANAK BUKAN KERTAS KOSONG

IMG-20171231-WA0019

Sharse internal perdana dari tim admin yaitu resume buku “Anak Bukan Kertas Kosong” yang ditulis oleh Mas Bukik dengan cetakan pertama tahun 2015.

IMG-20171230-WA0005

Buku “Anak bukan kertas kosong” yg ditulis oleh Mas Bukik Terinspirasi dari Ki Hajar Dewantara.

Pertama: Setiap Anak itu istimewa

Kedua: belajar bukanlah proses memasukkan pengetahuan ke diri anak

Ketiga pentingnya peran keluarga dalam pendidikan.

Namun, saat ini pemikiran tersebut dipinggirkan oleh paradigma dunia pendidikan yang berubah. Selain perubahan paradigma dunia pendidikan juga berkembangnya zaman “now” yang didalam buku ini disebut juga sebagai zaman baru atau zaman kreatif. Lahirnya zaman kreatif terlihat dari mudahnya anak-anak belajar dari mana saja dan topik apa saja, orang bekerja bisa di mana saja bahkan bisa di kafe atau di rumah, orang bisa belanja dgn mudah tanpa harus keluar rumah, dan mengenai makan pun telah terjadi pergeseran makna.

Jpeg

Berkembangnya zaman ke zaman kreatif maka tantangan yang diberikanpun semakin banyak. Maka di dalam buku ini diceritakan pentingnya perubahan paradigma pendidikan dan relevansinya dengan pengembangan bakat anak dalam menghadapi zaman kreatif. meluruskan kembali mengenai makna belajar dan pendidikan bagi anak Serta mengingatkan kembali 3 pemikiran Ki Hajar Dewantara.

IMG-20171230-WA0001

Pertama: Setiap anak itu istimewa.

Seringkali anak itu diibaratkan seperti tanaman, sama halnya di dalam buku ini anak diibaratkan sebagai benih “benih kehidupan” yang tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya. Namun, sering kali sebagai orang dewasa berlaku seolah lebih benar sehingga membenarkan tindakan kita untuk memaksa anak. Dimana Anak2 harus belajar begitu banyak pengetahuan yang sama sekali tidak diminati, Menjadikan anak sebagai robot. memberikan ganjaran sebagai hukuman atau mengiming-imingi hadiah agar anak mau mengikuti kemauan orang dewasa khususnya orang tua. kadang dituntut harus menjadi ini menjadi itu. Padahal anak sebagai benih kehidupan itu punya karakteristiknya masing masing.

“Benih padi tidak bisa menjadi Tanaman Jagung, Benih jagung tidak bisa menjadi tanaman padi. Sama Halnya Anak. Pendidik bisa menuntut, tetapi tidak bisa mendikte apa yang sudah menjadi kodrat anak” maka dapat dikatakan bahwa anak itu bukan kertas kosong yang tinggal diwarnai oleh orang lain. Anak telah mempunyai gambar dan warna sendiri yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan di dalam buku ini juga diinfokan mengenai penelitian yg dilakukan oleh John Medina- seorang ahli biologi spesialisasi perkembangan otak dalam bukunya 12 aturan cara kerja otak bahwa anak kembar identik dengan pengalaman yang sama pun tak mempunyai susunan otak yang persis sama. Masing2 pasti memiliki karakteristiknya.

Jpeg

Maka kita harus memahami anak, harus mendengarkan anak sebagai masukan untuk merancang pendidjkan yang sesuai dengan anak. Hargai dorongan dalam diri anak dan memberikan stimulasi yg tepat, dan memberikan motivasi internal dalam diri anak. Hal ini karena, Anak bukan kertas kosong.

IMG-20171230-WA0002

Kedua: belajar bukanlah proses memasukkan pengetahuan ke diri anak.

Anak adalah pembelajar alami. Anak belajar bukan dengan mengetahui cara yang benar, anak belajar dengan mencoba atau mengalami sendiri kemudian mengolah informasi dari pengalaman tersebut menjadi pelajaran atau pengetahuan yang penting baginya. ketika beranjak besar, anak mengembangkan kemampuan belajarnya dengan melihat dan mengalami langsung. Oleh karena itu sumber utama keingintahuan anak adalah perilaku orang dewasa (apa yang dilakukan, digunakan, dibuat, dll). Ketika ingin tahu, anak akan bergerak dengan kemauannya sendiri tp ketika diperintah, anak bergerak mengikuti kemauan orang lain.

Jpeg

Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap anak cerdas dan kecerdasan itu tidak seragam melainkan majemuk. Hal ini karena anak tidak sekedar mencari informasi, tetapi mencari informasi yang dibutuhkan dan sesuai kecerdasan majemuknya.

Jpeg

Di dalam buku ini dijelaskan bahwa terdapat delapan kecerdasan majemuk pada anak yang diperkenalkan oleh Howard Gardner dan untuk memudahkan kita dalam mengenali dan mendidik anak.

Jpeg

Jpeg

Ketiga: Pentingnya peran keluarga dalam pendidikan.

Anak adalah pembelajar alami dan merupakan sistem pengolah informasi yg hidup serta aktif dlm memberikan respon, maka perlu peran orang tua untuk bisa mengarahkan, meluruskan dan mengembangkan keistimewaan anak sebagai benih kehidupan. Perlu diingat bahwa perlakuan orang tua hari ini akan berdampak besar secara langsung maupun tdk langsung terhadap anak. Itulah pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, terdapat tiga proses pendidikan dalam keluarga:

  1. Pendidikan dari orang tua: orangtua berperan sebagai penuntun pengajar dan pemberi contoh.
  2. Saling mendidik antaranggota keluarga: anak belajar dari orangtua dan saudara serta sebaliknya.
  3. Mendidik sendiri: anak mendidik sendiri dirinya sendiri sebagai anggota keluarga yang mempunyai peran dan tanggung jawab.

Di dalam buku ini juga dijelaskan bahwa orangtua juga berperan dalam pengembangan bakat anak. Terdapat 4 peran utama orangtua dalam pengembangan bakat anak yaitu menjadi teladan, menciptakan suasana yg inspiratif, menstimulasi anak belajar, dan menyediakan kesempatan belajar.

Orang tua dapat menjalankan semua peran dalam pengembangan bakat anak, dpt pula mendelegasikan peran pada pihak lain seperti lembaga pendidikan. Ketika semua peran dijalankan oleh orangtua, prosesnya disebut sebagai pendidikan rumah (homeschooling). Oangtua bisa memilih sesuai dengan kemamouan fan kondisi orangtua. Apapun pilihannya, tanggung jawab pengembangan bakat anak tetaplah pada orang tua. Walau didelegasikan tetap harus memantau efektivitasnya.

IMG-20171230-WA0004

Jpeg

Pada Bab terakhir buku ini diberikan delapan latihan bagi orang tua yang menumbuhkan bakat anak dan panduan awal pengembangan bakat anak. Selain itu terdapat bonus poster delapan kecerdasan majemuk anak.

IMG-20171230-WA0003

Brain Based Parenting: Mengoptimalkan Pengasuhan Berdasar Ilmu Neuroparenting

51+ABdRS5rL._SX332_BO1,204,203,200_

Sumber gambar: https://www.amazon.com/Brain-Based-Parenting-Neuroscience-Interpersonal-Neurobiology/dp/0393707288

Otak sebagai Sumber Pembentukan Kepribadian dan Perilaku

Mengapa seringkali kita merasa hidup selalu dikelilingi masalah?

Kenapa ada orang yang berperilaku baik dan buruk? Apa yang mendasarinya?

Darimana proses kepribadian itu bertumbuh dan berkembang?

Berbagai pertanyaan tersebut seringkali hadir dalam pikiran kita. Seringkali kita sebagai manusia lupa akan anugerah yang luar biasa yang telah Allah berikan kepada kita. Manusia diberikan potensi akal yang terdiri dari organ otak di bagian tertinggi di tubuhnya yaitu kepala. Otak adalah salah satu organ ajaib, kurang lebih 1500 gr beratnya dari tubuh kita, dengan tekstur lembut seperti kembang tahu, yang dilapis 7 lapisan dalam sel neuron di cortex cerebri (kulit otak) dan 7 lapisan tengkorak – selaput otak terdalam. Dilapisan tengkorak ini  harus menggunakan gergaji khusus untuk membukanya. Jika satu otak dijadikan satu lembar saja niscaya ia akan menutupi lapangan sepakbola, dan jika lapisan itu dibuat lebih tipis lagi niscaya dia akan menutupi seluruh permukaan bumi.

Salah satu model pembagian otak adalah Allo dan Iso cortex didasarkan dari proses embrional dan lapisan neuron yang membangun area otak tersebut. Pembagian ini sering kita gunakan untuk klinik (neurologi/neurosurgery). Untuk non klinik relatif kurang. Apalagi kalau digunakan untuk menerangkan proses berpikir dan beremosi. Allocortex seperti kurang tepat bila kita samakan dengan sistem limbik, meskipun beberapa piranti Allocortex menjadi pirantinya sistem limbik. Demikian juga isocortex, prefontal cortex (PFC), bagian dari isocortex. Amygdala, hypothalamus, thalamus, VTA dan piranti sistem limbik tidak termasuk dalam Allocortex. Otak dibagi menjadi 3 bagian yaitu: batang otak, limbik dalam dan cortex cerebri. Sebenarnya, bukan tidak ada hubungan yang terjadi hanya dominansi allo dan aktivitas neurotransmitter. Kondisi traumatis adalah proses amygdala hijack, menyimpan informasi yg bias sehingga terbentuk false beliefs yg salah terhadap sesuatu.

Apakah pernah selama ini kita mensyukuri karunia dan nikmat memiliki otak ini?. Otak terdiri dari 100 milyar neuron yang siap distimulasi, yang setiap 1 neuron sanggup untuk bersambungan dengan 10.000 neuron yang lain, membentuk koneksi sirkuit bakat, kemampuan, perilaku bahkan pribadi.. Dari keseluruhan kurang lebih 100 onderdil otak, onderdil otak yang mempengaruhi pengasuhan pada anak diantaranya adalah pancaindera, amygdala, ganglia basalis, broca wernick, labus parientalis, hippocampus, insula. Cara menstimulasinya adalah sebagai berikut:

  1. Pancaindera: Stimulasi keseluruhan indera Anak sekaligus ketika memahamkan dan membiasakan sesuatu. Belajar dengan praktek 90% akan lebih diterima otak dibanding hanya melihat atau mendengarkan saja.
  2. Amygdala: Kenalkan emosi dasar (takut, sedih, bahagia, Jijik, Marah), teladankan ekspresi emosi yang baik.
  3. Ganglia basalis: Kemampuan otomatisasi, biasakan anak untuk berbuat baik, dan buat itu menjadi otomatis.
  4. Broca wernick: luangkn waktu untuk dialog dengan anak untuk menstimulasi kemampuan dan pemahaman bahasa.
  5. Lobus parientalis: Masukan imajinasi-imajinasi yang konstruktif, bimbing imajinasinya untuk membuat anak kelak tumbuh menjadi visoner, namun jika kebalikannya justru kita menstimuasi imajinasi yang destruktif, anak akan memiliki sirkuit “rumah hantu” tempat false belief/bias2 berpikir akan mengarahkan kehidupannya kelak.
  6. Hippocampus: tumbuh di usia anak 4 tahun, stimulasi dengan berpikir rasional/kognitif, memilih, menilai, baca dan kalkulasi, ini bekal untuk kemampuannya mengelola stress.
  7. Insula: mengatur stimulus yang diterima indera dan diasosiasikan menjadi harmoni yang baik.

Sedangkan otak yang diperlukan sebagai orang tua yang mengasuh anak adalah PFC, sistem limbic dalam (amygdala), Cingulat, Basal Ganglia. Basal Ganglia. Cara menstimulasinya adalah sebagai berikut;

  1. PFC: tanamkan niat baik, tanamkan bahwa setiap perilaku yang kita tampilkan harus mempunyai tujuan
  2. Sistem limbic dalam (amygdala): latih amygdala dengan kendalikan dorongan emosi, tunda keinginan yang muncul, kaitkan perasaan dengan nilai dan moral yang telah dipahami dalam PFC.
  3. Cingulat: Latih kemampuan penyesuaian diri, dan fleksibilitas dalam menghadapi segala sesuatu sehingga memiliki alternatif pemecahan masalah, kurangi sikap perfeksionis.
  4. Basal Ganglia: Ganti kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang baik. Cukup memerlukan waktu 3 bulan untuk mengubah kebiasaan.

 

Tujuan Brain-Based Parenting

Tujuan dari Brain-Based Parenting sendiri adalah menjadikan anak tangguh, cerdas, dan berakhlaq baik. Untuk mencapai tujuan tersebut harus di lalui dengan berbagai syarat yaitu; otak rasio, otak emosi, otak sensorik dan motorik harus normal. Namun untuk mencapai otak normal, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah;

  1. Nutrisi yang cukup dan tepat. Nutriri yang terbaik dari ikan-ikanan dan kacang-kacangan.
  2. Lingkungan yang sesuai dengan mencari tempat tinggal berdasarkan lingkungan yang baik.
  3. Pengalaman emosi yang membangun dengan memberikan contoh keteladanan dalam mengelola dan mengendalikan emosi dari significant other. Dengan hal tersebut, anak akan mampu mengidentifikasi perasaan hatinya.
  4. Stimulus rasional yang tepat dengan mengajarkan ke anak cara berpikir benar atau berpikir salah dengan, seperti contohnya ; dari kecil ditakuti hantu, kalau jatuh yang disalahkan kodok, dll.
  5. Aktivitas fisik yang sesuai. Anak yang normal adalah anak yang dapat berlari dan memanjat ketika kecilnya.

 

Peta Perkembangan Otak Manusia

Perkembangan otak manusia dapat dibagi menjadi 3 Sesi Peta perkembangan :

  1. Usia 0-7 Tahun

TANGGUH ditumbuhkan dengan menstimulasi otak emosinya : supaya dia bisa mengidentifikasi perasaaannya dan mengelola emosinya:

Caranya dengan memberikan teladan emosi dari orangtua, tularkan beremosi yang sehat..

a). Umur  0-3 Tahun percepatan penyerapan otak manusia bekerja pada usia ini adalah 8x dari orng dewasa, seperti spons, dia akan menyerap seluruhnya air yang ada di sekitarnya. Kekejian yang biasa dilakukan orangtua pada usia ini adalah ketika anak dilabel negatif dan buruk, dia akan menganggap 8 kali lebih buruk dari apa yang kita sampaikan kepadanya. Stimulasi yang baik pada Otak emosi ketika bayi adalah pembiasaan yang ditampilkan oleh orangtuanya, yaitu: tatapan mata yang teduh, intonasi suara yang terkendali, detak jantung yang tenang, hembusan nafas yang nyaman, keringat yang normal.

(b). 3-7 Tahun percepatan penyerapan otak manusia berkurang pada usia ini menjadi 5x dari orng dewasa. Saat periode ini kejar perkembangan :  50% kemampuan emosi, 40% kemampuan kinestetik dn psikomotor, 10% kemampuan kognitif/Rasio.

  1. Usia 7-14 Tahun

CERDAS ditumbuhkan dengan menstimulasi otak PFC (prefrontal Cortex)nya. Caranya dengan masukan ilmu yang benar, nilai dan moral melalui dialog dua arah, luangkan waktu untuk membimbing rasionalitasnya. Tanamkan disiplin dan pengaturan diri, hubungan sebab akibat yang benar, ajarkan makna kebaikan.. Percepatan penyerapan otak manusia bekerja pada usia ini adalah 3-4x dari orng dewasa.  Saat periode ini kejar PERKEMBANGAN :  30% kemampuan EMOSI, 20% kemampuan kinestetik dn psikomotor, 50% kemampuan kognitif/Rasio.

  1. 3. Usia 14-21 Tahun

ASAH JATI DIRI  Dampingi konsistensinya dalam kebaikan dan berakhlaq baik. Percepatan penyerapan otak manusia bekerja pada usia ini adalah 2x dari orng dewasa. Saat periode ini kejar PERKEMBANGAN :  30% kemampuan EMOSI, 5% kemampuan kinestetik dn psikomotor, 65% kemampuan kognitif/Rasio.

 

 Hal Yang Harus Dilakukan Oleh Orangtua

Kenapa kita senantiasa merasa menghadapi banyak masalah dan muncul keputusasaan dalam mengasuh anak? Hal ini terjadi karena tidak terlatih dalam kemampuan berpikir. Boleh jadi kita berpikir setiap hari namun pikiran yang kita munculkan hanya bersifat instingtif/naluriah belaka, bukan berpikir yang terlatih. Berpikir dengan Insting merupakan berpikir “daya hewani” lebih banyak menggunakan sistem limbic (mengutamakan perasaan dan emosi) , dibandingkan dengan berpikir terlatih yang menggunakan Prefrontal Cortex (mengutamakan nilai, kedalaman ilmu, moral).

Berlatih untuk memiliki BERPIKIR yang TERLATIH adalah dengan :

  1. Cari terus ilmu
  2. Kelola informasi dengan baik
  3. Hilangkan bias-bias negative/false belief- Latih berpikir kritis dan berpikir kreatif

 

Kemampuan yang Harus Dimiliki Orangtua yang Akan Tertular Kepada Anak :

  1. Ketrampilan kalkulatif : kemampuan memprediksi, mengira dan menghitung baik dan buruk suatu aktivitas dilakukan
  2. Kemampuan Komunikatif : kemampuan yang bukan hanya berbicara tapi bisa berbahasa
  3. Kemampuan analitik dan kreatif : proses berpikir yang menggunakan kemampuan kreatif dan analitis sekaligus dalam memecahkan persoalan yang ada
  4. Motivasi dan pengendalian diri : dasar kemampuan yang dapat mengelola emosi dan mengaktifkan berpikir yang benar.
  5. Kemampuan memilih dan memutuskan : kemampuan mengeksekusi keputusan yang diambil untuk menghindari rasa ragu dan plinplan
  6. Kemampuan fisik : memenuhi nutrisi dan aktivitas fisik yang mencukupi

Tak cukup dengan otak normal yg membuat kita hidup, tapi kita harus memiliki otak sehat, yg membuat kita menjadi “manusia”. Otak sehat memiliki 3 komponen yaitu otak yang normal (memiliki keterampilan berpikir + pemahaman dan pembiasaan konsep2 agama  dan spiritual). Otak yang sehat menghasilkan pikiran dan perilaku dan kepribadian yang sehat. Otak memiliki kemampuan untuk menyehatkan dirinya sendiri melalui:

 

Perbaikan Berpikir dan Latihan-Latihan secara Intens dan Permanen (Istiqomah dan Istimror)

Fitrah otak bagian Prefrontal Cortex adalah fitrah kebaikan…Semasa pembuahan zygote sudah terinstall nilai kebaikan-kebaikan didalam otak kita. Jika ada ketidakbenaran yang dilakukan maka reaksi tubuh akan destruktif (Prof. Donald W.Puff : dlm bukunya Foreplay) False Beliefs yang dipahami seseorang akan menjadi benturan terhadap Nilai kebaikan yang sudah ada. False Beliefs itulah yang membuat seseorang mengambil keputusan atas permasalahan yang dihadapi dipastikan berdasarkan emosinya, Amygdala meng-hijack Prefrontal cortex agar nilai kebaikan ditinggalkannya dalam membuat keputusan dan mendahulukan sesuatu yg alih-alih rasional namun nyatanya emosional. Ketika kudeta amygdala ini respon yang akan kita tampilkan adalah respon darurat, Reaktif dan tanpa pilihan yaitu: Menyerang/FIGHT, dan Kabur/FLIGHT Dan ketika ini terjadi otak bekerja dalam kondisi yang tidak sehat dan dipastikan akan terjadi kondisi destruktif secara fisik. Jika ini terulang terus maka jadilah habit/kebiasaan. Nilai kebaikan sebelumnya akan perlahan ditanggalkan, jadilah Amygdala menguasai hidupnya. Saat itulah dikatakan, kondisi otak yang tidak sehat. Begitupun untuk false beliefs yang lainnya. Maka selalu berupaya meng-install otak kita dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, akan menyehatkan baik otak maupun fisik kita. Hal yang perlu menjadi perhatian dan diperbaiki dalam beremosi adalah:

  1. Cakap emosi (caranya : kenali emosi, kelola emosi, tanamkan dan biasakan empati) hal ini akan mengendalikan otak amygdala kita. Memendam emosi dan memuntahkannya sama-sama merusak otak, Yang betul adalah KELOLA EMOSI.
  2. Tanamkan pikiran positif dan banyak menggali ilmu dan hikmah dimanapun berada hal ini akan menyambungkan dan memperkaya otak kognisi kita dibagian prefrontal cortex.
  3. Latihan dan biasakan selalu respon yang positif terhadap sesuatu, sehingga terjadilah pemecahan masalah yang tepat.
  4. Temukan selalu hal-hal yang menjadi stimulan destruktif/merusak dlm pikiran kita
  5. Gantilah berbagai keburukan yang telah kita lakukan dengan kebaikan-kebaikan.
  6. Tanamkan tujuan untuk mencapai kemuliaan dalam hidup, baik didunia maupun diakhirat selalu memiliki tujuan ketika melakukan segala sesuatu–> tanamkan niat kebaikan atas apa yang akan kita lakukan.
  7. Latih dan biasakan terus untuk bermanfaat bagi orang lain.

Anak usia 0 hingga 3 tahun mulai belajar melalui apapun yang dilihat dan didengarnya dan juga belajar merespon melalui respon sekitarnya. Sehingga orangtua perlu memprogram beberapa hal mulai dari ekspresi wajah, gesture, intonasi, karena anak belajar bukan dari bahasa yang disampaikan oleh orang tuanya namun memaknai apa yang ditampilakn baik di wajah maupun suara. Saat usia tersebut, otak emosi berbinar-binar dan matang serta siap untuk distimulasi. Sehingga orang tua harus menampilkan emosi positif  kepada anak karena pada usia tersebut, basic pemahaman adalah senang dan tidak senang. Sehingga perlu distimulusu untuk senang berbuat baik dan dilakukan secara berulang-ulang. Cara mengenalkan emosi dengan benar adalah dengan mengenalkan emosi dari muka kita secara langsung seperti mengajarkan nama beserta tampilannya. Jika pada anak usia ini pernah mengalami pengalaman buruk, pada dasarnya anak itu gampang dialihkan memorinya, tergantung dari apa yang sering diulang. Apa yang dimaknai oleh anak tergantung dari respon kita sebagai orang tua dengan mengganti respon negative menjadi respon positif. Jika kepalang terpengaruh pada aktivitasnya, ajak anak nyaman terlebih dahulu dengan dirinya, kenali bagaimana ia memaknai hal-hal buruk yang menimpanya, arahkan untuk acceptance kondisi yang telah terjadi, namanya sudah terjadi dan ajak untuk mengenali hal-hal yg beremosi positif, untuk mengalihkan memorinya kepada yang lain, perlahan-lahan untuk move-on.

