ADAPTASI PASCANIKAH

????????????????????????????????????

????????????????????????????????????

Pernikahan, adalah momen sakral yang diidamkan banyak orang. Mencari satu di antara jutaan manusia untuk menjadi teman sepanjang hidup adalah hal yang tidak mudah. Mencari yang “klik” kalau kata orang-orang, adalah sebuah perjalanan tersendiri.
Namun, setelah “perjuangan pencarian” yang panjang, ternyata membina bahtera rumah tangga memberikan tantangan lebih. Seorang bijak mengatakan “pernikahan adalah sebuah institusi pendidikan yang mematangkan jiwa”.
Adaptasi pascanikah tak dapat digeneralisasi begitu saja, karena tiap orang punya kondisi yang beragam. Tapi dapat digaris bawahi, bahwa adaptasi tersebut akan lebih mudah jika sudah jadi paket persiapan sebelum pasangan melangsungkan pernikahan. Ada baiknya hal tersebut juga dipersiapkan saat pasangan membicarakan mengenai rencana-rencana di kemudian hari, tak hanya seputar Weding Organizer, hari H, dan sejenisnya saja. Melainkan juga tentang penyesuaian setelahnya seperti penyesuaian kebiasaan dan karakter, tempat tinggal, pekerjaan, keluarga besar, dan lain-lain.
Mungkin hal tersebut agak canggung untuk dibicarakan. Tapi idealnya sebelum akad, calon pasangan suami istri minimal sudah memiliki perencanaan yang jelas di tiga bulan pertama kehidupan pascanikahnya. Hal ini dimaksudkan agar setelah nikah dapat langsung eksekusi rencana-rencana yang telah dibuat. Tentu saja sembari menyempurnakan rencana-rencana yang lain.
Dari sudut psikologi keluarga, dinamika pernikahan dibagi 2 (Carter& McGoldrick 1989) yaitu fase pembentukan keluarga dan fase pemeliharaan keluarga. Contoh persiapan pascanikah yang sudah diberikan di awal tulisan adalah bentuk fase pembentukan keluarga yang dapat dianalogikan saat membangun sebuah konstruksi kapal dan persiapan siapa dan dengan siapa nanti kapal tersebut akan dilayarkan. Pada tahap ini dikenal proses pengenalan yang dapat dikaitkan dengan pemahaman pribadi dan visi-misi calon pasangan satu sama lain, serta keluarga besar dan segala aktivitasnya. Contohnya mengenai pekerjaannya, teman dan pergaulannya, hobinya, dan lain-lain.
Pada tahap kedua, yaitu pemeliharaan keluarga atau perkawinan.Tahap ini ibaratnya sudah terjun langsung menghadapi dunia nyata. Ibarat layar kapal sudah terkembang, pantang putar haluan. Fokus sudah pada pasangan suami-istri sebagai sebuah tim, membimbing anak, dan yang sering dilupakan adalah personal growth as a person atau perkembangan diri pasangan sebagai seorang individu utuh.
Bersatunya dua insan dalam pernikahan maka menyatukan dua karakter yang berbeda. Bukan masalah bagaimana karakter pasangan kita, hal terpenting adalah bagaimana kita menghadapinya. Hal itu yang perlu dilakukan dalam penyesuaian karakter masing-masing dalam adaptasi pascanikah. Hal terbaik yang dapat dilakukan adalah mengendalikan diri kita sendiri dengan mengubah sikap kita kepada orang lain, yang semoga dengan perubahan sikap kita tersebut, orang lain (dalam hal ini pasangan) juga bisa berubah.
Waktu yang diperlukan dalam proses penyesuaian karakter tersebut tergantung bagaimana diri kita. Sikap saling memahami, dan rasa nyaman merupakan hal yang bisa dijadikan katalisator dalam proses penyesuaian pasangan.Semua butuh saling penyesuaian. Tidak ada patokan usia perkawinan dalam proses penyesuaian karakter. Hal ini karena semua dapat berubah baik kondisi fisik, usia, juga peran. Hal yang terpenting problem yang muncul tuntas atau tidak, ada mutual self disclosure sebagai dasar kepercayaan. Begitu pula bertengkar bukan indikator suatu perkawinan bagus atau tidak. Bertengkar harus konstruktif agar mengarah pada solusi.
Sikap yang cukup penting saat proses adaptasi yaitu percaya. Percaya jika kita dan pasangan akan saling bertanggungjawab. Sikap yang sangat perlu dihindari yaitu sikap menuntut begini begitu kepada pasangan. Berilah kesempatan pasangan untuk memahami kita dengan membuka diri dan menaruh kepercayaan padanya.
Kepercayaan pada pasangan ini dapat dijadikan kunci untuk menjalani LDR. LDR itu memang lebih jarang bertemu fisik dan beraktivitas bersama, tapi bukan berarti komunikasi tidak sebagus dari yang lebih dekat.Mengutip salah satu quote; “harusnya jarak tak terlalu bermasalah untuk dua hati yang sudah terikat”.Pasangan harus Memiliki waktu-waktu komunikasi yang intensif dan berkualitas (optimalkan komunikasi dengan gadget), dan memiliki couple time.
Modal utama “Basic Trust” dengan pasangan harus kuat, batasan harus jelas (do and don’t). Hargai kesibukan masing-masing tanpa menonjolkan kesibukan diri. Manfaatkan hal itu untuk evaluasi diri dan buat rencana-rencana rumah tangga. Paling penting yakini bahwa pasangan kita itu titipan Tuhan. Oleh karena itu, harus bertanggunggjawab sebagai seseorang yang dititipi dan jangan sampai bersikap posesif karena sudah harus sadar bahwa ia bukan milik pribadi.
Salah satu fungsi keluarga adalah membuat individu didalamnya menjadi insan yang lebih baik. lebih baik dalam mendengarkan orang lain, lebih baik dalam watak dan perilaku, lebih baik dalam memposisikan diri sebagai makhluk Tuhan, dan lebih baik dalam membimbing anak-anak. Hal itulah yang dinamakan pertumbuhan diri (Personal growth).
Akan tetapi personal growth tersebut sering kali dilupakan karena terlalu berkutat pada rutinitas hidup, kejar duniawi, dan pakai standar orang lain dalam kehidupan pribadi kita. Padahal intinya berkeluarga itu