Allah telah memberikan karunia potensi pada setiap manusia  berupa wadah masing-masing. Wadah tersebut ada yang besar, sedang, kecil, namun wadah itu kosong sehingga tugas orang tua adalah mengisi dan memfungsikan secara optimal. Stimulasi intelegensia optimal hingga umur 15 tahun. Sehingga, jika ingin anak lebih meningkatkan kemampuannya perlu dilakukan stimulasi dari segala inderanya. Jangan berpikir waktu yang akan menjawabnya tanpa orangtua memberikan treatment perbaikan. Pada usia 15 hingga 21 tahun, anak tetap bisa distimulasi karena otak kognitif baru matang di umur 20 sd 21 tahun. Lewat dari umur tersebut, manusia tetep bisa berubah karena fungsi plasticity dari otak. Namun syarat utamanya adalah kemauan untuk berubah harus ada. Jika anak memiliki keterbatasan pada intelektual, yang perlu distimulasi adalah bagian emosinya, kalau kognitifnya hanya sampai batas “mentoknya” saja. Dalam hal ini dapat dikatakan anak memiliki otak yang ‘kurang’ normal sehingga perlu dikejar agar memiliki otak sehat dengan melatih rasional atau berpikir jernih dan tingkatkan nilai-nilai moral kebaikan agar dapat berpikir jernih adalah kendala emosi.

 

Bagaimana jika anak yang sejak kecil ditanamkan persepsi untuk takut?

Terdapat beberapa kasus, banyak anak yang sejak kecil ditanamkan persepsi untuk takut pada dokter, jarum suntik atau obat-obatan. Pada dasarnya menakut-nakuti membuat anak menjadi rusak kenormalan otaknya, karena tidak mengikuti poin membangun rasionalitas yang benar. Hal ini yang harus dibenarkan. Hal yang dapat dilakukan oleh dokter yaitu setiap bertemu dengan pasien anak yang takut dengan dokter, perlu diajak ngobrol dulu oleh dokternya sambil menawarkan permainan. Fungsikan otak rasionalnya untuk mengnangkis amygdalanya. Dokter juga perlu meluangkan ngobrol dalam rangka mengkonfirmasi terlebih dahulu pemaknaaannya selama ini. Dokter harus menerima kondisinya dengan respon wajah yang sumringah, antusias, banyak tersenyum. Setelah ada perubahan sedikit saja dari wajah anak, dokter baru bisa melakukan tindakan sambil terus ngobrol agar PFCnya aktif terus. Setelah selesai proses pemeriksaan, berikan apresiasi, pujian dengan sepenuh hati dan berikan hadiah. Proses ini memerlukan waktu yang cukup lama. Orientasi  proses ini bukan pada penyelesaiannya tugasnya namun pada membahagiakan manusia. Penyuluhan agar anak-anak tidak takut pada dokter idealnya dilakukan kepada anak usia 0-7 tahun. Karena pada momen ini yang menentukan awal  suka atau tidak suka, benci atau cinta. Diatas 7 tahun diberikan pengetahuan kesehatan lebih dalam lagi.

 

Jika ingin mendidik anak menjadi penghafal Al-Qur’an, bagaimana teknis stimulasi otak sesuai dengan tahapan brain based parenting?

Usia awal 0 sd 7 tahun menghapal dengan otak emosi, dia suka atau tidak suka, dia cinta atau tidak cinta. Sehingga sebelumnya tumbuhkan cintanya karena sesungguhnya ayat-ayat cinta akan menyelusup pada penciptaNya. Dalam tema cinta ini, kemudian masuk sisi menguatkan aqidahnya dengan resep suka dan cinta tadi. Jadi sambil menghapal sambil teguhkan lagi. Masuk kemudian ke bagian sisi adab, bahwa pembiasaan kita dekat dengan apa-apa yang dicintaiNya perlu dijaga adab-adabnya. Hafalkan saja, sebanyak2nya dengan senang. Kemampuan belajarnya diusia ini 8x orang dewasa. Setelah usia 7  sd 15 tahun, PFC berbinar siap diberi makan ilmu yang mendalam. Ajak dalami pahamnya pada tiap ayatNya, tambahkan hadistnya. Maknai dengan segala peristiwa yang nyata, banyak diskusi, gali pahamnya, sambil terus kuatkan hafalannya. Teknisnya, anak mengulang minimal 20x 1 ayat.. target sepekan hapal 5 halaman di jumat mengulang halaman baru yg dihapal dan murojaah 1 juz sebelumnya.

 

Bagaimana caranya mengubah perilaku anak yang emisionalnya sangat berlebihan dan susah di control? Salah satu contohnya seperti marah yang berlebihan saat di tegur.

Ketika ditegur marah, ia hanya menggunakan pikiran otomatisnya yang sudah berpola dan terbiasa, otak hanya tinggal me-retrieve cara meresponnya. Untuk mengubahnya maka ubah dulu stimulusnya, cara kita menegur di otak anak akan mencari cara baru untuk meresponnya. Prinsipnya stimulus emosi akan di respon emosi, karena emosi mudah menular. Aktifkan menegur dengan mengaktifkan kognitif, dengan mengaktifkan fungsi bahasa mngaktifkan lobus parietalis dengan memberikan imajinasi visioner, ajak anak membayangkan yang membuatnya termotivasi. Caranya dialog, konfirmasi apa yang dimaknai anak, tarik ulur, dengarkan, dengarkan, arahkan. Prosesnya lama dan perlu diluangkan, jangan melulu ingin instan, karena proses itu menentukan. Bekal untuk hidupnya.

 

Pada sebuah kasus di rumah singgah, ada seorang anak perempuan berusia 6 tahun yang baru bergabung di rumah singgah karena bapaknya baru saja meninggal 1 bulan yang lalu. Sampai saat ini sang ibu belum memberi tahu sang anak kalau ayahnya sudah meninggal, ibunya hanya bilang bapaknya pergi ke Madura  belum pulang. Sang anak kerap menangis dan menanyakan ayahnya. Bagaimana menghadapi persoalan tersebut?

Ini adalah bagian dari hard conversation full emotion. Ajak dialog, sampaikan bahwa bunda akan ceritakan sesuatu yg berat untuk bunda juga berat untuk kamu. Ajak tanya jawab tentang apa yang ia pahami mengenai manusia, tentang kehidupan, kita itu milik siapa, di dunia itu ada step by step perjalanan, ada saat dilahirkan ada saat dimatikan.  Ketika masuk poin kematian, Arahkan bahwa kematian adalah sesuatu yang wajar. Kuatkan bahwa kematian bukan akhir, bahwa kita dikumpulkan kelak.bersama yang kita saying. Arahkan untuk banyak-banyak berbuat baik, agar dikumpulkan juga dengan orang-orang baik, termasuk ayahnya. Jaga tone, jaga gesture, otaknya akan maknai bukan hanya bahasa tapi juga ekspresi dan suara kita. Konfirmasi lagi pemaknaanya, tanya perasaannya, nilai berapa sedih misalnya 1 sd 10. Pahami bahwa sedih boleh, tapi seiring waktu dia akan berkurang, karena jika lebih sedih lagi, ayah akan kesusahan disana. Peluklah anaknya, kemudian ajak ke kuburan ayahnya.

 

Apakah PFC berusia matang ketika berumur 25 tahun?

PFC matang diusia 20 sd 21 tahun. Umur 4 tahun sudah mulai berfungsi, 6 hingga 7 tahun mulai bisa diasah, asupi ilmu dan nilai yang benar terhadap sesuatu, ajak berpikir, kenali lebih dalam petunjuk-petunjuk hidup. Asupan PFC sebelum matang harus optimal. Ketika matang dia siap menggunakan dengan tepat.

 

Apakah gerakan sujud ketika shalat secara saintifik bisa berdampak pada PFC?

PFC ada di kening dan belakang mata, sujud melancarkan peredaran darah. Arah pembawa oksigen, energi otak dari oksigen. Otak yang berenergi akan powerfull. PFC adalah direkturnya otak, ketika dipimpin dengan sumber powerfull adalah upaya kita menjadi   sebaik-baiknya manusia

 

Bagaimana caranya mengajarkan anak soal interaksi dengan dunia luar (seperti lingkungan, teman tetangga) dan soal mempertahankan/melindungi diri sendiri?

Masukkan persepsi dan pemahamannya dulu tentang lingkungan, kondisi-kondisi yang berbahaya apa saja dan berikan tools untuk menghadapi bahaya. Semuanya dilakukan step by step, latihan dengan role play, tes pemahaman anak, dan ulang secara terus menerus.

 

Bagaimana teknis mengoptimalkan basal ganglia untuk membiasakan kebiasaan baik, yg berhubungan dengan aktivitas fisik dan aktivitas non fisik?

Basal gangglia bekerja dengan sebab akibat. Mengulang-ulang perbuatan baik akan mengasah otomatisasi. Seimbangkan dengan PFC jika sudah diatas 7 tahun menjadikan otomatisasi lebih bermakna karena ia paham nikmatnya berbuat baik. Anak diberikan kesempatan belajar sholat, kondisikan ketika sebelum adzan. Berikan awareness ketika medengar adzan, termasuk menjawab adzan perkata mulai balita. Berikan hadiah jika sholatnya bagus dan dia akan merasa senang. Lakukan berulang-ulang secara otomatis dia akan sholat ketika adzan setelah pengulangan dilakukan minimal 3 bulan intensif.

Belief system yang membangun kepribadian manusia, berasal dari memory yang masuk karena kita memberikan atensi terhadap stimulus tertentu. Tapi tak jarang bahkan seringkali kita menangkap stimulus dengan bagian otak emosi negatif, jika ini dilakukan berulang maka jadilah pribadi yang kelak berpotensi memiliki gangguan. Kapan pribadi itu terbentuk? Seiring ia bertumbuh saat kita berkesempatan merawat, membina, melatihnya. Anak, amanah yang kelak kembali dipertanggungjawabkan. Semoga kita diberi kekuatan menjadi orangtua yang mulia dengan keturunan yang dimuliakan, Pemilik segala.

 

 

(21 Desember 2017, Diskusi FC#4)

Pemantik     : Ani Khairani, M.Psi, Psikolog (Direktur UNIK.Edu+ Educational Psychological Consultancy, Aktivis gerakan Indonesia Beradab, Pemilik Khalifah Childcare Tapos Depok)

Notulis         : Dian Novita Fitriani FIM 15

Moderator   : Anindya FIM 17

 

 

 

 

 

DAMPAK KETIDAKHADIRAN FIGUR ORANGTUA DALAM PERKEMBANGAN ANAK

download

Sumber gambar: http://www.tipsanakbayi.com/2015/12/pengaruh-perhatian-orang-tua-bagi-kecerdasan-anak.html

“To be in your children’s memories tomorrow, you have to be in their lives today”
-Barbara Johnson-

           Pesan tersebut mengingatkan kita tentang pentingnya kehadiran figur orangtua dalam kehidupan anak. Sebenarnya apa yang membuat peran ayah dan ibu begitu penting? Apa perbedaan peran keduanya dalam keluarga? Lalu apa konsekuensi jika orangtua tidak bisa mengisi perannya dengan utuh dalam perkembangan anak? Sebelumnya mari mengenal terlebih dahulu mengenai orangtua “ada tapi tidak ada”, kira-kira seperti apakah hal tersebut?

Beberapa pendapat mengenai orangtua “ada tapi tidak ada” yaitu orang tua yang tidak mau peduli dengan anaknya, yang sibuk dan tidak memperhatikan perkembangan anak bahkan melimpahkan peran orangtua ke orang lain misal pengasuh, pembantu, kakek, nenek, guru les,guru ngaji dll. Orangtua yang ada di rumah dan mendampingi anak tapi sbuk sendiri dengan dunianya, jarang berkomunikasi sehingga menjadi acuh pada anak yang ada di sisinya. Orang tua yg hanya sekedar status namun tidak melaksanakan betul dengan sebenarnya tugas dan fungsinya dalam berbahagai aspek kebutuhan anak,  terutama dalam hal kasih sayang dan perhatian. Ada secara fisik saja. Apakah peran orangtua hanya sekedar status?

Orangtua “ada tapi tiada” artinya ada di rumah, tapi “not available”. Lebih tepatnya, tidak hadir secara emosional. Dimana orang tua tidak dapat menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada anaknya. Jika ada, belum mencukupi; tidak dari hati. Ciri-cinya: jarang mengungkapkan rasa sayang secara verbal ke anak (I love you, bunda sayang kakak); dekat tapi “berjarak”; selalu sibuk dengan urusannya (di kantor bekerja atau di rumah menonton TV, cek hp, dll);jarang menunjukkan afeksi secara fisik (membelai, memeluk, mencium, menggendong, dll). Apa yang harus dilakukan sebagai orangtua seutuhnya?

            Simply commit to our children. Anak-anak layak mendapatkan perhatian, energi penuh dan waktu berkualitas dari orang tuanya. The only thing you have to do is to really be there for them, body and soul. Kata kuncinya adalah “Berkualitas”, jadi bukan berarti tidak mungkin dilakukan oleh para orang tua bekerja.

Dulu, dalam pembagian peran gender tradisional, peran pengasuhan dipercayakan kepada ibu, sementara ayah memegang peran lebih banyak dalam hal dunia bekerja dan pemenuhan kebutuhan finansial keluarga. Nah, menariknya, belakangan ini ada pergeseran budaya. Para ayah jaman now, ternyata keterlibatannya dalam pengasuhan sudah jauh lebih banyak. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan saat konsultasi kehamilan, kehadiran di ruang persalinan, ikut sibuk dalam aktivitas mengganti popok, memasang baju hingga memandikan anak. Selain itu, baik di dunia maya, maupun dalam kehidupan nyata, saat ini kita temukan bermacam gerakan “Fatherhood” seperti #AyahAsi, #AyahMain, #BabyWearingDad dan yang serupa dengannya.

Mulai usia sekolah, anak akan memasuki dunia sosial yang sesungguhnya. Jika hubungan sebelumnya dengan orang tua kurang dekat, maka pada usia ini, anak akan mencari figur penggantinya. Teman sesungguhnya adalah figur pengganti yang baik. Bentuk menjalin komunikasi dengan anak yang cenderung memilih temannya daripada mendengar orangtuanya barangkali orang tua bisa mencoba untuk melakukan pendekatan melalui teman-teman anak. Lakukan aktivitas bersama anak dan teman-temannya. Ajak nonton bioskop misalnya, lalu makan bareng. Perhatikan apa yang menjadi common interest mereka dari obrolannya. Lalu, masuklah dari sana. Pilih temannya yang paling supel untuk mengawali obrolan. Mudah-mudahan, pelan-pelan bisa cair juga dengan anak kita.

Kehilangan peran ibu untuk anak laki – laki akan berpengaruh terhadap kepribadiannya bila tidak ada figur penggantinya. Hal ini karena, salah satu peran utama ibu adalah menjadi pengasuh utama anak, yang sejak bayi mendukung berkembangnya rasa percaya (trust) terhadap dunia. jika peran ini yang hilang, tanpa ada figur penggantinya, anak akan sulit menerima dunia luar. Ia akan menganggap dunia luar sesuatu yang berbahaya, tidak aman, dst. pada kasus yang berat, anak bisa menjadi anti sosial, mengalami gangguan kecemasan atau kepribadian.

Cenderung terdapat keterkaitan pengaruh yang negatif ke anak apabila tidak adanya kehadiran orangtua atau figur penggantinya padahal lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan anak itu menjadi baik atau tidak meskipun ada orangtua atau tidak. Yup…It takes a village to raise a child. Orang tua menjadi sorotan karena memegang peran pengasuhan utama, terutama sebelum anak memasuki usia sekolah. dari segi waktu, paling banyak biasanya dihabiskan dengan orang tua ya. tapi tentu saja lingkungan juga berpengaruh. Karena kita tidak mungkin membuat lingkungan anak steril, maka kita (orang tua) yang membuatkan “bentengnya” sebelum mereka dilepas ke lingkungan sosial.

Bagaimanakah bila peran seorang ayah dan ibu ditukar, seperti ibu yang bekerja dan ayah yang mengurus pekerjaan rumah dan anak. Apakah hal tersebut akan mempengaruhi kepribadian anak? Sebenarnya yang lebih berpengaruh adalah mengenai apakah masing-masing orangtua menjalankan peran pengasuhannya atau tidak. Ibu berperan dalam menumbuhkan perasaan cinta dan kasih pada anak melalui hubungan yang afektif serta ibu juga berperan mengenai peran jenis kelamin perempuan. Sementara itu, peran ayah adalah lebih banyak untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan motivasi berprestasi pada anak. tak lupa, peran ayah untuk menjelaskan mengenai apa yang diharapkan lingkungan sosial pada jenis kelamin laki-laki. Pembagian peran ini pasti overlapping dalam pelaksanaannya.

Penjelasan sebelumnya mengenai anak tumbuh tanpa kehadiran orangtua. Nah, kalau dengan kehadiran double orangtua yaitu orangtua kandung dan orangtua tiri meskipun misalnya keduanya sama-sama baik, apakah ada perbedaan dan efeknya pada anak? Pada keluarga dengan orang tua bercerai dan kemudian menikah lagi, ada prinsip2 yang harus dipegang:

  1. Selalu ingat pentingnya hubungan anak dengan orang tua kandungnya. Anak bisa jadi melihat orangtua tiri sebagai kompetitor jika orang dewasa yang terlibat kurang mengapresiasi hubungannya dengan orangtua kandung. pastikan anak mempunyai waktu pribadi bersama orangtua kandungnya
  2. tidak memaksakan anak untuk mencintai orangtua tirinya. Jika timbul sendiri karena hubungan yang baik, itu bagus. Tapi jika tidak, orangtua tiri bisa memilih peran lebih mirip seperti teman dewasa si anak dulu. Perubahan peran sebagai orangtuanya dijalani secara bertahap. Jika bisa menjalin hubungan yang baik, maka hanya masalah waktu untuk masing-masing bisa menjalani peran barunya di keluarga, baik anak maupun orangtua.

Anak yang terlahir yatim/piatu/keduanya, mereka tetap mampu tumbuh berkembang tanpa “kehilangan” peran orangtua dengan adanya sosok pengasuh (kakek, nenek, kakak, dll) yang mengganti atau mengisi peran orangtua tersebut serta attachment (kelekatan) yang baik dan kuat pada anak. Attachment (kelekatan) adalah ikatan istimewa yang terjalin antara anak dengan orang dewasa yang mengasuhnya. yang menjalankan peran pengasuh ini, tidak hanya ibu. pada kasus seperti di atas, bisa digantikan oleh figur pengasuh lainnya. semakin sering berinteraksi, semakin kuat ikatannya.

Peran pengasuhan pada kondisi ideal dilakukan langsung oleh orang tua. Tapi dalam prakteknya, untuk berbagai alasan (kematian, perceraian, kesibukan,dll), tugas mengasuh anak bisa diambil alih oleh kakek, nenek, orang tua asuh, pengurus panti, babysitter dll. Dalam kacamata ilmu attachment (attachment), yang dilihat adalah bagaimana proses bonding ini terjadi. Semakin sering anak berinteraksi dengan pengasuhnya, semakin baik tingkat kelekatannya, semakin dalam juga pengaruh pengasuhannya terhadap perkembangan anak. Bukan tentang ada atau tidak ada orangtua, tapi ada atau tidak ada pengasuh yang mengambil peran ayah/ibu dalam pengasuhan anak.                Jika anak yatim/piatu/keduanya tersebut diadopsi, maka apa langkah – langkah awal yang dapat dilakukan oleh orangtua asuh untuk bisa “tune-in” dengan anak tersebut? Menjadi orangtua asuh, dalam banyak aspek sebenernya sangat mirip dengan menjadi orang tua kandung. Orangtua tetap memerlukan informasi dan dukungan untuk melewati masa transisi/penyesuaian dengan peran barunya. Langkah-langkah pendekatan ke anak asuh, tergantung dari usianya. Jika anak diasuh dari bayi (bulan – bulan  pertama), orang tua bisa langsung berperan sebagai orangtuanya. Namun, yang lebih complicated jika anak asuh berusia lebih besar dan sudah mengalami pengasuhan oleh orang lain sebelumnya, maka orangtua asuh membutuhkan waktu untuk mendapatkan kepercayaan anak. Caranya: tingkatkan bonding dengan menambah frekuensi interaksi dan kualitasnya.  “Ada tapi tiada” bagi orangtua kandung, orangtua asuh, atau pengasuh pengganti lain, semuanya harus menjauhi ini. Yuk teman-teman, hadir dengan sepenuh hati dekat anak-anak kita.

 

 

(Minggu, 10 Desember 2017, Diskusi FC#4)

Pemantik        : Leona Hutriasari / Uni Ona (IRT- Psikolog, Alumni program profesi psikolog klinis anak UI).

Moderator      : Harimah/ Cima FIM 17

Notulis            : Reski FIM 19

MENJADI ORANGTUA OPTIMIS, Bukan OBSESIF

timthumb
sumber gambar: https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjN9ZH-nN7YAhWJkZQKHfTrBRoQjB0IBg&url=https%3A%2F%2Fwww.motherandbaby.co.id%2Fcontent%2Ftagging%2Forang_tua&psig=AOvVaw3VmRNDcutREmhgJ8ciSvyt&ust=1516251884384200

Kasus yang beredar di Medsos tentang “Anak belia yang kemudian menjadi pasien RS JIWA karena Obsesi orangtuanya” seperti menohok para orangtua untuk kemudian berpikir ulang terhadap aktivitasnya selama ini dalam mendidik anak. Rasa galau pun kerap muncul, jika ternyata penyebab dari kasus tersebut memang dialami di rumah kita. Berikut saya coba jabarkan beberapa hal yang perlu diketahui orangtua sehingga menjadi kerangka apakah yang pendekatan pendidikan kita lakukan sudah pas, atau berlebihan atau bahkan kekurangan.
Kata Obsesi yang ditekankan di sini perlu kita telaah lebih dalam. Obsesi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah seperti ini: obsesi/ob•se•si/ /obsési/ n Psi gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan. Jika memang pengertian Obsesi ini kemudian kita terapkan di rumah, jelaslah bahwa kita termasuk orang yang sakit jiwa. Sakit jiwa yang kemudian muncul adalah gejala bernama Obsessive-compulsive personality disorder (OCPD) atau gangguan kepribadian obsesif kompulsif adalah gangguan kepribadian yang melibatkan suatu obsession (ide menetap yang tidak diinginkan) tentang kesempurnaan, aturan, dan pengaturan. Orang dengan OCPD akan merasa cemas ketika mengetahui bahwa sesuatu tidak berjalan dengan baik. Ini akan membuat kebiasaan dan aturan bagi cara mengerjakan sesuatu, apakah untuk dirinya sendiri atau keluarganya.
Bayangkan jika orangtua mengalami hal demikian kemudian mendidik anaknya dengan cara demikian, apa yang akan terjadi terhadap anaknya? Jadi, mendidik anak dengan obsesi seperti ini apakah akan berhasil?. Maka jawaban yang paling bijak ketika menghadapi orangtua yang demikian adalah, silahkan konseling dulu ke psikolog orangtuanya untuk menyelesaikan dan menghilangkan gangguan ini pada dirinya.

KESALAHAN YANG BIASA DILAKUKAN ORANGTUA:
>> Salah atau bahkan tidak menetapkan visi dan misi keluarga
>> Tidak berupaya memprogram diri sendiri memperbaiki diri dan menjadi teladan bagi anak-anaknya
>> Banyak menuntut dan ingin tahu beres, tidak berupaya mengikuti dan mendampingi proses
>> Tidak konsisten dalam memberikan pembiasaan baik
>> Tidak menyamakan persepsi terhadap kesuksesan yang ada dibenak orangtua dan anak.
>> Malas meluangkan waktu untuk bicara dari hati kehati
>> Menganggap semua anak sama
>> Tutup mata dengan keterbatasan anak
>> Banyak Menjudge dan menilai tanpa dasar
>> Kurang mengendalikan lisan

Agar kesalahan tersebut tidak terjadi pada kita, mari kita dalami tentang bagaimana mendidik dan mengarahkan anak yang sehat secara psikologis, penuh optimis:

1. Mari kita mulai dengan bagian akhirnya. Let’s begin with the end of the mind. Cara terbaik orang-orang visioner menemukan kesuksesan. Disinilah HARAPAN Kita tertumpah disinilah OPTIMISME kita tumbuhkan.
• Tentukan Visi, mau dibawa kemana keluarga yang Ayahbunda bangun di dunia ini, mau mencetak anak yang seperti apa kelak. Visi jangan hanya pendek saja tapi jauh meliputi akhirnya.
• Kesalahan pertama dalam menentukan visi ini, kita tidak menyadari bahwa kesuksesan itu bukan batasannya di dunia tapi sesungguhnya adalah patokan akhirat/next life. Namun, tidak sedikit orangtua yang mempunyai Visi yang berpatokan pada Harta, Kuasa dan Cinta saja. Orangtua terkadang hanya mengejar anak menjadi juara kelas, kuliah di PTN favorit dapat kerja yang gajinya aduhai dengan menggenjot dan memberi les bermacam-macam. Orangtua hanya mengejar anak menjadi kaya dengan menyiapkan segalanya menjadikan anaknya tidak tumbuh menjadi pejuang kehidupannya.
• Kesalahan terparah pada bagian ini adalah banyak dari kita yang tidak memiliki visi dalam kehidupan keluarganya dan dalam mendidik anaknya. Jika kita coba melihat lebih dalam lagi bahwa mendidik anak adalah menyiapkan akhir hidupnya, kita sedang mendidik seorang penghuni syurga, yang melewati dunia fana ini melalui pintu Husnul Khatimah.
Tahukah Ayah Bunda, janji Sang Maha Kuasa, ketika kita mengorientasikan hidup kita untuk mendapatkan akhirat, niscaya duniapun akan ikut, sedangkan jika kita mengorientasikan tujuan kita pada dunia, maka kitapun hanya akan dapat dunia.
• Cobalah dengan patokan ini, buatlah visi pendidikan bagi keluarga Ayah Bunda sendiri.
• Tidak kalah penting, sampaikanlah visi keluarga ini, kepada seluruh anggotanya. Ajaklah anak menyelami dan ikut hadir dalam langkah-langkah pencapaiannya.

2. Selanjutnya setelah visi adalah mari kita beri keteladanan.
• Ketika visi pendidikan anak adalah mendidik ahli Syurga sudah masuk dan terinternalisasi pada diri kita sebagai orangtua, secara spontan setiap aliran darah, denyutan syaraf sel otak akan mengarahkan diri kita untuk berperilakupun seperti kebanyakan ahli syurga. Perilaku inilah yang sangat penting untuk menularkan visi kita yang sudah dibuat tadi
• Artinya apa, kita perlu membiasakan diri dan mengakrabkan kebiasaan kita pribadi pada kebiasaan-kebiasaan seorang ahli Syurga.
Taukah Ayahbunda setiap perilaku dan ucapan kita orangtua, menular pada anak cukup memerlukan waktu 3 bulan. Bahkan pada beberapa anak yang betul-betul mengidolakan orangtuanya, akan kurang dari sebulan mencontoh apa yang kita lakukan.

3. Membuat program pembentukan pribadi. Apakah kepribadian itu keturunan?
• Keturunan ada hanya 2%, sisanya 98% adalah KETULARAN.
• Bagaimana suatu perilaku dapat menjadi pribadi? Maka perilaku itu harus DIBIASAKAN.
• Dibiasakan yang bagaimana? Dibiasakan yang BERULANG-ULANG
• Berulang yang bagaimana? Berulang yang KONSISTEN
• Apa yang dibiasakan? KETELADANAN YANG BAIK
“Dalam Psikoneuroscience, ketika sesuatu diulang, maka proses dalam otak kita adalah otak merekam itu dan membuat jejak-jejak ingatan, makin kosisten dalam mengulang maka dalam waktu 3 bulan otak membuat sebuah sirkuit dalam kepala kita dan menamakan satu pribadi yang sudah diulang tadi, jadilah itu salah satu kepribadian kita”.
• Hal ini bisa kita terapkan di rumah, dijadikan program tiga bulanan membentuk pribadi tertentu. Metode ini kita gunakan untuk menumbuhkan kebiasaan baik dan menghilangkan kebiasaan buruk.
• Ketika suatu kepribadian terbentuk, kita inginkan ia tetap konsisten maka mulai lah terus berulang-ulang maka otak akan memprogram bahwa kita memiliki kepribadian tersebut.
• Kecenderungan minatnya, kemampuan mengelola masalah, kestabilan emosi merupakan kemampuan yang bisa dilatih dan dibiasakan.
• Hal inipun berlaku untuk orang dewasa bukan hanya untuk anak-anak.
Ayahbunda mari tetapkan pembiasaan-pembiasaan apa saja yang ingin kita tanamkan di keluarga kita. Kemudian mulailah melakukannya, menumbuhkan kepribadian gemilang dari anak2 kita.

4. Pahami tentang otak Emosi Anak.
• Otak emosi matang ketika anak keluar dari rahim, karena itulah jangan kecolongan dan jangan terlambat untuk Segera berikan stimulasi dengan pembiasaan-pembiasaan emosi yang baik semenjak anak bayi.
• Anak dibiasakan untuk menunda keinginan,
• Anak dibiasakan untuk mengenali baik dan buruk suatu perbuatan,
• Anak diberi pengetahuan dan contoh tentang nilai-nilai,
• Anak dibiasakan untuk melakukan akhlak (Sifat-sifat yang telah diperintah Allah Swt agar setiap muslim memilikinya) yang baik dengan penjelasan,
• Anak diajarkan adab (Menempatan sesuatu pada tempatnya).
• Anak dibiasakan untuk dapat memilih sesuatu karena ia paham kenapa ia pilih hal itu, disini orangtua berperan aktif untuk memberikan pemahaman kenapa begini dan kenapa begitu.
• Kenapa penting kita biasakan emosi ini sehingga matang ketika anak mau masuk sekolah? Taukah Ayahbunda, Anak kita terlahir sebagai khalifah (wakil Tuhan) dimuka bumi. Fungsi khalifah ini perlu disiapkan semenjak dini, maka dia tidak akan gagal untuk menjadi pemimpin bagi nafsunya sendiri. Caranya bagaimana? siapkan hingga usia 7 tahun ia harus lulus emosi, ia matang dalam mengendalikan dirinya.
• Kondisi saat ini, kenapa banyak remaja alay, kenapa banyak orangtua galau, kenapa banyak para pejabat silau, karena otak emosinya tidak dioptimalkan sempurna. Saat usia 7 tahun, belum lulus emosi, ditunggu usia 15 tahun ketika kepribadian mulai mengkristal, ternyata juga belum lulus juga emosinya, ditunggu hingga usia 20 tahun, ketika otak kognitif matang sempurna dan anatomi otak mencapai kesempurnaan fisik, jika masih belum lulus emosi, maka jadilah ia manusia balita yang tumbuh dalam fisik orang dewasa. Bagaimana bisa orang ini mengelola masyarakat atau mengelola keluarga jika mengelola dirinya sendiri saja tidak mampu.
Satu tips penting untuk dilakukan adalah JANGAN REAKTIF lakukan dan merespon sesuatu dengan pertimbangan akal, bukan dengan bawa perasaan atau emosi selintas. Hal ini adalah cara melatih dan mengendalikan otak emosi ayahbunda.

5. Pahami kemampuan kognitif anak.
OTAK KOGNITIF
• Otak kognitif baru mulai memasak (masih bahan mentah) usia 3,5 tahun. Akan terjadi error dan kerusakan pada otak kognitif ini jika sebelum 3,5 tahun kita paksakan anak untuk belajar baca tulis hitung, anak terbiasa menghadapi gadget pada usia ini.
• Pada saat anak berusia 6-7 tahun, ia baru mencapai kematangan sensori dan motorik. Pada saat itulah anak benar-benar siap untuk menulis dan membaca dan bersekolah.
• Otak kognitif baru matang dan sempurna usia 20 tahun. Karena sebelum itu, isilah otaknya dengan berbagai pemahaman yang benar atas segala sesuatu kepada anak. Pemahaman yang salah akan membentuk persepsi, pola pikir dan worldview yang salah juga, hal ini berbahaya karena akan terbawa dan dijadikan pedoman bagi hidup dewasanya. Otak kognitif bertugas untuk pengambilan keputusan dan fungsi pertimbangan hidup.
• Yang disasar oleh kecanduan gadget, kecanduan pornografi dan narkoba ini adalah kerusakan dan kematian fungsi dari otak kognitif.
Coba tes IQ secara individual, bukan tes klasikal. Di sini akan terlihat bagaimana kondisi intelektualnya, apakah ada keterbatasan atau tidak.
• Ini penting untuk mengetahui sejauh mana intelektualnya bisa berfungsi. Hasilnya adalah kategori IQ. Jika berada pada ketegori-kategori yang berada dibawah rata-rata, maka akan sangat mempengaruhi kemampuan belajarnya, jangan banyak berikan beban akademis pada anak yag memiliki keterbatasan ini.
• Hal ini pun mempengaruhi sekolah mana yang akan kita pilih, seberapa berat beban akademis yang dapat kita berikan.
• Selain itu, apakah termasuk Anak dengan Kebutuhan Khusus. Hal ini akan mengarahkan kita untuk mengoptimalkan perkembangannya dengan berupaya melakukan treatment untuk menghilangkan apa yang menjadi hambatan perkembangannya.
• Intinya, jangan pukul rata dan sama semua kondisi kognitif anak, karena akan mempengaruhi kemampuan akademisnya.

6. Ketika kita membuat program dan menginstall-nya dalam keluarga kita, maka hal yang juga penting adalah Luangkan banyak waktu untuk bicara, ngobrol, diskusi segala sesuatunya.
• Kehangatan keluarga dan rumah bukan terletak pada banyaknya lampu dan kompor yang ada dirumah kita. Tapi Banyaknya komunikasi yang terjalin diantara seluruh penghuni rumahnya.
• Jalinan komunikasi ini berupa komunikasi yang timbal balik, komunikasi yang bisa diulang dan tidak membuat kapok, artinya semua menikmati komunikasi tersebut.
• Komunikasi tidak perlu dikhususkan di waktu tertentu atau tempat tertentu, tapi disetiap waktu, luangkan untuk itu. Everytime is Quality Time.
• Kita perlu fleksibel untuk menemukan cara yang tepat pada tiap situasi yang dihadapi. Ketika satu cara tidak berhasil maka cobalah cara lain. Itulah cara menjadi orangtua yang Trial and Learn atas segala situasi yang dihadapi

7. Doakan dan sugesti positif anak.
• Sebuah teori Hipnoterapi ala Milton Erikson model menyatakan bahwa 80% dari kondisi orang dewasa adalah kondisi unconscious, dan 20%nya adalah kondisi conscious. Sedangkan pada anak 100% adalah unconscious.
• Beda antara Concious dan unconscious adanya proses aktif atau tidak aktifnya berpikir kritis, jadi bukan kondisi pingsan/tidak sadar.
• Kondisi unconscious sangat penting untuk memunculkan Trans, yaitu kondisi dimana sugesti-sugesti itu bisa masuk kedalam pikiran manusia.
Dengan kondisi 100% anak itu adalah trans maka setiap apa yang keluar dari mulut ayahbunda adalah bentuk-bentuk sugesti yang akan membentuk perilakunya. Apalagi jika dilakukan secara berulang. Adalah hal paling mengerikan jika setiap saat yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata dan sugesti yang negative, jadilah anak kita apa yang kita muntahkan dari mulut kita.

8. Terimalah anak sebagaimana adanya.
Lebih dan kurangnya, bahwa dia adalah bagian dari tubuh kita, bahwa dia adalah bagian dari darah kita. Sakitnya adalah sakit kita, lelahnya adalah lelah kita. Lihatlah matanya dan genggamlah tangannya, Tunjukkan bahwa kita adalah pembimbingnya, pelatihnya, teman dan sahabatnya, guru sekaligus muridnya untuk mengarungi perjuangan singkat di alam fana ini. Anak adalah Tim kita yang akan memenangkan perlombaan hidup ini, dan kelak bersama pulang kesebaik-baiknya kampung halaman.
Salah satu hal yang menyebabkan orang tua gak punya visi dalam keluarga atau mendidik anak adalah Ketidak siapan berkeluarga atau punya anak, ‘tdk hadir’ pd saat ini, masih mengurusi ‘unfinished bussiness’nya atau masalahmasa lalunya
Sikap anak jika memiliki orang tua yang obsesif maka ajaklah orangtuanya ke psikolog, konseling. Kalau memang kita ndak mampu membuat orangtua kita menyadari kondisinya yg rentan tsb. Kalau mau berusaha menyadarkan bisa, ajari ikhlas dalam menghadapi sesuatu
Cara menyikapi orangtua yang menyamaratakan potensi anak pertama dengan anak – anak yang lain padahal anak satu dengan dua berbanding terbalik, maka Buktikan aja bahwa anak itu gak sama: perhatikan cara belajarnya, cara berpakaiannya, cara ngomongnya. Sadari ini kepada orangtua, kalau kita dari sisi anak, sampaikan saja langsung: “ma, aku ini kalau belajar harus sepi, tidak seperti kakak ribut pun bisa fokus”. Kalau kita dalam posisi pihak ketiga, sampaikan juga pandangan kita pada orangtua.

Ketika kita sudah bisa mencapai obsesi orangtua dalam bidang pendidikan & pekerjaan, dan beliau masih saja obsesif utk kehidupan masa depan bersama pasangan yang kita pilih apa yang harus kita lakukan?
Mohon diperhatikan juga kata obsesi, kalau kita sematkan atau pakai itu kalau sudah benar-benar sakit jiwa. Kalau belum jangan disebut obsesi. Coba buat visi itu jauh kedepan. Siapa tahu visi orangtua memang mengarahkann kita masuk syurga. Tapi perlu dipahami, sebetulnya kita begini sekarang jangan juga terlalu menyalahkan harapan orangtua saat masa lalu. Silahkan patuhi orgtua semasa beliau tidak mengajak kita buat musyrik dan kalau harapan orangtua sudah kita jalani syukuri dan nikmati, jangan balik kebelakang dan cari kambing hitam atas masalah yang kelak akan datang ke kita akibat pilihan orangtua tadi. Itu dalam rangka menjadi kesehatan jiwa kita juga.
Kalau ternyata harapan itu masih juga dipaksakan kepada kita sekarang dimana kita sudah punya pasangan, bagi jadi 2 peran: kalau kita perempuan, asertiflah bilang: “bu, saya ini harus patuh sama suami, sekarang waktunya saya cari ridho suami. Namun kalau peran kita adalah anak laki, patuhi yang baik-baik, yang tidak baik dari keinginan orangtua asertiflah nyatakan: “Bu, kalau itu saya tidak bisa penuhi, nanti saya jadi kufur sama Allah, saya cinta Allah sama cinta ibu, selama-lamanya.

Bagaimana cara melakukan pendekatan kepada anak yang sedang addicted game yang mungkin menjadi kurang peka dan agak sedikit berontak ke orangtua tetapi orangtua masih tetap sangat obsesif trhdp anak? Metode apa yang bisa kita lakukan sebagai seorang kakak kepada adik ?
Addicted game: sentuh emosinya, bagian perasaan terdalam dalam menjelaskan kerugian main game, bantu dia untuk menguasai diri ketika game itu menggoda dia dengan sangat, sebaiknya jangan dimarahi, tapi buat kesepakatan, silahkan main game selama dia tidak lalai sama ibadah, tidak menzolimi orang dengan marah atau ngamuk, dan tidak lupa makan dan kewajibannya sekolah. Namun, bila masih marah ketika ditegur untuk berhenti dan lalai dalam kewajibannya maka adik tersebut masuk pada tahap addict. Tegas saja berarti, itu sikap di antara halus dan marah. Tapi kita fokus dampingi si adik melepaskan kebiasaan ini. Sampaikan sadarkan bahwa kamu lagi sakit nih. Disampaikan ciri-ciri sakitnya: yaitu apa saja yang berubah sikapnya (dari yang dulu dan sekarang), itu udah jadi bukti.

Bagaimana cara yang menarik dan kreatif bagi orangtua untuk memotivasi anaknya agar berprestasi?
Anak akan berprestasi kalau dia butuh dan minat untuk berprestasi, diawali kita gugah dulu minatnya berprestasi dengan ceritain untung dan bahagianya berprestasi itu. Metode untuk aplikasinya supaya efektif, selaraskan dengan modalitas belajarnya apakah visual, auditory atau kinestetik
 visual bisa dengan jalan-jalan ke museum science, olahraga atau seni, yang menampilkan prestasi-prestasi dunia, atau bareng-bareng browsing prestasi-prestasi dunia orang-orang.
 Auditory, ini bisa dilakukan dengan story telling, ketemu langsung pakar atau orang yang punya pengalaman prestasi yang sebidang.
 Kinestetik, simulasi apakah melalui outbond atau datang langsung ketempat orang berprestasi
Kalau anak sudah tergugah dalam artinya motivasi sudah full untuk siap berbuat. Terlebih bagi orangtua yang berprestasi (di kerjaan ataupun akademiknya ) agar tdk cenderung obsesi.

Bgaimana jika anak itu cuek setelah diberi salah satu metode tersebut? Apa masing-masing anak memiliki “timing khusus” untuk memahami bahwa dia harus bermanfaat untuk sekelilingnya?
Metode dan cara itu trial and learn, berarti pendekatannya masih belum tepat. Cari lagi bagaimana ia bisa “mengalami” sampai masuk kehati, apa melalui idolanya, apa melalui kesukaannya, cari lagi dan lagi. Cara kita memasukan nilai pada anak itu kapanpun dimanapun, dapatkan trans nya masukkan sugestinya.

Otak emosional matang saat keluar dari rahim. Bagaimana kah strategi mematangkan emosi anak saat berada di dalam kandungan? Padahal, ketika hamil seringkali emosi ibu menjadi cenderumg tidak stabil, misal menjadi mudah kesal/mudah sedih. Meski mengetahui bahwa hal tersebut tidak baik untuk janin, seringkali dorongannya terlalu kuat untuk dikontrol. Apakah hal ini akan berpengaruh pada ketidakmatangan emosi anak? Jika iya, bagaimana memperbaikinya?
Betul, bahwa emosi ibu sangat berpengaruh pada perkembangan otak janin. caranya sabar dan tambahlah kesabaran ketika hamil. Nikmati kesusahan demi kesusahan itu jadi ibadah yang pahala tak terhitung, buang prasangka jauh jauh dengan banyak istigfar kalo ada pikiran-pikiran buruk muncul. Jangan keluar satupun keluhan dari mulut kita karena akan terdengar oleh janin kita. Kalau pun sempat keluar, minta maaf dan istigfar lagi. Jangan jadi alasan bhwa kita hamil moodnya harus dituruti dan lain sebagainya, jangan jadi rasionalisasi bahwa orang hamil tidak apa marah-marah, itu pemahaman yang salah. Salah satu cara kita mendidik diri kita menjadi lebih baik mengelola emosi dan keimanan adalah saat-saat kita melewati masa kehamilan dan melahirkan.
Banyak ajak ngobrol si dede bayi. Lagi ngapain kita sekarang, kasih cerita yang menyenangkan yang real terjadi sama kita saat ini, misal: “De… sekarang bunda lagi pakai baju pink, bunda senang pink, jadi dengan pakai baju ini bunda jadi senang”, “De… bantu bunda ya, supaya ade sehat terus, bahagia diperut bunda, sampai saatnya ade keluar nanti selalu mudah ya”. Marah sama sedih itu sama-sama emosi. Kendalikan melow itu bagusnya baca quran saja sekalian atau ajak ngobrol. Nangis sesekali tidak apa, tapi jangan kebawa melow terus. Kasihan bayinya.

Sejauh apa sebaiknya orangtua menanamkan harapan/visi kepada anak? Apakah baik menanamkan visi secara spesifik terhadap profesi tertentu?
Seringkali terjadi juga, ortu ingin anaknya menjadi x, tapi ternyata anaknya memiliki potensi menjadi y. Tapi anak yang sudah terlanjur “ditanamkan menjadi x”, menjadi susah move on dan ingin menjadi x, padahal bukan merupakan potensi dan panggilan hatinya. Sejauh kita menyiapkan dia sebagai ahli syurga, ahli syurga tidak mengenal profesi, kecuali profesi kejahatan dan kriminal. Kita lihat kecenderungan anak minat dan kemampuan yang menonjol kemana, orangtua sebatas mengarahkan apa yang cocok baginya yang itupun masih perkiraan. Sebelum usia 15 tahun, tidak usah tes minat dan bakat, karena saat itu stimulasi segala bidang diberikan. Dari stimulasi berbagai bidang itu kita tanya dan evaluasi lagi mana yang kira-kira cocok dan menonjol, baru setelah 15 tahun mantapkan. Sehingga ketika masuk SMA dia sudah paham keunggulan dirinya dibagian mana.
For your information, minat itu masih normal berubah-ubah sebelum usia 40 tahun. Loncat-loncat kerjaan, gonta-ganti hobi sebelum usia 40tahun masih normal kok. Tidak normal setelah 40 tahun galau terus. Nah itu harus ada yang dibenerin secara psikologis dulu.
Saya teringat berbagai pertanyaan kepada saya, gimana caranya mba mengatur waktu, kerjaan yang kadang bejubel, hobi, anak 5, suami yang juga LDR, dan menjaga kestabilan jiwa. Sebenernya tidak ada yang istimewa dan sayapun bingung jawabnya gimana. Hal ini karena saya hanya coba berusaha untuk MENIKMATI saja masa-masa ini, masa susah, sedih, seneng. Bahwa segala yang terjadi sekecil apapun didunia ini adalah karena izin Allah yang menentukannya demikian semenjak jiwa kita masih di lauh mahfudz. Dan bulak balik selalu diingatkan suami untuk senantiasa bersyukur apapun yang terjadi. Kita sebagai istri dan ibu itu layaknya superman yang otot baja, hati emas, dan akal mutiara. Karena kita akan berjuang menstabilkan jiwa kita sambil double job menggantikan fungsi suami yang sebenernya tidak bisa kita gantikan seluruhnya.
Kita perlu ingat dengan gempuran jaman dan fitnah yang merajalela dari masalah kecanduan game, pornografi, homoseksual sudah perlu ditinggalkan sebetulnya “bapak lelah mencari nafkah, jadi diserahkan sajalah sama ibunya” memang cari nafkah buat siapa. Jadi ibaratnya sedang numbuhin juga cabutin, apa bergunanya ya? Jangan tunggu masalah datang baru kita menyesal. Dari berbagai tantangan jaman tadi, kalau mau terhindar itu kunci dan kekuatannya justru dari rumah, dari keluarga dengan mengembalikan fungsi keluarga semestinya. Mengokohkan peran ayah, dan mengotimalkan peran ibu.

(23 Juli 2016, Diskusi FC#4)
Pemantik : Ani Khairani, M.Psi, Psikolog (Direktur UNIK.Edu+ Educational Psychological Consultancy, Aktivis gerakan Indonesia Beradab, Pemilik Khalifah Childcare Tapos Depok)
Notulis : Anindya FIM 17

Referensi :
Thomas Alva Edison: http://googleweblight.com/?lite_url=http://abiummi.com/nancy-matthews-edison/&ei=8szkyCyo&lc=id-ID&s=1&m=952&host=www.google.co.id&ts=1469271800&sig=AKOVD65-kEYaNnr00QLbBW64UlXmJNltCA
https://googleweblight.com/?lite_url=https://kamilpascasarjanaitb.wordpress.com/2013/06/27/muhammad-al-fatih-sang-penakluk-keangkuhan-konstantinopel/&ei=KSq1H7pP&lc=id-ID&s=1&m=952&host=www.google.co.id&ts=1469277897&sig=AKOVD66aqGWLtGQKj142wxuoHmPYHznPaw

“Cinderella Complex dan Peterpan Syndrome”

cinder dan peter

“Cinderella Complex dan Peterpan Syndrome” untuk mempersiapkan diri menjadi orangtua sejak sebelum menikah dan bagi yang sudah menikah serta bagi yang sudah punya anak pun ini sangat penting untuk memperbaiki diri dan menyiapkan anak-anak agar tidak terjebak pada dua gangguan ini. Istilah Cinderella Complex (CC) dan Peter Pan Syndrome (PS) pertama kali saya dengar dari seorang psikolog senior, ibu Elly Risman saat beliau memberikan nasehat pernikahan untuk Mba Shakina (putri pembina FIM, Bapak Buchori Nasution).

The Cinderella Complex (CC) :
Wanita yang terkena Cinderella Complex (CC) pada umumnya, merasakan ketakutan yang luar biasa untuk menjadi mandiri dan cenderung mencari perlindungan dari seorang pria yang ia anggap sebagai pangeran. Cinderella Complex (CC) adalah penyakit psikologis yang umumnya diderita oleh perempuan. Masih ingatkah dengan kartun tokoh Cinderella? Tokoh yang menceritakan tentang seorang gadis yang disiksa oleh ibu tirinya dan kedua saudara tirinya. Tokoh kartun Cinderella, dalam hidupnya selalu mendambakan kehadiran penyelamat dalam wujud seorang pangeran tampan yang akan memberikan kehidupan yang lebih baik daripada bersama dengan ibu dan kedua saudara tirinya.

Ciri-ciri Penderita Cinderella Complex (CC) :
– Antara usia biologis dengan usia kematangan mental-emotional, terpaut jauh (orang dewasa yang kekanak-kanakan).
– Sangat bergantung pada orang lain, bak parasite.
– Kala mulai berpacaran dan menikah, mereka berharap hidup mereka akan selalu dilindungi dan dijaga.
– Sangat rapuh, terutama dalam menghadapi tekanan dan masalah hidup.
– Di kalangan umum, penyakit ini juga di kenal sebagai Syndrome Umur 20, Syndrome Umur 21, Syndrome Umur 22, dan seterusnya selama wanita itu addicted dengan khayalan akan bertemu dengan pangeran impiannya, sebagaimana yang terjadi di dalam dongeng Cinderella.
– Hal ini juga terjadi pada wanita yang sudah menikah yang takut sang “pangeran” yang jadi suaminya akan pergi dan ia harus “mandri” dalam mengatasi persoalan rumah tangga.

Peterpan Syndrome (PS) :
Penyakit psikologis ini pada umumnya diderita oleh laki-laki, yang mana keadaan laki-laki tersebut menolak untuk menjadi dewasa dan cenderung bersikap manja. Masih ingatkah kalian tokoh kartun Peter Pan? Tokoh kartun yang di tulis oleh J.M. Barrie (1860-1937) merupakan sosok anak kecil yang menolak untuk menjadi dewasa dan lebih memilih untuk menjadi anak-anak agar bisa terus bermain.
Peterpan Syndrome (PS), berawal dari pengaruh keturunan atau lingkungan yang membentuk/membuat pola pikirnya seperti anak anak. Pria yang terkena Peterpan Syndrome umumnya mencari pasangan wanita yang memiliki sifat ke-Ibuan, agar dengan mudah mencari perlindungan dan bermanja-manja. Apabila ia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, ia akan cenderung membanding-bandingkan dengan Ibunya atau dengan wanita lain.

Ciri-ciri Penderita Peterpan Syndrome (PS) :
– Cenderung tidak bertanggung jawab, manja dan tidak suka bekerja keras;
– Sulit untuk berkomitmen dan senang memanipulasi;
– Menyukai dirinya sendri secara berlebihan/narsis/tebar pesona;
– Dependency (bahkan hingga yang terkecil);
– Tidak bisa menerima kritik dan kurang percaya diri;
– Menolak hubungan dengan lawan jenis.
Sindrom ini biasanya mempengaruhi orang-orang yang tidak mau atau merasa tidak mampu untuk tumbuh menjadi orang dewasa, dalam hal ini pemikirannya masih seperti anak-anak. Umumnya, ia tidak mampu tumbuh dan mengambil tanggung jawab sebagai orang dewasa serta menikmati dirinya sebagai anak atau remaja bahkan ketika sudah berusia lebih dari 30 tahun. Yang paling mengerikan tampak pada pria gay yang cenderung memiliki sindrom Peter Pan. Beberapa tidak pernah menjadi dewasa (“Because gay men tend to have peterpan syndrome. Some never grow up”).

Kesalahan orang tua dalam mengasuh anaknya hingga menyebabkan Peterpan Syndrome (PS) dan Cinderella Complex (CC), misalnya:
– Orang tua terlalu memanjakan anaknya;
– Orang tua yang terlalu melindungi anaknya;
– Orang tua yang tidak membangun jiwa berpikir, memilih, dan mengambil keputusan pada anaknya.
Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh :
– Ketidaksiapan pasangan muda untuk menjadi orang tua;
– Orang tua yang dulunya tidak terlalu dimanjakan orang tuanya, sehingga memilih jalan untuk memanjakan anak dengan berlebihan berharap anaknya mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
– Orang tua yang memiliki prinsip yang berbeda dalam mengasuh anak, sehingga anak cenderung mengambil jalan tengah dengan cara yang salah;
– Pasangan yang lama sekali baru dikaruniai anak.

Mengatasi Peterpan Syndrome (PS) and Cinderella Complex (CC) ?
Seseorang pria dengan Peterpan Syndrome akan mencari wanita yang bersifat keibuan, dan seorang wanita dengan Cinderella Complex akan mencari pria yang bisa mengayomi dan melindunginya. Jadi, selama mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan tentu saja itu bukan masalah untuk keduanya. Kita harus memahami sifat dari penderita penyakit psikologis tersebut. Seperti halnya ketika anda ingin diterima dalam masyarakat maka anda harus berusaha menerima orang lain. Untuk penyembuhan kedua sindrom ini, harus ada kemauan dari penderita untuk melawan penyakit psikologis tersebut. Karena, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk terus bergantung pada orang lain. Penderita setidaknya harus berada pada lingkungan yang mendukung mereka untuk terlepas dari penyakit psikologis tersebut.
Bagi pasangan yang sudah menikah dan mempunyai anak, cobalah untuk tidak terlalu memanjakan anak. Karena, anak terlalu mudah untuk menyerap semua informasi yang kita sampaikan secara langsung maupun tidak langsung, sehingga akan mempengaruhi pola berpikirnya ketika ia sudah dewasa. Dan bagi pasangan yang belum menikah atau baru menikah, cobalah untuk benar-benar memahami pasangan anda dan yakinkan pada diri anda bahwa anda menerima mereka apa adanya. Satu-satunya solusi untuk kondisi ini adalah memberikan perlakuan psikologis yang tepat, dalam hal ini tidak terlalu memanjakan anak tapi harus membimbingnya sesuai dengan usianya.

Questions and Answer :
1. Prinsip pengasuhan yang berbeda yang dilakukan oleh sepasang suami istri juga mempengaruhi terjadinya CC dan PS. Apakah yang dimaksud dengan perbedaan cara pengasuhan ini hanya terkait memanjakan anak saja atau ada yg lainnya?
Yang dimaksud dengen perbedaan cara pengasuhan yakni: Perbedaan pengasuhan dari pihak-pihak yang terlibat. Misalnya gaya pengasuhan ayah otoriter yang banyak aturan dan keras sementara ibunya permisif yang serba boleh dan memanjakan. Contoh sederhana, ibu melarang anak makan es krim, ayah malah beliin. Atau sering juga datang dari pihak lain di luar orang tua. Misalnya: ayah dan bunda sudah kompak ngajarin kontrol diri ke anak dengan tidak memenuhi semua permintaan anak. Eh, nenek dan kakek malah beliin, atau malah marahin ayah dan bunda yang tidak mau membelikan permintaan si cucu. Intinya tidak kompak dalam menerapkan pola asuh atau aturan-aturan dalam pengasuhan.
Dari penerapan pola yang tidak kompak ini akhirnya anak memilih ‘jalan tengah’ yang artinya, sikap anak tidak seperti harapan keduanya. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang tidak konsisten dari orang tua atau orang-orang diluar dari orang tuanya tersebut, memiliki kecenderungan anak kurang memiliki kontrol terhadap diri mereka sendiri karena, anak menjadi bingung dengan aturan yang diterapkan berbeda.
Seperti halnya anak dalam tahap menuju dewasa atau pada waktu dewasa biasanya orang tua menaruh harapan kepada anak tersebut untuk memiliki tanggung jawab, mandiri dll. Sementara orang tua yang biasanya permisif atau memanjakan anak pada akhirnya menuntut harapannya terhadap anak yang menurut mereka ideal pada saat menuju dewasa atau pada waktu dewasa. Namun, anak merasa orang tuanya tidak lagi saying padanya (karena tuntutan-tuntutan tersebut) yang mengakibatkan anak marah terhadap orang tuanya.

2. Jika CC dan PS ini terjadi pada pasangan bagaimana mengatasinya?
Kalau belum menikah, coba tanya diri sendiri. Sanggupkah menghadapinya? Dan bagi yang sudah menikah, mau tak mau harus terima dulu keadaaannya. Baru pelan-pelan ajak diskusi untuk memperbaiki diri dan yang paling penting adalah: harus ada kesadaran dari yang bersangkutan untuk berubah. Kalau tidak mempunyai kesadaran untuk berubah akan sulit. kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Akan tetapi biasanya gangguan ini baru disadari setelah usia dewasa (diatas 20 tahun). Biasanya butuh penanganan klinis, artinya butuh terapi psikologis.

3. Apakah setiap orang dengan CC/PS itu menderita? karena, biasanya ada yang mengalami CC/PS tapi dirinya tidak menyadari.
“Orang yang mengalami gangguan ini tidak akan merasakan penderitaan. Asalkan kebutuhan mereka untuk dilayani dan dimanjakan dengan baik serta tidak dituntut untuk memenuhi tugas-tugas yang mereka tidak sukai. Pada dasarnya, mereka memang cenderung tidak menyadari bahwa mereka terkena PS/CC tersebut, sehingga ketika tidak bisa mengerjakan sesuatu atau memenuhi tugas mereka bakal menyalahkan keadaan atau menghindari dan berharap ada penyelamat yang akan menyelesaikan masalah mereka.”

4. Bagaimana cara menyikapi seseorang dengan CC/PS yang memiliki adversity quotion baik, akan tetapi dalam keadaan tertentu dapat berbalik 180 derajat lebih buruk ketika ia teringat hal-hal yang membuatnya berada pada kondisi CC/PS?
“Seseorang yang mengalami CC/PS Pastinya akan kambuh kalau belum tuntas penanganan. Itulah makanya dalam penanganan psikologi ada istilah harus berdamai dengan masa lalu.”

5. Sebagai orang tua pasti tidak mau anaknya menderita/kekurangan sehingga berusaha memberikan apapun terbaik yang dibutuhkan. Pertanyannya, pada umur berapakah (atau saat momen seperti apa) tepatnya seorang anak perlu mendapatkan ‘pelayanan’ orang tua sehingga menghindari CC/PS dimasa mendatang? Mengapa disaat umur/momen itu?
Untuk Pengasuhan sesuai Tahap Usia Anak berdasarkan Nasehat Ali bin Abi Thalib: Usia 7 tahun pertama perlakukan lah anak sebagai raja, tapi jangan kebablasan. Pada 7 tahun ke dua (7 sampai 14) perlakukan anak sebagai tawanan yang artinya si anak perlu dikontrol, diajarin tentang kemandirian dan bertanggung jawab atas dirinya dan peduli pada sekelilingnya. Sehingga pada 7 tahun berikutnya dan seterusnya, anak menjadi dewasa seutuhnya. menjadi sahabat orangtua, tempat berbagi dan bisa menjadi tempat bertanya juga.

6. Sebenarnya terminologi dua hal ini saya temui dulu di suatu artikel, tapi belum pernah saya baca di PPDGJ maupun DSM. Di pendekatan psikologi sendiri apakah pernah melakukan psikoanalis dan psikoterapi pada penderita kedua hal ini? Kalau pernah bagaimana prosesnya?
Sebelum masuk kepertanyaan (agar pembaca lebih mengerti terhadap kedua istilah tersebut), DSM merupakan singkatan dari Diagnostic and Statistical Manual dan PPDGJ merupakan singkatan dari Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa. Keduanya merupakan kitab manual atau panduan untuk psikolog membuat diagnosis terhadap klien.
Dan untuk jawaban terkait pendekatannya menggunakan Prinsip Cognitive Behavior Therapy. Pada Prinsipnya CC dan PS mirip dengan gangguan dependent. Jadi, untuk penanganannya mirip. Setidaknya ini yang saya pakai ke klien saya waktu itu namun berhubung tidak tuntas di saya maka, klien saya rujuk ke psikolog dewasa yang memakai Prinsip tersebut juga.

7. Kalau kita punya hubungan sama anak pengidap CC/PS maka pendekatan apa yang harus dilakukan agar orang tersebut menjauhi sifat tersebut sebelum ke psikolog? Misalnya punya pacar tapi ternyata diketahui dia CC/PS Penanganannya seperti apa? karena tidak mungkin kita meninggalkan mereka hanya karena ini.
Kalau masih statusnya berpacaran maka, masih memungkinkan untuk meninggalkan hubungan pacaran karena ini. Ada hal yang lebih ekstrem, yakni dimana Klien saya sampai bercerai karena tidak tahan dengan suami yang memiliki PS ini. Kalau kita kuat, siap dan tabah menghadapi segala harapan para cinderella dan peterpan ini, maka kita perlu pelan-pelan memberikan pengertian dan semangat untuk menyadari bahwa dia mengalami gangguan ini dan selanjutnya berikan motivasi mereka untuk jalani terapi/berubah. Akan sangat baik jika dari pribadi kita dulu ngecek, apakah kita termasuk CC atau PS. Jika kesadaran datang dari penderita, maka kekuatan untuk sembuh akan lebih tinggi. Motivasi intrinsik lebih baik daripada motivasi ekstrinsik.

8. Bagaimana cara self-diagnose kita termasuk CC/PS?
Self awareness harus kuat dulu. Coba aja dikira-kira terlebih dulu apakah karakteristik CC / PS ada pada diri kita atau tidak. Selanjutnya perlu bertanya kepada orang-orang terdekat misal teman atau saudara terdekat.
Kalau dari pengalaman klien saya yang Cinderella Complex (CC): dia merasa tidak becus dalam urusan rumah tangga. Padahal di sekolah sampai kerja dia selalu berprestasi. Dia takut suaminya benci sama dia karena dia gak tau apa-apa dalam mengurus rumah dan mengasuh anak. Dia merasa dirinya kayak anak kecil. Bahkan saat saya bertanya, kalau memang dia merasa kayak anak kecil, setara usia berapakah dia? Dia menjawab 8 tahun, padahal waktu itu dia berumur 32 tahun.
Sedangkan, untuk pengalaman klien Peter Pan Syndrome (PS): tepatnya seorang bapak-bapak yang diceraikan oleh istrinya. Dengan alasan karena mantan suaminya itu dalam memutuskan urusan rumah tangga selalu bertanya pada ibunya. Apa-apa tanya ibunya. Jadi, istrinya makan ati. Dalam budaya Minang, suami tinggal dirumah isteri akan tetapi, suami terikat banget dalam hal pengambilan keputusan bersama ibunya bukan isterinya.

9. Tadi disebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi Cinderella Complex dan Peter Pan Syndrome adalah lamanya orang tua memiliki anak. Memang yang namanya anak merupakan amanah yang tidak bisa diminta. Namun akhir-akhir ini saya menemui beberapa keluarga baru yang berniat menunda. Saya percaya dari masing-masing mereka memiliki alasan yang kuat. Misal: karena keadaan ekonomi, masih mengejar impian, atau ada juga karena takut melahirkan. Bahkan menggunakan kontrasepsi (pil dan suntik) sejak awal pernikahan.

a. Hal yang demikian ini, apakah salah satu akibat yang dulunya mereka (para pasangan baru) terkena CC dan PS?

Bisa jadi. Kalau tidak mau punya anak karena tidak mau repot alias tidak mau tanggung jawab. Tapi kalau alasan kesehatan, berbeda ya.

b. Atau penundaan seperti itu nanti memungkinkan akan menyebabkan CC dan PS pada anak-anak mereka?

Kalau ditunda terus dan pada saat mereka mempunyai anak jadi over memanjakan anak, iya bakal jadi faktor resiko penyebab CC dan PS. Tapi kalau menunda dengan alasan mempersiapkan diri dan pada saat mempunyai anak bisa memberikan pengasuhan yang tepat dan patut sesuai usia anak, justru ini bagus. Artinya mereka matang sebagai orangtua.

c. Sebenarnya, kita bisa memberikan pemahaman kepada anak-anak kita kelak, tentang fitrah mereka masing-masing itu semenjak kapan? Misal anak kita perempuan, kita mulai memberikan pemahaman bahwa sudah fitrahnya mengandung juga melahirkan, begitu juga dengan laki-laki, kelak dia adalah tulang punggung keluarga yang harus bertanggungjawab.

Semenjak dia bisa bicara, artinya otak manusia alias neocortex udah berfungsi. Rajin lah mengajak anak untuk mengobrol dan jangan males menjawab pertanyaan anak. Pastinya pertanyaan anak tidak langsung rumit, biasanya berkembang sesuai dengan stimulasi yang diberikan orangtua dan lingkungan.

10. Apakah dari ciri-ciri penyakit Cinderella Complex (CC) dan Peter Pan Syndrome (PS) yang sudah disebutkan tadi harus semua unsurnya terpenuhi dulu atau salah satu/dua perilaku kita seperti indikasi penyakit tadi kita sudah disebut sebagai Cinderella Complex (CC) / Peter Pan Syndrome (PS)?
Nah itulah kelemahan gangguan CC dan PS ini. Tidak ada di DSM (Diagnostic and Statistical Manual) atau PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) yang ada aturan untuk mendiagnosis. Tetapi ketika ada ciri-ciri lebih dari dua dari penyakit CC/PS, silahkan mewaspadai keadaan tersebut. Segera diperbaiki diri. Karena pada dasarnya semua ciri-ciri CC dan PS ini tidak ideal untuk orang dewasa. Artinya, hal ini merupakan jiwa anak-anak yang belum tuntas dalam diri kita. Mungkin ini lah yang dikatakan innerchild.
11. karena CC dan PS ini tidak ada di dalam DSM / PPDGJ, bagaimana cara seorang psikolog mendiagnosis kliennya yang terkena CC dan PS ini? Apakah psikolog menilai klien yang terkena CC dan PS berdasarkan pada cerita kliennya pada saat proses konseling?
Sebelum konseling, biasanya psikolog akan melewati proses assesment seperti wawancara, observasi maupun menggunakan alat-alat tes psikologi. Jadi, lewat assesment hasilnya akan dikaitkan pada ciri-ciri CC / PS dengan gejala yang muncul.

12. Pada teman-teman kita yang sudah terlanjur mengalami Cinderella complex (CC) / Peterpan Syndrome (PS), apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka keluar dari gangguan tersebut?
Jika dekat dengan mereka coba aja sharing tentang gangguan ini, trus tanya masukan nya apakah diri pribadi kita menurut dia memenuhi kriteria ini kah? Karena kalau kita langsung nembak dia nya yg terindikasi gangguan ini, mereka bakal tersinggung dan justru menghindari. Jangan pernah menasehati kalau tak diminta, pada dasarnya orang dewasa gak siap dinasehati kalah gak dari dirinya sendiri yg memintanya. Maksud baik kita justru bisa dianggap jelek.”

13. Misalkan tanpa kita sadari saat kita menikah dengan seseorang dan ternyata orang tersebut menderita syndrome seperti yang di jelaskan sebelumnya, langkah apa yang perlu kita lakukan terhadap pasangan kita tersebut?
Terima keadaannya, karena kalau kita tidak siap menerima segala kekanak-kanakannya dan langsung menuntut mereka dewasa, yang ada malah menimbulkan permasalahan. Kalau kita sudah menerima, pelan-pelan ajak ngomong dari hati ke hati ketika suasana lagi tenang dan bahagia. Jangan pernah membahas ini jika suasana hati pasangan sedang tidak baik. Jika pasangan sudah menyadari, ajak pasangan untuk berubah, kalau perlu cari bantuan psikologis profesional.
14. Apakah jika pasangan kita terkerna syndrome tersebut dapat mempengaruhi pola pikir kita sebagai pasangannya sehingga kita terkena syndrome yang sama?
CC dan PS tidak menular. Karena ini merupakan gangguan kepribadian yang proses pembentukan dan perkembangan kepribadian dalam waktu yang lama.
15. Kalau kita sadar akan ada kendala CC di kita karena aturan keluarga yang rumit sedangkan mereka (keluarga) tiak sadar dengan itu, malah melakukan tekanan lebih ketika si calon CC mau memutuskan sesuatu. Akhirnya memilih menjadi CC namun ada kekhawatiran yaitu: pertama, berkelanjutan dari CC itu sendiri dan kekhawatiran yang kedua, keluarga tidak berubah dalam mendidik. Apa yang harus CC lakukan ?
Perkuat kesadaran diri (self awareness). Kembangkan diri di lingkungan diluar keluarga, misalnya di rumah tidak pernah kerja beres-beres atau selalu dilayani. Coba hidup mandiri jika memungkinkan nge-Kos. Kalau berteman, sesekali silaturahmi ke keluarga teman yang dia tidak dimanjakan dirumahnya. Nah, belajar untuk mengamati pola interaksi di keluarga tersebut, berempatilah. Jalin hubungan yang akrab dengan orang tua teman-teman kita yang pola asuhnya beda (tidak memanjakan anaknya) dengan orang tua kita.
Latih lah kepekaan terhadap lingkungan sosial. Biasanya CC dan PS ini jiwa atau keinginan untuk melayani rendah. Inisiatif untuk menolong kurang. Nah, hal ini akan terasah jika kita bersedia ikut magang atau kerja dibidang pelayanan. Jadi bekerja sambil kuliah untuk pekerjaan pelayanan tidak saja demi memenuhi kebutuhan finansial, disisi lain magang atau kerja di bagian pelayanan akan membuat kita lebih peka.

16. Bagaimana Cara melatih diri supaya lepas dari CC/PS itu? Karena bagaimanapun sangat mungkin lingkungan tidak mengerti Kita atau tidak mendukung Kita (misal orang tua masih anggap Kita sebagai anak kecil). Akan tetapi, secara personal Kita sudah sadar tiak kecil lagi dan merasa perlu berubah. Apa saja yang perlu dilatih oleh diri sendiri? Kemampuan leadership ? Kemampuan ambil keputusan sendiri ? Atau hal apa?

CC dan PS justru butuh kemampuan jadi follower. Latih diri untuk bekerja pekerjaan yang melayani orang lain. Peduli dan berempati. Tingkatkan kemampuan inisiatif dan bertanggungjawab untuk hal-hal yang diminta. Jangan tunggu disuruh dan diminta orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan sederhana.
Jika ada kesalahan, bertanggungjawab lah, jangan pernah menyalahkan orang lain atau keadaan diluar diri kita. Latihlah diri untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan atau kerja yang mungkin membuat kita tidak nyaman. Jangan mau yangg enak-enaknya saja.

17. Apakah bisa orang yang merasa terkena CC/PS menterapi secara mandiri sampai tuntas, tanpa harus ke psikolog ?
Bisa saja. Asalkan dia memiliki kesadaran diri yang kuat akan dirinya yang tidak ideal tersebut. Sehingga ketika berusaha berubah, ia pun menyadari hal-hal detail apa saja yang harus diubah.
18. Semisal kalau sudah tahu orang tuanya mendidik anak berbeda pendapat dalam mendidik anak, sebagai kakak yang memiliki adik berusia masih kecil yang tahu di didik seperti itu, bagaimana cara untuk agar adiknya tidak terkena CC/PS?
Coba komunikasikan dengan orang tua. Karena peran orang tua sangat signifikan dalam membentuk jiwa dan kepribadian anak. Selanjutnya, di keluarga harus kompak dalam menerapkan pola pengasuhan dari orang tua atau pun orang dewasa lainnya yang terlibat dalam pengasuhan.

quotes cinder dan peter

(Senin, 20 November 2017; Diskusi FC#4)
Pemantik: YOSI MOLINA, S.Psi. (FIM 2, Dosen Psikologi Universitas Negeri Padang dan Owner Klinik Inspirasi Konsulting Bukittinggi)
Moderator: Ishom Muhammad Drehem – FIM 15
Notulensi: Yuni Amalia – FIM 19

Parenting Mengapa Penting?

featured-parenting

Bobo doll experiment dari Albert Bandura menggunakan dua kelompok anak usia dini, kelompok eksperimen diberi tontonan kartun dengan kelompok kontrol tanpa perlakuan apapun. Hasilnya adalah anak yang mendapat tontonan menjadi lebih agresif dibandingkan anak pada kelompok kontrol. Proses ini menggelitik dan menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa tidak ada satu kelompok anak yang menonton dengan dampingan orang tuanya?
Bukankah menjadi orang tua memerlukan jawaban “how”. Jika dokter, pilot, bahkan tukang jahit diajarkan keahlian tentang bagaimana menjalankan perannya, bagaimana dengan orang tua?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas orangtua mengasuh anaknya dengan “learning by doing” lalu apa bedanya dengan “trial and error” ?
Apakah artinya menjadi orang tua tidak perlu persiapan? Apakah bila nanti tiba saatnya, maka berarti it’s time to practice. Dan pada saat itu saya melakukan riset sederhana dan mendapatkan hasil bahwa 83% ibu yang sudah memiliki anak mengaku bahwa mereka baru mempelajari hal seputar pengasuhan anak ketika sudah tau akan punya anak (mengandung), dan sisanya baru mempelajari hal seputar pengasuhan setelah melahirkan anak.
Menjadi seorang pengasuh, menjadikan kita menjadi seorang pembelajar, karena seandainya jika ada seseorang yang sudah ikut pengajian parenting berkali-kali, lalu kuliah dengan jurusan psikologi sampai dengan master, lalu apakah secara otomatis dia akan siap menjadi orangtua? Tentunya tidak. untuk itulah mengapa kita kita sama-sama belajar menjadi orangtua
Mengapa mengasuh harus disiapkan dari sekarang? karena anak adalah tanggung jawab terbesar yang dititipkan Allah dan akan diminta pertanggungjawabannya. Dari sudut pandang Islam, tertulis dalam QS An-Nisaa: 9 yang artinya:
“Dan hendaklah takut orang yang meninggalkan dibelakang mereka, anak-anak keturunan yang kalian khawatir terhadap mereka. maka bertakwalah pada Allah dan berkata yang benar/jujur.”
dan hendaklah takut, siapa? ‘orang yang meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah’ apa yang dimaksud dengan lemah? ayat ini terselip diantara ayat-ayat tentang mawaris (pewarisan) yang menjadi banyak orang salah tangkap, anak-anak lemah karena tidak ditinggali harta yang cukup. Tapi yang dimaksud lemah sebenarnya adalah lemah karena tidak memiliki kesiapan untuk menghadapi tantangan zamannya. ‘Maka bertaqwalah, dan ucapkan kalimat yang benar, kalimat yang jujur’ bagaimana kita bisa mengucapkan kalimat yang benar, jika tidak ada ilmu mengenai hal itu? Seperti apa makna ‘berkata benar’ itu? ingat, berkata benar berarti mencakup segala perkataan perilaku dan keputusan yang kita berikan kepada anak kita.
Jika tanpa ilmu, tanpa sadar kita bisa mengatakan hal yang tidak benar terhadap anak kita. Sebagai contoh jika suatu saat seorang ibu menghadapi anak balitanya yang jatuh ketika lari-lari, lalu ia kesakitan, ia bisa saja mengatakan.. ‘Gapapa ini, besok juga sembuh..’ yang ternyata besok harinya si anak mendapati lukanya masih sakit. ‘Oooh ini mejanya nakal..sini ibu pukul mejanya’ yang membuat anaknya mudah menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dia perbuat sendiri ‘Alaaah gapapa itu sakit segitu aja, udah gapapa jangan nangis..’ yang membuat anak menjadi tidak memiliki empati kepada orang lain Suatu saat jika ibu harus pergi dari rumah lalu anaknya nangis, kemudian dititipkan pada pembantunya atau neneknya lalu dialihkan perhatiannya lalu ibunya pergi. Suatu saat jika ingin menyuapi anaknya makanan sehat lalu anaknya tidak mau makan, lalu mengelabui dulu ke gelas teh yang manis, tapi padahal isinya asin? yang ternyata membuat si anak menganggap ‘boleh berbohong’ jika tujuannya untuk kepentinganmu. Suatu saat ketika kita sedang sibuk dengan urusan pekerjaan lalu anak balita kita rewel, lalu kita berikan handphone di usia balita? yang ternyata membuat si anak lebih lekat kepada gadget dibandingkan dengan orangtuanya.

Pengetahuan mengenai cara berkata yang benar harus kita siapkan sejak sekarang, Benar perkataan, sikap, perbuatan, dan keputusan. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah memerintahkan para pemuda yang sudah ‘mampu’ untuk menikah.. mampu disini bukan hanya mampu bayar rumah kontrakan, atau mampu beli rumah, beli kendaraan atau mampu bayar sekolah anak. Mampu disini adalah sadar dengan pernikahan tersebut kita akan menghasilkan keturunan dan harus mampu untuk mengasuh dan mendidik keturunan tersebut. Bagi yang laki-laki, konsekuensi dari pernikahan berarti akan memimpin rumah tangga. Sejauh mana kita sudah siap jadi pemimpin dalam rumah tangga? Bagi para perempuan, konsekuensi dari pernikahan adalah untuk tugas perempuan sederhana, cukup taat pada suaminya. Tapi mudahkah merendahkan ego untuk taat kepada suami?

Perkara mendidik keturunan saat ini menggaris bawahi gap generasi di masyarakat sebagai jawaban dari alasan menyiapkan kemampuan mengasuh sebelum menikah. Generasi Y adalah generasi transisi antara X dan Z, sedangkan generasi Alpha, generasi mendatang, sudah harus beradaptasi dengan 4 tantangan utama mengasuh anak, sebagai berikut;
1. Gap generasi, Recovery masa kemerdekaan RI membuat sebagian besar orangtua dikala itu (generasi baby boomers dan gen X) memiliki mindset bahwa jika anak mau sukses, maka anaknya harus mengisi pos-pos industri sehingga orientasi target akademis tinggi pada anak-anaknya. Kita generasi Y dibekali dengan pendidikan setinggi-tingginya tapi ternyata tidak dibekali dengan kemampuan mengasuh anak, bahkan mindset yang lazim dimiliki masyarakat hari ini adalah “mengasuh adalah hal natural yang nanti akan juga bisa didapatkan seiring dengan berjalannya waktu” ini sama dengan istilah yang sudah disinggung diawal ‘learning by doing’ dan ‘trial and error’. Akhirnya, bagi generasi Y cita-cita yang terbersit akan ada seputar menjadi dokter, pilot, guru, dan insinyur dibuktikan anak-anak pada jaman ini disibukkan dengan kegiatan akademis, Sekolah – PR – Les – Sekolah – PR – Les dst.
2. Ketika tidak memiliki kesiapan mengasuh, kita akan cenderung menggunakan cara pengasuhan hasil observasi dari lingkungan terdekat. Misalnya kita akan menggunakan kembali cara mengasuh yang digunakan oleh orangtua kita dulu walaupun kadang kala ada beberapa sisi yang tidak kita sukai, (sering dimarahi, sering dibandingkan, mudah diremehkan, terlalu kolot, pemikiran yang kaku dll) tapi rupanya secara tidak sadar kita mengulangi hal tersebut jika tidak memiliki pengetahuan bagaimana cara merubahnya. Bukan bermaksud menyalahkan cara pengasuhan orang tua kita dahulu, tapi itulah cara terbaik yang bisa mereka lakukan di zamannya, ingat! di zaman orangtua kita parenting belum marak seperti sekarang. Nah, ketika menggunakan cara pengasuhan orangtua kita dulu terhadap anak kita, ini menjadi masalah tersendiri karena kita akan mengasuh generasi Alpha! yang pola pikirnya, gaya hidupnya, tantangan di zamannya akan sangat berbeda dengan jaman orangtua kita dahulu. apa yang terjadi jika gaya pengasuhan Gen X, dipakai untuk mengasuh generasi Alpha? ini menyebabkan terjadi kesenjangan generasi yang bisa menyebabkan pola asuh kita tidak optimal.
3. Generasi Alpha adalah generasi Digital native, yang sejak kecil sudah mengenal teknologi. Sehingga mereka sekarang hidup, belajar, bergaul, bahkan bernafas dengan internet. Tantangan mengasuh menjadi semakin besar dengan terjangan arus bebas informasi yang dapat diakses oleh anak kita kapan pun dan dimanapun. perlu diketahui, di masyarakat kita (Indonesia) terjadi satu fenomena yaitu Gegar budaya (cultural shock) yaitu ketika teknologi berkembang sangat cepat, tidak dibarengi dengan kemampuan para orangtua untuk mendampingi anaknya mengenal teknologi dengan baik. Akhirnya muncul dua tipikal orang tua; orangtua permisif, adalah orangtua yang membiarkan anaknya kenal teknologi sendirian tanpa pendampingan, tipikal orangtua ini menyebabkan anak terpapar hal-hal negatif yang ada di internet. Tipikal kedua adalah orangtua parno, yang menganggap internet adalah berbahaya dan akhirnya menutup akses anaknya dengan teknologi/internet yang mana lebih berbahaya karena menyebabkan anaknya mencari teknologi sendirian dan terjadi kesenjangan dengan orangtuanya. Inilah beberapa data dan fakta yang terjadi di masyarakat kita akibat gegar budaya dengan teknologi. 1. Sebanyak 95 dari 100 anak SD mengaku sudah pernah melihat pornografi (terbukti dengan riset tim edukasi Kakatu setiap kali melakukan edukasi di sekolah). di tahun yang sama, menunjukan bahwa 4,3 juta situs porno dibuat setiap harinya. jika dulu orang harus mencari pornografi jika ingin melihatnya, sekarang pornografi yang mencari anak-anak kita dengan agresif. 2. Pembentukan dopamin (hormon yang membuat seseorang merasa senang) di golden age terstimulasi oleh gadget sehinggal kelekatan anak kepada gadget melebihi kelekatan anak kepada orangtuanya. 3. Adiksi games sampai dengan total penggunaan gadget yang tidak wajar, data terparah yang pernah kami dapatkan adalah anak-anak SD di kota Bandung ada yang masih main HP sampai jam 4 pagi. jika tidak sigap dengan tantangan mengasuh di era digital, anak-anak hari ini terancam: BLAST (Bored, Lonely, Afraid,Angry, Stress, Tired) hidupnya membosankan, kurikulum di sekolah menjadi semakin berat, ditambah lagi dengan tuntutan orangtua harus les, Kesepian, tidak ada teman cerita, komunikasi orangtua dengan anak buruk, Afraid Angry, Stress dan Tired (kelelahan). Anak-anak BLAST sangat rentan terhadap bullying, peer pressure, konten dan value yang tidak baik, sasaran empuk pebisnis pornografi, dan budaya hidup tidak sehat. padahal anak-anak yang akan kita besarkan hari ini dan 87 juta anak lainnya akan mengisi semua posisi pemimpin di negeri ini di tahun 2045, 100 tahun kemerdekaan Indonesia ada yang jadi dokter, guru, peneliti, birokrat, menteri, bahkan presiden. Bisakah kita bayangkan apa yang terjadi di negeri ini jika generasi penerusnya terancam BLAST? Salah satu dari 87 juta anak itu adalah anak kita. Yuk kita sama2 belajar mengasuh anak (parenting) dari sekarang. Sadari bahwa anak kita adalah amanah. Bayangkan jikalau kita dititipkan satu buah benda berharga oleh seorang presiden, apa yang akan kita lakukan? Pastinya kita akan menjaga barang tersebut dengan sangat hati-hati. Bahkan jangan sampai ada satu gores pun pada benda tersebut. Sekarang kita akan dititipkan seorang anak oleh yang maha memiliki alam semesta, dalam keadaan baik-baik, dalam keadaan suci, seberapa kali lipat kita harus berhati-hati menjaga titipan tersebut? Jangan sampai kita mengembalikannya atau mempertanggungjawabkannya dalam keadaan yang rusak. untuk menutup sesi awal ini, mengutip perkataan sayyidina Ali bin Abi Thalib, Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena ia hidup di zamannya, bukan di zamanmu
Tanya jawab
1. David
1.Bagaimana solusi mengatur kebiasaan anak di sekolah dan dirumah? Aturan, pengawasan dirumah dan di sekolah tentu ada perbedaan. Misal : gadget di sekolah dilarang, dirumah boleh dengan pengawasan orangtua. Jikalau anak protes, karena membandingkan teman sebaya di sekolah bebas menggunakan gadget di rumah dan ayah/ibunya ketahuan anaknya sering main gadget online?
2. Bagaimana merubah tabiat anak jalanan yang masuk remaja untuk diajarkan akhlak? Padahal akhlak idealnya sudah diajarkan pada anak-anak usia balita/sebelum remaja.
~ Bagiamana mengatur kebiasaan anak menggunakan gadget, salah satu caranya adalah dengan membuat kesepakatan diawal. Artinya saat awal anak mulai memegang gadget, bentuk kesepakatan contohnya seperti mau lihat apa, mau main berapa lama, dan waktu selesai bermain. Kesepakatan ini dilakukan sebelum memberikan gadget ke anak. Jika anda membelikan gadget pribadi ke anak ada tiga hal yang perlu didiskusikan:
1. Diskusikan kebutuhan, butuh gadget untuk apa? Jika butuh gadget untuk komunikasi dengan orangtua dari sekolah cukup handphone yang bisa menelfon dan sms saja. Jika butuh gadget untuk membantu tugas sekolah, tidak perlu handphone (HP) canggih seperti Samsung 7, Iphone 7, dan HP dengan spesifikasi tinggi lainnya. Jika butuh HP untuk bermain game, masuk ke tahapan diskusi berikutnya
2. Diskusikan resikonya, diskusikan kepada anak terkait resiko yang akan dia hadapi ketika menggunakan gadget dan internet (resiko kecanduan, resiko konten negatif, dan adab-adab berinteraksi). Bayangkan jika kita sedang mengajari anak kecil naik sepeda, apa yang dia rasakan? Cemas, was-was, khawatir lalu kita akan mengatakan kepada anak untuk berhati-hati, memberi berbagai wejangan; hati-hati jaga keseimbangan, nanti ada polisi tidur, hati-hati banyak motor, dsb. Sama halnya ketika kita memberikan sebuah gadget, anak perlu tau resiko yang akan dia hadapi supaya menghindarinya.
3. Diskusikan tanggungjawabnya, diskusikan tanggung jawabnya ketika terlanjur terkena resiko yang sudah diberi tahu.

Sebuah tips menarik yang bisa kita contoh, seorang ibu di US membuat surat perjanjian dengan anaknya sebelum memberikan gadget, salah satu bunyinya seperti ini;
“Mama berikan HP untuk kamu, tapi HP ini milik mama, kamu boleh menggunakannya untuk menunjang kebutuhan sehari-hari kamu. Karena HP ini milik mama, sewaktu-waktu mama mau lihat atau mama mau ambil, kamu harus mengizinkannya.”

Cara ini bisa digunakan untuk mengantisipasi kasus orangtua yang kesulitan mengakses HP anaknya karena diberi ‘password’ dan alasan privacy.
2. Mila Jovovich
Kalau baca materi, semacam sesuai sama candaan teman-teman saya jaman SMA yang intinya anak-anak itu hasil trial and error orangtua,, hehehe … Tapi setelah dipikir serius, mungkin ada benarnya. Anak pertama mungkin udah jadi semacam “korban” trial and error supaya orang tua bisa belajar untuk adik-adiknya. Nah disini emang sih ada aja teman-teman saya yang lebih bermasalah dibandingkan adik-adiknya, atau kakak-kakaknya. Secara keilmuan kondisi begini benar nggak ya? Atau asumsi aja? Hehehe… ada yang jusru belajar dari pengalaman itu dan jadi orangtua yang lebih baik, tapi ada juga yang menurunkan pola didik yang kurang baik ke anak-anaknya. Pertanyaan saya, buat yang sudah terlanjur dapet pola asuh yang kurang baik, dirinya perlu melakukan apa supaya nggak menurunkan pola didik yang sama ke anak-anaknya? Atau saya sebagai sahabatnya, bisa melakukan apa supaya anak-anak mereka nggak menjadi generasi hasil trial and error lagi?
~ Perbedaan hasil pola asuh anak pertama dan anak kedua dst bisa jadi adalah salah satu indikasi dari kekurang siapan orang tua untuk mengasuh, jadi betul-betul ‘trial and error’ padahal mengasuh anak kan tidak bisa diulang kembali, kalau ingat slogan salah satu produk minyak kayu putih “Buat anak kok coba-coba”
Tapi, tidak ada kata terlambat untuk menyadari pentingnya pola asuh apa yang akan kita berikan ke anak kita nanti, selama seseorang mau belajar memahami diri dan belajar menghadapi tantangan. Kuncinya terdapat pada 2 hal itu tadi; SADAR dan TAU. Sadar bahwa perlu belajar mengasuh anak, sadar bahwa ada tantangan pengasuhan yang semakin banyak seiring dengan perkembangan zaman, dan tau apa saja yang perlu dilakukan untuk membekali diri sehingga bisa mengasuh anak dengan baik. Jika memang ada ‘karakter’ yang tidak bisa lepass akibat dari pengasuhan orangtua terdahulu, kita bisa ikut pelatihan ‘forgiveness therapy’ atau ‘healing innerchild’
Mila Jovovich
Sayapun mungkin bungung mau ngapain kalau nanti punya anak. Teman saya bahkan ada yang sampai menangis ketika menyusui karena tidak tahu harus ngapain. Sarannya akan saya jadikan referensi
~ Ada beberapa hal yang bisa disiapkan secara konkret untuk mempersiapkan kemampuan mengasuh, kita bahas pasca sesi tanya jawab.
Innerchild sederhananya adalah sosok anak kecil yang berada dalam diri kita. Ada orang yang innerchild nya baik ada juga yang kondisinya buruk atau bisa dikatakan trauma.
Sebagai contoh:
Prankk!!! (terdengar suara gelas pecah). “Kok dipecahin sih gelasnya?!!” Semua kata-kata negatif terlontar pada anak kecil yang sedang bermain dan tak sengaja menyenggol gelas di sebuah meja. Gelas seakan jauh lebih mahal dibandingkan harga diri anak. Sebenarnya, orangtua juga memahami bahwa anak jauh lebih mahal daripada gelas. Tapi entah mengapa emosi pad situasi itu tidak terkendali sehingga dengan agresifnya orangtua memarahi anaknnya sendiri. Masalah seperti itu sering terjadi karena innerchild kita msih bermasalah. Masalah mood dan emosi seperti kecewa berlebihan, bimbang, agresif bahkan seringkali menimbulkan kekerasan fisik dikarenakan permasalahan innerchild yang masih belum terselesaikan di masa lalu. Masalah ini bisa berdampak besar karenaakan membentuk skema emosi yang sama pada anak kita, turun menurun, terus ke generasi selanjutnya. Makadari itu, penting bagi kita untuk memberikan penanganan yang tepat.
Innerchild itu berwujud rekaman masa lalu yang masih teringat dan terbayang sampai saat ini. Saya yakin pasti banyak hal yang sudah kita lalui bersama orangtua, entah itu kenangan baik atau buruk. Nah kenangan buruk inilah yang perlu diwaspadai, jangan sampai kita meneruskan kenanagan ini ke anak kita kelak. Hal yang perlu dilakukan adalah berdamai dengan masa lalu, maafkan kenangan pahit saat itu, dan ikhlaskan.
3. Gita dan Karrama
Mohon maaf sebelumnya, perkenalkan saya Gita dari Makassar. Aku kan masih awam tentang ilmu parenting nih kak. Sedangkan dari penjelasan kakak ada beberapa kata-kata yang sudah menjadi “budaya” yang sering dilakukan orang tua. Apa sih kata dan sikap yang sebaiknya kita lakukan jika kita dihadapkan seperti kasus Anak jatuh yang di’bohongi’ besok akan langsung sembuh. Bagaimana saya harus bersikap?
~ Orang tua harus konsisten, jika sudah membuat kesepakatan dengan anak, tepati kesepakatan itu apapun kondisinya, jangan mengalah karena alasan ‘ga tega’ dengan anak, jika sering kendor aturannya, anak akan terus mencari celah supaya bisa membujuk orangtuanya. Konsisten juga berarti orangtua harus membuat kesepakatan dengan seluruh orang dewasa atau anak lainnya dalam keluarga yang terlibat langsung dalam pengasuhan si anak. Misalnya istri,suami, anak pertama dengan kakek, nenek, juga asisten rumah tangga.
Jika tanpa ilmu, tanpa sadar kita bisa mengatakan hal yang keliru kepada anak. Sebagai contoh, jika suatu saat seorang ibu menghadapi anak balitanya yang jatuh ketika lari-lari, lalu anak merasa kesakitan, Ibu bisa saja mengatakan ‘Gapapa nak besok juga sembug’ yang ternyata besok harinya si anak mendapati luka yang masih sakit. ‘Oh… ini mejanya nakal, sini ibu pukul mejanya’ ini sadar tidak sadar mendidik anak untuk menyalahkan orang/hal lain di luar dirinya atas kesalahan yang ia buat sendiri. ‘ Alaaaah gapapa itu sakit segitu aja, udah nggakpapa jangan nangis…’ ini membuat anak tidak berempati kepada orang lain. Suatu saat jika ibu harus pergi dari rumah lalu anaknya nangis, kemudian dititipkan pada pembantunya atau neneknya lalu dialihkan perhatiannya lalu ibunya pergi.. Suatu saat jika ingin menyuapi anaknya makanan sehat lalu anaknya tidak mau makan, lalu mengelabui dulu ke gelas teh yang manis, tapi padahal isinya asin? yang ternyata membuat si anak menganggap ‘boleh berbohong’ jika tujuannya untuk kepentinganmu. Suatu saat ketika kita sedang sibuk dengan urusan pekerjaan lalu anak balita kita rewel, lalu kita berikan handphone di usia balita? yang ternyata membuat si anak lebih lekat kepada gadget dibandingkan dengan orangtuanya.

Bagaimana harus bersikap?
jika mendapati anak jatuh, apa yang harus dilakukan? memang tidak harus melakukan apa2 peluk dulu sampai emosinya stabil, jangan dihentikan tangisnya, biarkan dia mengalirkan emosinya sampai selesai.. kemudian sapa perasaannya.. ‘sakit yaa kakinya’ semoga lekas sembuh yaa.. sambil dielus2 atau beri pertolongan langsung jika memang lukanya besar dan butuh pertolongan.. sampai emosinya stabil, tidak perlu mengatakan apapun, apalagi menasehati.. menasehati bisa saja jadi salah satu komunikasi populer yang sering dilakukan oleh orgtua yang justru menyebabkan miss komunikasi dengan anaknya.. menasehati disaat yang tidak tepat, misal kasusnya ketika anak sedang mengangis atau anak sedang tantrum.. setelah emosinya stabil, baru boleh dinasehati dengan baik.. misalnya: adik jatuh karena lari2 yaa.. nah sekarang adik tau, kalo lari2 kencang, kita bisa jatuh, lain kali larinya harus lebih hati2 ya! lebih baik mengatakan seperti ini daripada bilang ‘jangan lari2!’

4. Robbi Aulia Helmi
Bagaimana pendapat kang Saad tentang Homeschooling karena disini bonding antara orangtua dan anak bisa sangat dekat. Saya melihat pola asuh ini dari Bunda Septi Peni dan menginspirasi saya untuk melakukan hal yangg sama kelak. Namun pada beberapa kasus, homeschooling menyebabkan anak tidak banyak memiliki teman dan menjadi ansos. Disisi lain, saya memiliki planning bahwa anak saya kelak harus menjadi hafidz atau hafidzah. In case, diupayakan masuk pesantren, ya sangat bertabrakan. Mohon pencerahan kang, mungking kang Saad bisa membuat titik temu antar keduanya?

~ Homeschooling pastinya orangtua harus sudah siap dengan menjadi provider pendidikan anak dari segala aspek, psikologis, akademis, lifeskills dsb. Nah terkait ansos, rasanya homeschooling yang baik idealnya tak akan membuat anak menjadi ansos, karena skill bersosialisasi menjadi salah satu ‘kurikulum’ yang harus orangtua siapkan juga dalam proses pendidikan. Buktinya jika mengambil contoh dari bu Septi Peni, ketiga anaknya adalah entrepreneur yang skill sosialnya tidak diragukan lagi, bahkan mereka semua memiliki skill public speaking diatas rata-rata, mungkin lebih baik dari anak yang sekolah formal. Terkait cita-cita menjadi hafidz atau haafidzah ini baik sekali, namun jangan lupa, peran orangtua dalam mendidik tetap yang utama. Sekolah/pesantren hanyalah sarana untuk mencapainya. Jangan sampai kita ‘mensubkontrakkan’ anak kita pada sekolah/pesantren, dalam artian karena merasa anak sudah sekolah di pesantren, lalu orangtua sudah tenang dan tinggal memetik hasilnya.

Robbi Aulia Helmi
saya ngeliat case temen lain kang hehe jadi agak ansos.. mungkin karena perbedaan kurikulum yaa. hem baik kang 🙂 kalau kang Saad dihadapkan pada pilihan. anak kang Saad mengikuti apapun keputusan orangtuanya. kang Saad akan memilih Homeschooling atau sekolah formal atau pesantren?
terkait kurikulum sekali lagi saya belum tau yah kurikulum ideal home schooling itu seperti apa.. kalo temen-temen tertarik mau angkat home schooling jadi pembahasan khusus, nanti bisa sayasambungkan ke pakar home schooling untuk mengisi sesi sharse selanjutnya pada intinya home schooling dilakukan ketika orangtua ingin menerapkan sistem pendidikan yang lebih tepat dengan tujuan pengasuhan anaknya.. jika anak jadi ansos, mungkin skill bersosialisasinya luput dari kurikulum yang diterapkan orangtuanya.

~ kalo saya cenderung ke sekolah formal kang 🙂 dengan pertimbangan saya perlu tau dulu tujuan pendidikan sekolahnya dan lingkungan yang dibentuk oleh sekolah tsb

Bagaimana dengan keluarga yang mengalami divorced dan broken home sehingga kehilangan salah satu sosok orangtua dan tidak mendapatkan pola asuh seimbang?
~ idealnya pendidikan parenting akan berjalan sempurna dan beriringan ketika dilakukan oleh orangtua yg lengkap. namun bagaimana keadaannya, jika orangtuanya divorced.
betul, idealnya pendidikan dan parenting butuh peran lengkap ibu dan ayah.. Jika anak mendapat kasih sayang hanya dari ibu, namun tidak mendapatkannya dari ayah, ia seperti bendungan dengan air berlimpah, namun temboknya rapuh.. Jika anak mendapat kasih sayang hanya dari ayah, namun tidak mendapatkannya dari ibu, ia bagai bendungan kokoh yang kering tak berisi. Kultur kita terlanjur melekat kuat bahwa urusan anak adalah urusan Ibu. jangankan pada keluarga yang mengalami divorce, keluarga yang lengkap pun masih banyak ditemukan peran pengasuhannya tidak seimbang. yah dan Ibu memiliki porsi masing-masing dalam membangun bendungan jiwa anak. Perannya saling melengkapi. Dan yang perlu ditekankan adalah bukan lengkap jumlah atau personnya yang paling penting, tapi lengkap fungsinya. Jika kita ada pada suatu kondisi tidak ideal, tetap lengkapi peran yang hilang dari kakek atau nenek, paman atau bibi, kakak, atau orang dewasa lainnya yang bisa jadi panutan.. Dan pihak yang terlibat dalam pengasuhan anak harus kompak dan konsisten terhadap batasan dan nilai yang dibuat oleh pemimpin keluarga.. Jika peran pengganti juga sulit didapatkan, sebagai orangtua tunggal kita perlu berperan ganda, menjadi ayah sekaligus menjadi ibu.

5. Ayu Jannat
Apa saja resiko dari mengasuh anak dengan menggunakan metode ‘learn by doing’ kak? Kalau boleh mohon dipaparkan hasil riset terkait itu jika ada?

~ Resiko dari mengasuh anak learn by doing ada risetnya? Belum ada.. tapi coba deh kalo misalnya kita ngelakuin sesuatu dengan cara learn by doing, selalu ada celah untuk melakukan kesalahan. Sebetulnya bukan berarti kita harus siap dulu tau segala hal baru boleh mengasuh anak, menjadi seorang pengasuh selalu menjadikan kita seorang pembelajar. belajar sejak dini bertujuan untuk meminimalisir resiko kesalahan perkataan, perbuatan dan keputusan yang akan kita ambil untuk mengasuh anak kita kelak.

Sebagai contoh, ada sharing cerita dari teman di kelas pendampingan kehamilan yang saat ini sedang saya ikuti. Saat ini dia sedang mengikuti probram VBAC karena dulu melahirkan anak pertamanya dengann caesar dan mendapatkan banyak intervensi dari pihak rumah sakit karena pada waktu itu dia tidak memiliki pengetahuan tentang proses persalinan. Dia bilang menyesal baru ikut kelas pendampingan kehamilan setelah hamil anak kedua.

Bagaimana cara ‘merehabilitasi’ anak-anak yang sudah telanjur di posisi dimana kelekatannya pada gadget melebihi kelekatan pada orangtua?

~ Carikan alternatif kegiatan yang lebih menarik atau minimal sama menariknya dengan gadget, jangan sampai orangtua bilang ‘jangan main hape terus!’ Tapi tidak menyediakan aktivitas lain yang menarik untuk anak. mungkin kegiatan fisik, misalnya; menunggangi kuda, berenang, memanah, book hunter, camping Bersama ayah. diantara tips & triknya bisa lihat lagi jawaban saya soal cara mengatur kebiasaan anak menggunakan gadget. tambahannya, kenali karakteristik digital native dan pengasuhan seperti apa yang tepat untuknya, pelajari bagaimana cara mendampingi anak mengenal teknologi, kenalkan anak pada teknologi sesuai dengan kebutuhannya, diskusikan dengannya terkait resiko2nya, diskusikan juga tanggungjawabnya, beri aturan waktu dalam menggunakan gadget, dan yang paling utama lakukan semua itu dengan komunikasi yang benar, baik dan menyenangkan..

Adakah pilihan lain selain menjadi orangtua yang permisif atau parno di era digital sekarang? Bagaimana cara mempersiapkan dari sekarang, mohon tips dan triknya?

~ Orangtua permisif dan parno hanyalah 2 tipe akibat dari fenomena gegar budaya di masyarakat kita. Pilihan lainnya tentu menjadi orangtua yang bijak di era digital yang sadar dengan tantangan mengasuh di era digital, kenal karakteristik anak era digital dan tau bagaimana cara mengasuhnya.

Seringkali ada fakta bahwa terjadi ketidak kompakan antara sang ayah dan ibu terkait pola asuh bahkan dalam menentukan keputusan tertentu untuk anaknya. Sayangnya resikonya pun berakibat ke mental sang anak. Nah, bagaimana cara mengantisipasi hal tersebut dimulai sejak tahapan memilih pasangan halal dan berlanjut ke tahap-tahap selanjutnya?

~ Lanjutan pertanyaan terakhir dri Ayu 4. Seringkali ada fakta bahwa terjadi ketidak-kompakkan antara sang ayah dan ibu terkait pola asuh atau bahkan dalam menentukan keputusan, tertentu untuk anaknya. Sayangnya, risikonya pun berakibat ke mental sang anak. Nah, bagaimana cara mengantisipasi hal tersebut dimulai sejak tahapan memilih pasangan halal dan berlanjut ke tahapan-tahapan selanjutnya? diantara tips & triknya bisa lihat lagi jawaban saya soal cara mengatur kebiasaan anak menggunakan gadget. tambahannya, kenali karakteristik digital native dan pengasuhan seperti apa yang tepat untuknya, pelajari bagaimana cara mendampingi anak mengenal teknologi, kenalkan anak pada teknologi sesuai dengan kebutuhannya.. diskusikan dengannya terkait resiko-resikonya, diskusikan juga tanggungjawabnya, beri aturan waktu dalam menggunakan gadget, dan yang paling utama lakukan semua itu dengan komunikasi yang benar, baik dan menyenangkan.

Hak pertama anak kita di dunia ini adalah dipilihkan ayah/ibu yang baik untuknya 🙂 tentunya jadi tugas bagi yang sedang mencari calon pendamping untuk benar2 memilih pendamping sesuai yang pas dengan frame diri kita. bagaimana cara mengenalnya? apakah harus dijalani dengan masa perkenalan (ta’aruf) yang bertahun-tahun? ingat! “Mengenal calon pasangan sebelum nikah bukanlah jaminan pernikahan akan berlangsung dengan baik, karena semua sifat asli akan muncul setelah menikah sehingga proses mengenal pasangan adalah proses seumur hidup.” sampaikan pandangan hidup dan rencana-rencana pengasuhan anak kita ketika berkenalan dengan calon pasangan, tanyakan pula bagaimana pandangannya dalam hal pengasuhan anak. Jika sudah satu pandangan, satu aqidah, mau saling membuka diri, mau saling menjaga komunikasi, mau saling bekerjasama, insya Allah kedepannya akan terjalin kekompakkan dalam rumah tangga kita, insya Allah

12 Gaya Populer/ Gaya Parentogenic

12 Gaya populer atau istilahnya adalah gaya parentogenic, adalah gaya yang biasa digunakan oleh orangtua. Saking umumnya digunakan oleh orangtua bahkan secara turun-temurun, kita menganggap kalimat-kalimat itu adalah kalimat yang wajar. emangnya ini kalimat yang tidak wajar? gaya komunikasi seperti ini membuat perasaan anak menjadi tidak nyaman (dengan kadar masing-masing). Gaya komunikasi seperti ini menciptakan satu lubang di hati anak yang tak terlihat oleh orangtua. Jika terus menerus digunakan, gaya populer ini menjadi penghalang komunikasi anak dengan orangtua.

Gaya populer Kekeliruan dalam Komunikasi. Lihat komunikasi dalam pengasuhan anak oleh Psikolog perempuan yang berfokus pada parenting dan pendidikan anak dari
Seratusintitute.com . http://www.seratusinstitute.com/news/detail/psikologi/53/gaya-populer-kekeliruan-dalam-komunikasi.html

Kegiatan Fisik, misalnya, menunggangi kuda, berenang, memanah, book hunter, camping bersama ayah.

Referensi lain Ust. Bachtiar Nasir “Ayah dan anak laki-laki” dan pakar parenting Ust. Budi Ashari “Melahirkan generasi al Fatih dan Salahuddin Al-Ayubi”.

Closing statement

Setiap diri kita sudah dibekali naluri untuk menjadi ayah/ibu yang baik bagi anak2 kita. Tugas kita adalah melatih naluri tersebut untuk bisa dimaksimalkan dalam mengasuh anak dengan segala tantangan yang kita hadapi hari ini. Dalam satu kisah Rasulullah mengatakan, ikat dulu untamu, baru bertawakkal. Siapkan diri kita untuk menjadi orangtua yang bijak di zaman sekarang, insya Allah akan selalu diberikan keberkahan dalam menjalankan amanah kita kelak sebagai orangtua.

(Minggu 12 November 2017, Diskusi FC#4)
Bomber: Saad Ibrahim ( Inisiator Nuparents, Edukator Parenting di Era Digital)
Moderator: Robbi Aulia Helmi (FIM 18)
Notulis : Sekar Hanafi (FIM 17)

 

 

 

Mengobati Kecanduan Pornografi Pada Anak

stop_pornografi

Meruaknya media dan gadget digital masa kini bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua: di satu sisi memudahkan akses ilmu pengetahuan dan informasi, namun di sisi lain juga menyuguhkan “pengetahuan berbahaya” seperti pornografi yang harus diproteksi dari anak-anak kita. Psikolog Anak, Ibu Elly Risman,menyatakan bahwa dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh pornografi ini bahkan jauh lebih berbahaya daripada narkoba.Dilansir dari situs eramuslim.com yang merangkum seminar Bunda Elly di IPB Bogor, dinyatakan bahwa otak anak yang rusak akibat pornografi diibaratkan seperti sebuah mobil yang bagian depannya mengalami kerusakan parah akibat tabrakan.

Pre Frontal Cortex (PFC) atau bagian otak depan anak adalah bagian otak yang menjadi rusak jika telah kecanduan pornografi. Padahal, fungsi dari PFC pada otak adalah untuk merencanakan, mengendalikan emosi, mengambil keputusan, dan berpikir kritis dan lainnya. Fungsi PFC ini terus berkembang dan akan matang pada usia 25 tahun, maka bayangkanlah jika dalam tahap perkembangannya fungsi ini telah rusak bahkan sebelum mencapai kematangan.Karena itu, untuk menanggulangi dan mencegah kerusakan pornografi pada diri anak, Fim Club 4 Pendidikan Parenting Forum Indonesia Muda menggelar sebuah diskusi online pada 26 Maret 2016 dengan pembicara Ibu Dra. Perwitasari, seorang psikolog lulusan Universitas Indonesia yang saat ini aktif berkegiatan sebagai psikolog, trainer, konselor di Yayasan Kita dan Buah Hati dan RSIA KMC.

Bu Perwitasari atau biasa dipanggil dengan Bu Wiwit memaparkan bahwa, saat ini yang membuat pornografi menjadi semakin berbahaya dengan kehadiran internet adalah karena internet mengandung unsur 4A.dengan kecanggihan internet mengandung unsur 4 A, yaitu :

  1. Accesible; Mudah diakses dimanapun kapanpun
  2. Affordable; Terjangkau. Bahkan tanpa biaya.
  3. Anonim; Rahasia. Tanpa diketahui org lain.
  4. Aggressive; Bersifat menyerang, mengejar konsumennya. Karena saat ini pornografi disebarkan tidak lagi melalui situs namun bahkan ke medsos pribadi, yang terkadang memunculkan gambar-gambar “berbahaya” di home kita, yang kita sendiri sebetulnya tidak menghendaki.Pornografi ini pada anak akibatnya bisa lebih parah daripada orang dewasa, karena anak-anak sebetulnya belum cukup berkembang PFCnya. Sehingga, mereka cenderung menyerap dan meniru begitu saja apapun yang dilihat.

Hal lain yg membuat anak atau seseorang mudah kecanduan pornografi adalah kondisi BLAST (boring, lonely, angry, stress dan tired).  Kondisi BLASTakan menuntut otak untuk melakukan sesuatu yang menstimulasi keluarnya dopamin pada otak. Jikaberada di dalam kondisi ini kita melihat pornografi, maka otak kita akan mengeluarkan dopamin. Sehingga timbullah rasa ketagihan, dan keinginan untuk mengulanginya kembali.

Lalu, bagaimana mencegahnya? Internet yang aman dan sehat jelas sangat diperlukan. Maka, orang tua sejak awal harus memastikan bahwa internet yang digunakan anak berada di dalam control orangtua dan memiliki filter untuk mencegah anak-anak mengakses konten porno. Tetapi, seiring dengan bertambah usia, tentu kontrol eksternal ini perlu juga didampingi dengan kontrol internal, yakni dengan memberikan edukasi tentang bahaya pornografi bagi perkembangan mereka. Anak perlu tahu apa bahayanya, dan apa yang harus dilakukan bila tidak sengaja melihatnya. Sejak awal anak-anak diajarkan dan ditanamkan untuk tidak mengizinkan dirinya melihat hal-hal yang tidak baik dan menjaga pandangannya.

Kita juga perlu menciptakan hubungan yang hangat dengan anak agar mereka tidak berada di dalam kondisi BLAST. Ajarkan juga bagaimana sejak awal mereka bisa mengatasi BLAST itu, dengan berbagai alternatif kegiatan yang positif, kreatif dan produktif. Kegiatan olahraga juga diperlukan agar anak dapat menyalurkan energinya. Bagi anak laki2, saat baligh nanti olah raga ini diperlukan untuk mengeluarkan sperma, dengancara sehat dan alamiah tanpa perlu melakukan hal-hal negatif (seperti masturbasi dll). Tanamkan juga keimanan sehingga anak menghayati adanya pengawasan dari Yang Maha Mengetahui, dan keyakinan bahwa semua yang ia lakukan harus dipertanggungjawabkan di hadapanNya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana menangani anak yang sudah terlanjur kecanduan pornografi?Kita harus pahami bahwa kecanduan porno membuat yang bersangkutan lebih sulit mengontrol dirinya dibanding kecanduan yang lain. Hal ini dikarenakan jika anak kecanduan karena hal yang lain, napza misalnya, unsur yang menyebabkan kecanduan itu berasal dari luar dirinya. Sehingga, saat unsur itu ditiadakan maka otomatis tubuhnya akan melakukan detoksifikasi menetralkan zat-zat kimia di dalam otaknya. Namun, kecanduan pornografi akanmembuat terbentuknya mental model porno/perpustakaan porno di dalam otak yang bersangkutan. Sehingga, meskipun dia sudah tidak bisa mengakses pornografi secara langsung, ia tetap bisa mengakses dan memutar ulang adegan-adegan porno di kepalanya. Hal ini akan menyebabkan dia tetap kecanduan untuk memutar kembali memorynya tanpa perlu diminta. Dan hanya dia yang tahu mengenai hal ini.Inilah yang menyebabkan kecanduan pornografi lebih sulit untuk dihilangkan bila yang bersangkutan belum memiliki kesadaran untuk berubah/sembuh. Maka,apa saja tahapan yang harus dilakukan?

  1. Hal pertama yang harus dilakukan dan yang paling sulit adalah membangun kesadaran pada yang bersangkutanakan bahaya pornografi dan memunculkan motivasi untuk mau sembuh/ meninggalkan pornografi.
  2. Kedua, adalah memberi anak kemampuan untuk mengatasi kondisi BLAST. Dalam hal ini, bagi anak dibutuhkan dukungan positif dari orang tua. Pola asuh ya harus diubah menjadi pola asuh positif.
  3. Ketiga, diperlukan kemampuan untuk mengatasi “flash” / memory pornografi yang bisa muncul tiba-tiba, Anak harus belajar mencari alternatif kegiatan atau pemikiran positif yg dapat mengalihkan “flash”.

Mulai usia berapakah anak bisa dikenalkan tentang edukasi pornografi?

Mengajarkan anak akan bahaya pornografi memang harus bertahap sesuai dengan usia anak.  Yang harus diajarkan sejak awal adalah pemahaman bahwa tidak semua hal bisa/ boleh kita lihat, kita dengar, dan kita lakukan.Penting juga untuk mengajarkan anak-anak tentang bagian tubuh yang boleh terlihat, dilihat, dan mana yang tidak boleh.Seperti kalau kita mengajarkan makanan ada yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan. Contohnya, sejak kecil kita tidak membiarkan anak melihat bagian tubuh org lain yg privacyatau menjadi aurat seseorang. Tanamkan kepada anak rasa malu ketika melihat aurat maupun ketika auratnya terlihat.Jadi, jangan buka baju di depan anak. Jangan bawa anak ke tempat-tempat yang dia bisa melihat hal-hal yang tidak senonoh. Jangan sampai porno-aksi nya justru ia dapatkan pertama kali dari rumah secara tidak sengaja. Penting untuk memastikan tidak ada anak dan kamar sudah terkunci rapat saat melakukan hubungan seksual.Jadi, memang pendidikan seksualitas yang benar, sehat dan lurus yang harus diberikan sejak awal.  Agar anak sejak awal memiliki kesadaran dan pemahaman yang benarakan aurat dan rasa malu.

Bagaimana menanggulangi pengaruh lingkungan?Internet kanada di mana saja dan sulit dikontrol. Bagaimana jika internet sudah diproteksi di rumah, namun ia justru mendapatkan dari teman-temannya di sekolah?

Sesungguhnya yang utama adalah memunculkan kontrol internal, yakni dengan edukasi yang benar.Sampaikan bahwa hal-hal yang ia lihat dan ia dengar akan mempengaruhi dirinya. Kita tentu saja dapat menggunakan analogi-analogi dan media yg konkrit.Misalnya, kita menyiapkan 2 wadah lalu masing-masingmemasukkan benda yang bersih dan benda yang kotor/sampah. Lalu, kita minta anak membandingkan mana yang ia suka. Tentu iaakan memilih yg bersih. Nah, kita sampaikan bahwa apayang kita lihat, dengar, dan juga yang kita makan itu ada yang baik dan membuat kita sehat, namun ada juga yang merupakan sampah/hal tidak baik yang bisa membuat sakit/merusak diri kita.

Di usia dini memang kontrol eksternal masih sangat diperlukan. Kita harus memastikan mereka memang tidak bisa mengakses konten porno baik sengaja maupun tidak sengaja.Anak-anak umumnya terpapar karena ketidaksengajaan.Hal ini disebabkan karena orang tua lalai.Tidak menyadari adanya bahaya pornografi.Misalnya, guru memberikan tugas yang harus mengakses internet, padahal anak belum diedukasi.Atau orang tua yang mengakses lalu lalai/terlihat oleh anak. Atau media-media  seperti film-film anak-anak yang memiliki adegan porno. Memang kita seringkali kurang sensitif pada softporn sehingga menganggap itu adalah hal yang biasa. Padahal, ini yang membuat kita menjadi butuh untuk melihat hardporn. Oleh karena sering melihat softporn ini, kita jadi tidak menyadari hardporn, tahu-tahu sudah kecanduan.

Proses yang terjadi di otak tidak bisa kita handle karena terjadi tanpa kita sadari. Bila sejak awal anak sudah kita latih untuk mengontrol pandangannya, mengontrol pendengarannya, mengontrol apa yang dia makan dengan senang hati, bukan karena takut/terpaksa, maka akan menjadi tameng untuk tidak memperhatikan pornografi. Oleh karena itu, penting sejak awal kita membangun kemampuan berpikir memilih dan memutuskan untuk melakukan hal yang baik. Bagaimana caranya?Yakni dengan membiasakan berdialog. Lebih sering menggunakan kalimat tanya daripada kalimat perintah. Memberikan alternatif-alternatif pilihan positif dan respek pada keputusan anak, daripada sekedar menyuruh-nyuruh. Disini memang dituntut kreativitas orang tua dan kemampuan memahami karakter anak sesuai dengan usia.

Lalu, Bagaimana interaksi dengan gadget?Apakah sebaiknya anak-anak dibatasi?

Ketika anak sudah akan berinteraksi dengan gadget, maka anak sebelumnya sudah harus dijelaskan baik buruknya,  aturannya, dan kesepakatan penggunaannya. Sebaiknya sebelum baligh, anak tidak dibiarkan berinteraksi dengan gadget dan internet tanpa pengawasan orang tua. Dan saat remaja di atas 17 tahun atau setelah baligh,  pastikan bahwa anak sudah memiliki kontrol internal yang baik. Anak-anak lebih baik diperbanyak kegiatan eksplorasi di alam, kegiatan yang aktif bergerak, kegiatan keterampilan yang kreatif.Selain untuk merangsang saraf-saraf di otaknya, juga untuk melatih otot-ototnya.Hal ini juga merupakan stimulus yang baik untuk menumbuhkan minat pada kegiatan aktif, sehinggaanak tidak cenderung ke gadget. Interaksi dengan gadget membuat anak jadi “mager” / males gerak dan “lazy mind”/ males mikir.

Anak zaman sekarang banyak pegang handphone karena orangtuadan guru malas/tidak mau repot. Hanya mengambil gampangnya agar anaktenang, dengan memberikan hp /ipad.Juga karena khawatir dianggap kuno dan takut anak gaptek.Kita harus mengetahui bahwa anak memang belum bisa sepenuhnya memiliki self control, karenaPFC belum kuat sempurna. Apalagi, kalau kita lebih banyak dengan doktrin yang tidak melatih anak berpikir.“Pokoknya tidak boleh, nanti dosa, dsb.Kita hanya pernah mengatakan bahwamelihat gambar yang jelek-jelek tidak boleh.Lalu kita merasa sudah mengedukasi.Di usia awal, kita perlu mengecek seberapa besar kontrol internal anak. Misalnya, ketika kita ajarkan bahwa kalau pilek tidak boleh minum es.Nah, suatu saat ketika tidak ada kita, anak ditawari es, padahal sedang pilek.Kita dapat melihat apakah dia mau atau menolak.Kalau dia mau dengan sembunyi-sembunyi, berarti kontrol internalnya belum terbentuk.

Lalu, bagaimana caranya mengedukasi?

Saat mengedukasi, kita bisa menggunakan beberapametode :

  1. Contoh konkrit
  2. Dialog/ kalimat tanya
  3. Pembiasaan/rutin/konsisten
  4. Reward

5.Konsekuensi.

Kalau anak sudah memiliki “perpustakaan porno” di dalam kepalanya, bagaimana caranya mengedukasi?Misalkan sudah benar-benar parah memory itu berada di dalam otak. Walaupun diberikan ilmu agama sebanyak apapun, memory itu tetap ada kan?

Iya betul.Menghilangkan pornmemory nya itu yang memang sulit.Beberapa teknik terapi bisa kita lakukan untuk membantu.Jadi, kalau sudah cukup lama mengakses dan cukup parah tingkat kecanduannya, maka sesi terapinya menjadi lebih lama/panjang.Yang kami tangani saat ini bahkan ada yg sudah setahun.Baru 2 bulan ini tidak flash lagi.Namun ini juga belum selesai. Karena mungkin masih ada fase relapse. Jadi, lebih baik mencegah ya daripada mengobati.

Seperti yang disampaikan ibu sebelumnya, saat ini pornografi dengan mudahnya diakses bahkan oleh anak-anak sekalipun.Di iklan TV sehari-hari pun ada adegan yang menurut saya tidak pantas jika ditonton anak-anak. Jika orang tua memilih untuk membatasi atau bahkan tidak mengenalkan anaknya pada media digital seperti TV, gadget, dll, apakah langkah tersebut tepat di era digital saat ini ?Dan bagaimana jika lingkungan tempat tinggal anak justru sebaliknya? Di mana anak-anak lain dengan mudahnya gonta-ganti channel TV, mengakses internet, dll. Apa tidak akan menimbulkan kecemburuan dan protes pd anak ?

Untuk anak-anak, memang orang tua harus membatasi interaksi dengan gadget dan layar.Tentu saja bukan sekedar melarang atau membatasi. Jadi ortu harus bisa komunikasi dengan baik, benar, dan menyenangkan .Dan juga harus bisa menerapkan disiplin dengan kasih sayang.Harus ada bounding antara orang tua dan anaknya.Sampaikan pada anak alasan kita melarangnya.Kita juga harus menciptakan lingkungan yang mendukung pengasuhan kita.Untuk itu, kita harus menggalang kerjasama baik di keluarga maupun di masyarakat.Ambil hpnya atau tidak memberi handphone.Karena yang penting adalah edukasinya.Di sini, memang dituntut kedekatan anak dengan orang tuanya agar tercipta kepercayaan anak kepada orang tua. Bila anak tahu alasan kita membatasi gadgetnya, maka anak akan mudah menerimanya.

Lalu, bagaimana caranya mengedukasi anak secara efektif  untuk yang berumur kisaran SD dan sederajatnya? Karena tidak mungkin kita memberikan pengetahuan yang berat tentang apa bahaya pornografi dll..

Mengedukasi anak itu suatu keharusan. Memang perlu disederhanakan bahasanya sesuai dengan usia anak. Untuk anak SD,  kita bisa mulai dengan penjelasan bahwa kita semua diberi otak di dalam kepala kita. Beritahukan kepada anak gambar otaknya.Jelaskan bahwa otak ini yang membuat kita pintar, lebih pintar dan cerdas daripada binatang.Namun, otak kita bisa rusak.Kita contohkan misalkan dengan membuat lubang-lubang pada gambar otak tersebut.Lalu kita beritahukan, bahwa salah satu yang merusak otak adalahketika kita mrlihat yg tdk baik. Lalu diskusikan apa saja yang baik dan yang boleh kita lihat, dan apa yang tidak baik, yang tidak boleh kita lihat.

Bagaimana jika orang tua sibuk sehingga tidak bisa memperhatikan tanda tanda kecanduan pornografi? Bagaimana cara orang tua untuk bisa tahu?Lalu, bagaimana penanganan yg dapat dlakukan orang tua untuk anak yang kecanduan, apakah harus dengan bantuan psikolog?

Sesibuk apapun, orang tua seharusnya tetap perhatian pada anak.Harus tahu aktivitas anak dan bahasa tubuhnya. Beberapa indikator anak yg kecanduan porno :

– senang menyendiri dengan gadgetnya.

– tertutup. Hpnya juga tidak boleh dilihat kecuali oleh yang memang sama minatnya.

– main hanya dengan teman tertentu yang sama2 suka gadget

– “mager” atau tidak suka aktivitas outdoor, yg aktif atau yang terdapat interaksi sosial.

– tidak suka diajak bicara

– kalau di kamar mandi lama

– senang melihat detail tubuh orang.

– mata terlihat kosong.

Memang bila tidak teliti, secara fisik tidak terlihat tanda-tanda kecanduan porno.Ini juga yang membuat agak sulit mendeteksinya.Tidak seperti kasus kecanduan napza yang terlihat jelas perubahan fisik yang mencolok.  Padakasus kecanduan porno biasanya terdeteksi pada stadium yang tinggi yaitu bila sudah muncul “acting out” atau menampilkan  perilaku seksualnya seperti masturbasi, memperkosa, mensodomi dll.

Penjelasan lebih lanjut tentang pornografi dan dampaknya serta perlindungannnya  bisa dibaca di dalam buku “The drug of The New Millennium karya Dr. Mark Kastlemen, seorang psikiater di Amerika . Bukunya sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Yayasan Kita dan Buah Hati.

Maka, mengingat bahaya dari pornografi ini, sebagai orangtua kita seharusnya menjadi lebih waspada.Bagaimanapun, lebih baik mencegah daripada mengobati.

 

(26 Maret 2016, Diskusi FC#4)

Pemantik         : dra. Perwitasari (Psikolog, konselor, trainer di YKBH dan RSIA KMC)

 

Moderator      : Zuhay Ratuz Zaffan FIM 15                   

Notulis            : Melinda Nurimannisa FIM 13

MENGAJARKAN KEDISIPLINAN PADA ANAK

webmd com

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh dengan kedisiplinan. Karena dengan disiplin, anak akan memiliki sikap bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya dan mampu menjalankan aktivitasnya dengan sebaik-baiknya. Namun, yang kita tahu saat ini mengajarkan kedisiplinan pada anak tidaklah perkara mudah. Orang tua harus memiliki teknik pembiasaan agar sikap disiplin bisa melekat pada diri anak dan mendukung mereka untuk menjadi pribadi yang hebat.

Lalu bagaimana teknik yang harus dimiliki orang tua dalam membentuk kedisiplinan dalam pribadi anak agar menjadi pribadi yang berkarakter?

DISIPLIN – selalu berkaitan dengan POLA.
POLA – dirunutkan menjadi PEMBIASAAN
PEMBIASAAN – berarti yang harus di bahas adalah HAL YANG DILAKUKAN SECARA BERULANG

Disiplin merupakan perilaku positif yang perlu ditumbuhkan dan ditanamkan semenjak dini. Contohnya, dimulai dari pengulangan kebiasaan kecil seperti setiap selesai makan, maka anak menaruh piringnya di tempat cuci piring, pola ini akan terbentuk rapi di dalam otak kemudian membentuk sirkuit kebiasaan, menurut ahli diperlukan sedikitnya 3 bulan efektif. Hal ini jika konsisten dilakukan jadilah sebuah kepribadian.

Makna disiplin sama dengan makna ADIL, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Disiplin memerlukan standar aturan yang disepakati. Sepakatilah hal-hal seperti berikut ini :

1. Tempat menyimpan sesuatu,
2. Tentang waktu dan kegiatan
3. Tentang perilaku yang diterima dan tidak diterima
4. Tentang nilai-nilai kebaikan dan keburukan
5. Tentang apa-apa yang keluar dan tidak keluar melalui lisan.

Hal ini akan menjadi efektif jika :
Setiap poin kesepakatan itu jelas bentuk perilakunya berikut dengan penjelasannya.
Jika bentuknya adalah perintah beri penjelasan, begitupula dengan larangan.

Disampaikan melalui komunikasi yang empatik :
Hampiri anak Anda dan tetaplah menjaga kontak mata. Berbicaralah kepadanya dengan perlahan dan tenang, ulangi apa yang anak Anda katakan untuk menunjukkan bahwa Anda memahami perasaan anak.

Disiplin memerlukan penguatan
Ketika aturan kesepakatan sudah dibuat, maka untuk mempertahankan seseorang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu perlu penguatan/reinforcement. Penguatan ini berkaitan dengan Reward/penghargaan dan Punishment/hukuman.

Prinsip hukuman adalah memberikan apa yang tidak disukai, dan mengambil apa yang disukai dalam waktu tertentu.
Hukuman yang paling baik adalah bukan hukuman fisik. Karena dengan hukuman fisik yang akan mengikuti hukuman tersebut adalah menimbulkan rasa sakit, memang menjadi jera, namun hanya sementara. Rasa sakit yang mengikuti akan menjadi unfinished Business 1 hari, sehingga efektifitas hukuman tidak terjadi bahkan dapat menjadi boomerang. Ingat, jangan menghukum anak dalam kondisi kita emosi.
Penghargaan adalah kebalikan dari hukuman. Penghargaan adalah bagian dari apresiasi yang kita berikan, senyuman, jempol, pelukan adalah bagian dari reward selain benda dan aktivitas.

Catatan :
Masing-masing dari anak memiliki tingkatan yang berbeda dalam menghadapinya, sesuai tingkatan umur anak. Contoh ketika memberi time out ketika si anak memerlukan sikap hukuman, maka tempatkan anak pada ruangan khusus, beri anak batas waktu misalkan untuk anak 2 tahun cukup dengan 10 hitungan, anak 5 tahun 10 hitungan, begitu sejenisnya.

Bantulah anak untuk konsisten
Konsisten perlu usaha, untuk bersabar dalam melaksanakan kewajiban dan belajar untuk menahan tidak melakukan yang bukan kewajiban.
Sering menjadi dilema pula ketika tinggal satu atap bersama kakek dan nenek. Sepakati sejak awal bagaimana model dalam mendidik, sehingga konsisten juga akan didapatkan tidak hanya dari ayah dan ibu, tetapi juga keluarga besar yang berada dalam satu pengawasan terhadap si anak. Membantu anak untuk konsisten yaitu dengan cara:

1. Dengan mengingatkan berulang melalui lisan dengan kesabaran.

2. Berilah sign-sign pengingat di setiap spot yang perlu contoh : ada tanda panah beserta tulisan didekat tempat sepatu “Sepatu taruh disini!”, dsb.

3. Review rutin tentang pelaksanan disiplin, terutama oleh ayah si pemimpin. Contoh adalah review misalnya seminggu terakhir anak susah bangun subuh, segera kenali masalah dan penyebabnya, kemudian diskusikan bersama solusinya. Catatan :
Jika ayah bekerja di tempat yang jauh, intensitas komunikasi dengan keluarga sangatlah minim. Pun komunikasi kepada si anak. Maka pelaksanaan poin-poin kesepakatan tadi terletak di lingkaran terdekat, tetapi ayah tetap harus menerima laporan perkembangan dan evaluasi. Karena, jika ayah tidak dilibatkan maka momen yang akan hadir ketika ayah nya ada justru akan disalah gunakan oleh si anak.

4. Jangan biarkan pemakluman yang berulang, hal ini musuh dari konsistensi. Sekali pemakluman itu dilakukan otak pun mencatatnya dan jadilah jejak, yang menjadi musuh yang akan menghancurkan pembiasaan baik yang sudah ada.

5. Sebisa mungkin, jauhkanlah gangguan-gangguan dan godaan-godaan yang memungkinkan anak mengalihkan fokusnya.

6. Buatlah agar anak anda terus sibukkan dengan aktivitas produktif dan libatkan dengan aktivitas ayah bundanya

Jadilah Teladan, disiplinkanlah diri Anda
Satu cara yang paling mudah dilakukan untuk belajar adalah meniru. Orang tua adalah yang paling sering mereka temui dan amati setiap harinya, itulah mengapa perilaku anak tidak pernah jauh dari orang tuanya. Cobalah berikan contoh yang baik, buat diri Anda disiplin terlebih dahulu sebelum mendisiplinkan putra-putri Anda.

Doakan Anak
Hal terakhir yang perlu selalu kita lakukan secara rutin dan konsisten, doakanlah anak kita supaya menjadi pribadi yang ikhlas dan bertanggung jawab, konsisten dalam kebaikan, banyak memberikan manfaat bagi ummat, menjadi pemakmur bumi dan pemimpin yang adil bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Tujuan dari sikap disiplin adalah mempunyai tujuan akhir pembentukan kepribadian anak yang berlandaskan akhlaq yang baik. Dalam waktu 3 bulan otak sudah membuat jejak sirkuit terhadap perilaku tersebut, sehingga terbentuk menjadi otomatis. Namun, jejak ini dapat terhapus dengan kebiasaan yang lain apalagi jenis kebiasaan yang bersifat tolak-belakang.

Memiliki anak cerdas akhlaq adalah lebih utama jika dibanding cerdas kognitifnya. Disiplin, adil, bertanggung jawab, adalah kecerdasan yang harus dipelihara. Maka membentuk kepribadian sejak masa kecilnya adalah tanggung jawab kita semua!

(14 November 2015, Diskusi FC#4)
Pemantik : Ani Khairani (Psikolog, Dosen, Owner Biro Konsultasi Psikologi Pendidikan UNIK.EDU+)

Moderator : Ragwan Al-Aydrus FIM 14C
Notulis : Alvin Tio Deghi Areana FIM 17

 

 

HYPNOPARENTING

banner3

Setiap orang memiliki dua macam pikiran, yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Peran dan pengaruh pikiran bawah sadar terhadap diri adalah sebesar 88%. Dalam kondisi normal, informasi masuk ke dalam pikiran sadar. Semua informasi lalu disaring, dianalisis dan ditampung untuk sementara waktu. Ketika kita tidur informasi akan diteruskan ke pikiran bawah sadar. Namun tidak semua informasi bisa masuk ke pikiran bawah sadar karena ada filter dari critical area yang termasuk dalam wilayah pikiran sadar. Pada anak-anak teruatama anak dibawah usia 7 tahun, critical area belum berkembang sehingga unit informasi sekecil apaun akan mudah masuk ke pikiran bawah sadar dan disimpan dalam memori jangka panjang.

Hypnoparenting adalah pola didik para orang tua yang mengutamakan kelembutan dan kasih sayang. Psikoedukasi kepada anak dengan menggunakan kelembutan dan kasih sayang merupakan metode efektif dalam pembentukan karakter dan kecerdasan putra-putri kita. Sehingga anak akan mampu berprestasi, sehat mental dan fisiknya, serta tumbuh berkembang menjadi anak-anak yang ceria penuh dengan kebahagiaan. Kelak kenangan orang tua yang lembut dan penuh kasih sayang akan menjadi bekal anak di kemudian hari. Anak-anak yang didik dengan kasih sayang, jika kelak mereka menjadi orang tua, mereka akan melahirkan putra-putri yang berprestasi, sehat dan bahagia. Jika mereka menjadi pengambil keputusan mereka menjadi pengambil keputusan yang bijaksana dan dewasa. Jika mereka menjadi warga masyarakat, mereka akan menjadi warga masyarakat yang menyenangkan, membantu sesama serta memiliki empati yang tinggi.

Kebanyakan orang tua masa kini mendapat warisan pola didik yang keras dan sarat dengan kekerasan fisik maupun verbal, sehingga merasa pola didik yang pernah mereka rasakan akan menjadi sesuatu yang wajib dilestarikan. Mereka menghardik putra putri mereka, menempeleng bahkan hingga memperlakukan anak-anak mereka dengan kekerasan-kekerasan fisik. Hypnoparenting mengajarkan para orang tua untuk lebih berintrospeksi, sudah efektifkan pola psikoedukasi yang mereka terapkan selama ini.

Anak adalah kaca cermin lingkungannya, dan lingkungan terdekat mereka adalah orang tuanya, lebih dekat lagi ibunya. Untuk itu hypnosis wajib diberikan secara resiprokal yang artinya saat kita mempraktekkan hypnosis pada anak sesungguhnya kita sedang menghipnosisi diri sendiri. Pada saat itu pula gelombang otak kita sedang mengalami hal yang sama dengan anak-anak yang tengah dalam kondisi terhipnosis. Perlu digarisbawahi kondisi emosi yang stabil sangat diperlukan oleh anak-anak.
Ibu yang tempramen dan emosional pasti akan membentuk anak-anak yang bermasalah. Anak-anak yang terbentuk pada saat ia tumbuh besar akan memiliki karakter antisosial (pelanggar etika/ pelanggar hukum/ pelanggar norma-norma). Sebagai seorang ibu harus mampu mengendalikan emosi. Ibu pemarah jauh dari efektif, menciptakan anak-anak yang pemarah dan rebelis. Suara hardikan dan bentakan bisa dianalogkan sebagai gelombang gamma. Memang keras akan tetapi memekakkan telinga, sehingga jangan harap perilaku anak berubah. Yang ada hanya membentuk anak-anak yang susah diatur. Trouble moms produce trouble kids.

Hal-hal yang masuk alam bawah sadar adalah hal-hal yang traumatis. Traumatis yang dimaksud adalah hal-hal yang menggembirakan dan menyedihkan sekali. Apabila kita mengucapkan kata yang kita ucapkan kepada anak, dan kata-kata tersebut negatif, lalu kita menyesalinya. Maka setelah memberikan kata-kata yang disesali segera mungkin peluk dan belai lembut anak sambil berikan sugesti yang diinginkan.

Pada hakekatnya tidak ada anak yang nakal apalagi menjengkelkan, yang ada adalah: anak tidak mampu untuk mengkomunikasikan keresahan, kekecewaan, rasa sakit di tubuhnya ataupun protes sosial terhadap kondisi terentu. Lingkungan, dalam hal ini para orang tua wajib lebih peka terhadap perubahan mood atau emosi anak. Kondisi yang kurang kondusif akan memperlambat proses pembentukan saat melakukan hipnosis. Semua anggota dalam rumah harus kompak. Perilaku kakek maupun nenek, perbedaan cara pandang, pola didik, juga cap ‘menjengkelkan’ apalagi sikap memanjakan membuat ketegangan diri kita sebagi oarang tuanya. Disaat itu pula gelombang otak kita yang tegang terbaca oleh gelombang otak anak sehingga mamperkeruh suasana, membuat suasana semakin panas dan mencekam. Anak akan semakin rewel.

Tips untuk menghadapi situasi yang tidak kondusif di atas adalah: Bawa anak ke ruangan lain, Biarkan anak menangis bila tantrum, jauhi dan pantau dari tempat yang berbeda. Maksimal anak akan meraung selama 30 menit, lama kelamaan akan mengendur dan lelah. Baru setelahnya dekati dan usap punggungnya, jangan mengeluarkan kata apapun. Redupkan mata saat memangdang anak, beri keteduhan. Setelah itu dekap dia sambil bisikkan: “sayang anak pintar, bicara baik-baik ke mama/papa. Tanyakan mengapa ia rewel, setelah itu bawa ke tempat yang sejuk. Saat mau tidur bisikkan kata-kata konstruktif, misalnya: “Anak mama kan pintar, kalau mau sesuatu kan ngomong baik-baik dong supaya mama ngerti. Kalau pake marah-marah, mama bingung”. Jika dilakukan konsisten dalam dua minggu akan ada perubahan yang signifikan. Jika situasi seperti diatas, misal saat anak tantrum dengan membentak apalagi memukul, kita hanya akan membentuk pribadi anak yang keras dan pembangkang. Kita bisa memilih lembut tapi efektif atau jika akan diberikan perlakukan kasar, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang penuh rasa dendam dan marah.

Saat yang tepat untuk memulai hypnoparenting adalah saat mengandung. Saat dihipnosis puluhan hormon baik akan terproduksi dengan semppurna yang menjadi asupan janin sehingga kelak bayi yang dikandung akan menjadi anak yang kuat stamina fisiknya, tenang, tidak rewel dan memiliki intelegensia yang tinggi, disamping saat melahirkan jauh dari rasa nyeri.

Beberapa kasus, orang tua baru akan memulai hypnoparenting ketika anak sudah terbiasa dengan pola didik yang keras. Untuk mulai membiasakan hypnoparenting agar anak tidak kaget atas perubahan perilaku orang tuanya yang hendak menerapkan hypnoparenting padanya, maka aplikasi hypnoparenting harus dimulai perlan-pelan. Dapat dimuali dengan tidak memukul atau mengardik anak untuk mengawali, lalu jangan berteriak saat memanggil. Lebih dekat, ajak mengobrol, buat kedekatan psikologis, agar anak mulai terbuka, buat anak selalu ingin bercerita sampai pada bercerita kepada kedua orang tua merupakan kebiasaan wajib bagi anak, setelah anak terbuka maka hypnoparenting bisa mulai dilakukan. Hypnosis is repetition, termasuk memijat, mengelus, dan bercerita menggunakan suara dan pandangan yang teguh. Tuhan menciptakan positivitas pada kondisi otak yang menyebabkan otak tidak mampu menerjemahkan instruksi dengan konsep negativitas. Otak tidak mampu menjawantahkan kata ‘jangan’, ‘tidak’, dan ‘harus’. Dan hal ini hanya pada konteks memasukkan sugesti. Gunakan formulasi kalimat yang lebih konstruktif. Contoh: “Saat ingin pipis, adek akan terbangun dan ke WC” daripada menggunakan kalimat “Kamu jangan mengompol”. Hasilnya anak akan berhenti mengompol, lain apabila ada kata ‘jangan mengompol ya anakku”. Maka kemungkinan besar akan mengompol keesokan harinya karena otak menolak instruksi kata yang tidak dikenali otak.

Masalah dogmatis pada konsep dosa dan tidaknya disampaikan pada saat anak dalam kondisi otak full alert, merupakan proses pendisiplinan dan bukan pada saat dalam kondisi anak yang trance/ kondisi setengah tidur dan setengah bangun. Diperlukan kondisi otak yang berbeda saat memasukkan sugesti dengan memasukkan konsep ‘boleh’ dan ‘tidak’. Konsep larangan bukan tidak boleh dijadikan bagian dari komunikasi orang tua ke anak, hanya waktu penyampaian yang perlu disesuaikan, yaitu disampaikan kepada anak saat sadar penuh. Konsep larangan dimasukkan saat anak dalam gelombang beta, full consent misalnya saat belajar dan kondisi bangun. Kondisi hipnosisi misalnya saat kita menemani anak-anak tidur, saat mereka dalam kondisi setengah mengantuk, saat berdoa dimana saat itu gelombang otak anak adalah pada kondisi alpha dan tetha. Hipnoparenting adalah teknik berkomunikasi pada anak, agar tergerak hatinya. Paling efektif dilakukan 8-10 menit sebelum tertidur lelap.

Jika anak memiliki suatu sikap atau kebiasaan yang sudah terlanjur terbentuk sementara kita baru menyadarinya, karena anak berada jauh dari kita maka untuk mengubah dan memperbaiki perilaku anak yang menetap butuh usaha yang maksimal, misalnya kebiasaan menggigit kuku, dll. Orang tua harus mengetahui telebih dahulu alasan anak memiliki kebiasaan tersebut, karena mengubah kebiasaan yang salah tanpa mengetahui akar permasalahan yang mendasari hanya memiliki efek sementara yang tidak menetap. Kebiasaan-kebiasaan tersebut muncul karena ada hal yang mengganggu ketentraman jiwa anak, misalnya perasaan kurang percaya diri, perasaan takut yang berlebih, pernah kecewa, dll.

Beberapa orang tua yang memiliki kasus harus menghadapi anak ‘tiri’ misalnya, anak tersebut memiliki kebiasaan yang sudah terbentuk oleh pola asuh sebelumnya oleh orang lain, maka kesabaran dan ketenangan merupakan syarat pertama untuk dapat memanajemen anak tersebut. Anak yang sinis, membangkang, sebetulnya ia membutuhkan pertolongan, karena ia tidak mendapatkan kelembutan dari ibu biologisnya. Sikap anak merupakan kemasan luar, sebetulnya seorang anak memiliki banyak kesedihan. Ajak anak tersebut untuk melakukan berbagai hal yang ia senangi, beri ia ruang dan waktu, dampingi saat tidur, banyak-banyaklah membelai anak, siapkan kebutuhannya. Membisu pada anak merupakan salah satu jalan terbaik bagi anak untuk mengubur kesedihannya.

Pandangan hypnoparenting terkait hukuman fisik: Hukuman fisik hanya efektif saat pertama kali dilakukan, selebihnya hanya fisiknya saja yang dihukum perilakunya belum tentu berubah. Apalagi jika hukuman fisik sudah menjadi deraan rutin, maka tubuh akan menjadi terbiasa dan hatinya akan menjadi lebih keras, yang ada hanya kebencian, pengalaman traumatis dipukul dan dendam, yang masuk ke dalam alam bawah sadar anak. Jika kita bisa menggunakan cara-cara yang beradab dan tepat sasaran serta lebih efektif,a maka jangan menggunakan cara yang konservatif dan belum tentu tepat sasaran. Pada kasus anak nakal misalnya, maka apabila secara repetitif dan terus menerus kita mengatakan ‘anak baik’ dan ‘anak pintar’, lambat laun anak akan berubah.

Fenomena anak yang sangat kasar biasanya dipicu oleh apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar dari lingkungannya. Untuk memutus perilaku ini maka dibutuhkan kesungguhan dengan tidak bermain fisik di depan anak, hindarkan anak dari smeua permainan menendang, memukul dan tayangan TV dan games yang berutal. Saat hendak tidur berikan sugesti positif sambil berikan belaian lembut pada anak. Hypnosis merupakan ketegasan yang disampaikan dengan kelembutan. Memukul, menggebrak, mencambuk bukan merupakan pendisiplinan, itu merupakan old school
Kita harus mengkampanyekan kasih sayang sebagai landasan agama dan konsep pendidikan. Uji klinis yang dilakukan terhadap 50 anak batasan usia 6-10 tahun, 25 anak merupakan korban kekerasan dan 25 anak didik menggunakan hipnosis sebagai landasan metodologi. Setelah satu tahun pengamatan, hasil obsevasi menunjukkan 25 anak pertama prestasinya jauh dibawah rata-rata anak yang mengikuti hipnosis secara rutin. Selain itu, muncul gejala-gejala klinis lain, misalnya mengompol saat usia 9 tahun, menggigit kuku, cepat sakit, neurodermatitis, gejala maagh, sulit berkonsentrasi dan prestasi rendah. Sebaliknya anak-anak yang mebgikuti psikoedukasi menggunakan hipnosis, arta-rata sehat secara fisik, lebih fokus, tidak jalan-jalan di kelas, mengerjakan tugas sekolah, niali rata-rata diatas 8,6 dan unggulan.

Pada kasus anak hiperaktif harus diobservasi penyebabnya. Bisa jadi hanya karena mencari perhatian orang tua, misalnya karena ia sudah memiliki adik sehingga merasa tidak diacuhkan lalu mencari akal untuk mencari perhatian orang tua dan sekitarnya. Atau hiperaktif organis disebabkan oleh gejala ADHD (Attention Deficit Hieractivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Amati juga apakah ada faktor resiko ketika kehamilan, misalnya saat hamil ibu merasa depresi dapat memicu hiperaktif yang pemicunya adalah bawaan faktor organik otak pada anak. Kalau untuk menghipnosis anak yang hiperakif tanpa penyebab organik, hanya karena mencari perhatian semata maka caranya dengan menghabiskan lebih banyak waktu bermain dengannya untuk mengurangi kecenderungan hiperaktifnya. Berikan pula makanan yang gluten-free, hindari tepung terigu, gula, makanan santan dan kadar kolesterol yang tinggi serta berikan lebih buah dan sayur. Berikan ia kesempatan bermain minimal 2 jam kegiatan fisik diluar rumah misalnya berenang, futsal, dll. Setelah itu mulai menghipnosis, putarkan lagu-lagu tetha berdesibel rendah dan monoton, lagu-lagu yang menenangkan. Lama kelamaan ia akan mengantuk dan tertidur.

Ada baiknya orang tua merasakan hypnosis sebelum melakukan hypnosis kepada anak-anak. Agar orang tua merasakan suasana trance saat mendapat hipnosis. Anak adalah cermin orang tua, sehngga upayakan saat menghipnosis kita dalam keadaan bebas dari tenakan. Pada orang tua yang memiliki memori negatif tentang pola asuh yang ia dapatkan semasa kecil, orang tua wajib tersebut merasakan terapi hypnosis sebelum melakukan hypnosis ke anak karena harus melapaskan diri dari segala trauma yang ia bawa dari masa lalu. Ada proses yang disebut regresi, dimana orang tua akan dibawa ke masa lalu sekaligus membuang jauh segala negativitas yang menghantuinya dari masa lalu. Misal pola didik yg ia dapatkn dulunya adlh depressed. Selfhealing.

Pendidikan dalam rumah sangat mempengaruhi tahap awal pembentukan karakter anak. Sehingga dibutuhkan cara bijak untuk bisa membangun karakter anak dengan efektif. Semua perkataan dan tindakan orang tua adalah suatu proses hypnosis yang akan terpola di dalam pikiran bawah sadar anak. Tanpa disadari orang tua sudah melakukan proses hypnosis kepada anak sejak anak masih berada dalam kandungan. Melalui hypnoparenting akan tercipta pola asuh yang sistematis berdasarkan cara kerja pikiran.
Selamat mempraktikkan hypnoparenting. Mendidik anak-anak kita dengan cara yang lebih baik, untuk menciptakan generasi terbaik!

(1 November 2015, Diskusi FC#4)
Pemantik : Dewi Puspitaningtyas Faeni, MHt. MM. (Pendiri Yayasan Club Hypnosis Sehati (CHS), Penulis Buku Hypnoparenting dan Hypnobeauty).

Moderator : Ragwan Al-Aydrus FIM 14C
Notulis : Ruli Aulia FIM 17

 

KDRT

(ANTARA News/Lukisatrio)

(ANTARA News/Lukisatrio)

Pernikahan merupakan peristiwa peradaban yg menyatukan dua insan yang berbeda latar belakang dengan berlandaskan cinta dan kesamaan tujuan. Karenanya, sudah sewajarnya jika rumah tangga dihiasi dengan kasih sayang dan perlakuan yang baik antar keduanya. baik perkataan atau perbuatan. Namun faktanya, kerapkali kita jumpai rumah tangga yg masih melakukan kekerasan. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)?

KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawam hukum dalam lingkup rumah tangga”. Definisi menurut UU penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga no 23 tahun 2004, KDRT secara umum yaitu:

Bisa terjadi pada suami, istri, anak, kerabat yang tinggal dalam satu rumah, termasuk juga asisten rumah tangga.
Perempuan lebih sering menjadi korban
Menimbulkan dampak fisik, psikologis, ekonomi

BENTUK KDRT:

1. Fisik, yaitu segala bentuk perbuatan yang membuat jatuh sakit, terluka, seperti: menampar, menendang, memukul, melempar, mencubit, menyiram dengan air keras dsb.
2. Psikologis, yaitu segala bentuk perbuatan yang memunculkan perasaan tidak berdaya, takut, hilangnya percaya diri misalnya: mengancam, menyebut dengan perkataan buruk seperti bodoh, lonte/pelacur, dilarang berhubungan dengan keluarga/teman dsb.,
3. Seksual, yaitu segala bentuk perbuatan yang meliputi pemaksaan hubungan seksual, posisi hubungan seksual tertentu, dipaksa untuk terus melahirkan, melacurkan istri
4. Penelantaran rumah tangga, tidak memberikan nafkah atau menutup akses terhadap keuangan, membatasi atau melarang bekerja sehingga menyebabkan ketergantungn ekonomi, dipaksa mencari nafkah.

KDRT jarang terjadi dalam satu bentuk, bisa saja seseorang mengalami dua atau semua bentuk di atas. Namun, seringkali korban baru melapor ketika mengalami luka-luka fisik. Selain itu, jika ‘hanya’ mengalami kekerasan psikis atau bentuk KDRT yang tidak ada bekas luka fisiknya, biasanya korban enggan melapor, kenapa? Karena takut tidak dipercaya, takut tidak kuat buktinya. Hal ini sebenernya masih bisa dibuktikan salah satunya dengan pemeriksaan oleh saksi ahli missal dari psikolog atau psikiater.

Pastinya tidak ada yang mau mengalami KDRT, lalu apa yang jadi penyebabnya? Untuk memahami hal tersebut, terdapat beberapa mitos dan fakta yang seringkali dihubungkan mengenai KDRT.

MITOS vs FAKTA

1. Mitos: KDRT terjadi disebabkan karena pelaku punya masalah psikologis.
Fakta: pada pelaku memang ditemukan masalah pada kesulitan mengontrol emosi, kemampuan memecahkan masalah yang tidak efektif, dsb. Tetapi KDRT juga disebabkan karena adanya pemahaman di masyarakat bahwa laki-laki lebih berkuasa diatas perempuan. Perempuan harus menerima apapun yang dilakukan suami, perempuan adalah mahluk yang lemah. Nilai-nilai ini mempengaruhi hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak setara dan mendorong perilaku kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah.

2. Mitos: KDRT tidak akan terjadi kalau istri tidak memancing suami melakukan kekerasan seperti tidak nurut, tidak cepat melayani suami, tidak bijak mengelola keuangan, tidak pandai berdandan di depan dsb.
Fakta: Norma sosial yang menempatkan perempuan di bawah membuat mereka mudah dipersalahkan baik oleh pelaku maupun oleh masyarakat, dianggap sebagai penyebab timbulnya KDRT (keluarga: “ya kamunya juga sih ngga suka dandan, pantas suami kamu selingkuh”; teman: “kan kamu tahu suami kamu suka kopi, ya dia pulang langsung bikinin, kalau enggak ya pantas dia mukulin kamu”/”suami pulang ya disambut, dikasih senyum yang mesra, jangan bikin kopi dulu, pantas dia mukul kamu”; tetangga:”wajar sih suaminya x mukulin dia, suaminya kan kerjanya serabutan, harusnya pinter2 dia ngurus keuangan. Suami kan udah capek cari uang”.). —> perempuan bertanggung jawab pada KDRT yang menimpa dirinya. Faktanya PERILAKU MELAKUKAN KEKERASAN ADALAH PILIHAN. pelaku juga punya pilihan yang sama untuk tidak melakukan kekerasan. Sehingga pelaku KDRT-lah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas kekerasan yang dia lakukan.

3. Mitos: Ketika melihat seorang istri tetap mempertahankan rumah tangganya padahal suka berkali-kali mengalami kekerasan, maka penjelasannya: Perempuan tersebut lemah, bodoh/mau saja, lebih sayang dirisendiri/suami dibanding sama anak2,
Fakta: perempuan yang berada dalam KDRT berada pada apa yang disebut siklus kekerasan. Pertama: pelaku melakukan kekerasan, kedua: suami meminta maaf dan berjanji akan berubah/tidak akan melakukannya kembali, ketiga: periode bulan madu, suasana baik2 saja, keempat: konflik mulai terjadi, kembali ke pertama: pelaku melakukan kekerasan dst. Semakin lama kekerasan semakin sering terjadi dan siklus berputar lebih cepat. Jika tadinya satu bulan sekali kekerasan terjadi, kemudian lama2 bisa menjadi setiap hari. Intensitasnya juga, jika sebelumnya hinaan hanya diucapkan di dalam kamar menjadi dilakukan ditempat umum.

Bagaimana kondisi psikologis perempuan yang berada dalam hubungan penuh kekerasan itu? Ia berada antara perasaan tidak berdaya namun juga penuh harap bahwa suami akan berubah. Lama kelamaan bisa jadi perasaan tidak berdaya yang menjadi kuat. Merasa tidak mampu lagi menghentikan kekerasan, terlalu takut keluar dari hubungan yang penuh kekerasan, sangat cemas memikirkan masa depan (diri dan anak) hingga tidak terpikir alternatif apapun. Dalam kondisi itu ia hanya bisa menerima kekerasan dan sangat mungkin tidak mencari bantuan. Kondisi psikologis yang juga kuat dialami oleh mereka yaitu perasaan bersalah dan memiliki impian bisa mengubah suaminya, mereka merasa, dialah yang bertanggungjawab atas perilaku suaminya, karena itu dia juga bertanggungjawab untuk mengubah suaminya.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan?
KENALI SEJAK DINI
seringkali bibit KDRT sudah terlihat sejak masa pacaran. Kenali tandanya: Dia sangat pencemburu, ingin mengetahui detail kegiatan kita, melarang kita berhubungan dengan teman bahkan dengan keluarga, cenderung merendahkan perempuan,emosi naik turun/mudah marah/kasar, melakukan kekerasan pada pasangan sebelumnya, cenderung menyalahkan orang lain atas perbuatannya, tampil dalam dua orang yang berbeda (kasar di satu sisi tapi kemudian sangat romantis, menangis, memohon maaf), sering mengatakan bahwa dia melakukan ini semua demi kebaikan kita dsb.

Jika KITA yang MENGALAMI KDRT?
Pelajari cara-cara mengamankan diri saat kekerasan terjadi (catat nomor polisi/rumah perlindungan, tempat aman untuk bersembunyi, mengamankan anak-anak, menyimpan bukti dsb.)
Mintalah bantuan pada lembaga perlindungan perempuan misalnya P2PT2A yang ada di setiap kabupaten/kota.
Temui profesional seperti psikolog, psikiater atau dokter jika terdapat dampak psikologis atau fisik

Jika KITA MENGETAHUI:
1. Laporkan pada penegak hukum
2. Ajak korban menemui lembaga perlindungan perempuan, layanan kesehatan, layanan psikologis
3. Membantunya menyimpan alat bukti
4. Mencari perlindungan untuk korban dan anak misalnya ke rumah aman atau tempat tinggal yang aman

Tidak hanya korban yang membutuhkan bantuan psikologis. PELAKU JUGA MEMBUTUHAN BANTUAN PSIKOLOGIS. Pelaku bisa didorong atas kesadarannya sendiri atau diperintahkan oleh pengadilan untuk memperoleh konseling perubahan perilaku.

MEMUTUS RANTAI KEKERASAN SEJAK DARI RUMAH

Ajarkan anak cara bersikap asertif dalam menyelesaikan masalah.
Tidak mengunakan kekerasan (fisik, verbal/psikologis) dalam disiplin atau saat menyelesaikan masalah
Menghargai setiap orang, setiap anggota keluarga didengar pendapatnya

Ingat ! Anak laki-laki yang menyaksikan KDRT lebih besar risikonya menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangganya, anak perempuan yang menyaksikan KDRT lebih besar risikonya untuk menjadi korban. Mereka menganggap kekerasan adalah cara-cara yang memang wajar dalam rumah tangga. KDRT pada anak terjadi karena warisan pola asuh yang salah dari orang tua di mana orang tua semasa kecil menggunakan pola asuh yang salah kemudian hal tersebut diulang ke anaknya.

Sejak 2004 sudah ada yang namanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (disingkat UUPKDRT) nomor 23 tahun 2004. Sejak dibuatkan undang-undang, setiap kabupaten kota wajib memiliki lembaga untuk menanganinya, maka dibentuklah P2TP2A sebagai perwujudannya. Bagaimana P2TP2A menjalankan perannya?

1. Mensosialisasikan.
Memberikan penjelasan tentang KDRT seperti apa, bentuk-bentuknya, serta apa yang harus dilakukan. Untuk ini peran pemerintah dan instansi terkait sangat menentukan. Sehingga masyarakat tahu dan paham secara benar tentang KDRT ini terutama antara mitos dan faktanya.

2. Mensosialisasikan keberadaan lembaga P2TP2A kepada masyarakat luas. Harapannya koraban tidak hanya melapor ketika timbul kekerasan fisik saja tapi kekerasan psikis bisa di buktikan dengan pemeriksaan psikologi.

3. Pendampingan pada korban, baik pendampingan secara psikis dan atau pendampingan hukum jika kasus sudah sampai ranah hukum seperti pengadilan.

Lalu apakah ada KDRT terhadap suami, misal suami-suami takut istri? Adakah lembaga yang melindungi laki-laki sebagai korban KDRT?
KDRT bisa terjadi pada siapa pun bisa ortu terhadap anak, majikan kepada pembantu, mertua ke menantu, dan paling sering pasangan terhadap pasangannya (suami kepada istri, dan istri kepada suami). Walau kemudian yang banyak muncul di publik adalah KDRT suami terhadap istri. Kasus suami-suami takut istri jika memang telah terjadi kondisi seperti yang dijelaskan dalam definisi KDRT maka itupun juga KDRT, yaitu KDRT yang dilakukan oleh istri terhadp suami.
Tetapi semua kembali kepenghayatan suami lagi yaitu terganggu tidak dengan sikap istrinya tersebut. Jika tidak maka tidak termasuk KDRT.

Perlu diingat kasus KDRT pada laki2 sangat jarang jumlahnya. Dalam pemeriksaan, biasanya psikolog juga lebih berhati-hati mendalami informasi. Misal suami-suami takut istri, apakah betul-betul suami takut pada istri dalam relasi yang tidak setara? Istilah suami-suami takut istri sebetulnya juga muncul dari nilai yang sama di masyarakat yang menyebabkan munculnya kekerasan. Kurang lebih masyarakat akan menilai: Suami takut istri itu cemen, maka sebagai laki-laki dia pun cemen. Inilah yang seringkali menimbulkan kekerasan. Sebab masyarakat menuntut laki-laki harus perkasa gagah, di atas perempuan.

Secara psikologis, laki-laki yang disebut takut istri bisa mengembangkan penghayatan yang bertolak belakang. Pertama, mungkin dominasi istri membuat dia menjadi tidak berdaya maka dapat menjadi korban KDRT. Kedua, kuatnya didominasi istri, membuat dia merasa terhina sebagai laki-laki di mata masyarakat yang kemudian malah memunculkan kekerasan. Dalam kasus yang seperti inilah penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dan psikolog/psikiater perlu mempelajari kasusnya dengan lebih teliti. Apakah KDRT atau ketersalingan (saling melakukan kekerasan). Laki-laki yang menjadi korban bisa melaporkan sendiri ke polisi atau meminta pendampingan ke LBH misal LBH Jakarta atau Yayasan Pulih. Yayasan Pulih sendiri pernah membuatkan beberapa surat pemeriksaan untuk laki-laki yang mengalami KDRT. Sedangkan, P2TP2A sementara ini hanya bekerja khusus untuk perempuan dan anak.

KDRT ada disekitar kita, yang kita lihat melalui berita di TV, koran mengenai kejadian KDRT hanya sedikit sekali dari jumlah KDRT yang ada di masyarakat. Kenali KDRT, dekati korban, dan jika merasa bingung harus bagaimana, berdiskusi dengan lembaga pendamping perempuan seperti P2TP2A, LBH perempuan yang akan memperkuat kita dalam membantu korban. Tinggal bagaimana kita mencoba menyelesaikan dengan caranya bijak dan tentunya diharapkan peran serta dari seluruh manusia.

( 12 September 2015, Diskusi FC#4)

Pemantik :
1. Cinintya Dewi ( Psikolog Anak, Asosiet untuk Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI dan Yayasan Pulih)
2. Gusmilizar, S. Psi ( Psikolog, Ketua P2TP2A Kota Depok )

Moderator : Syahidah M FIM 16
Notulis : Zuhay R Zaffan FIM 15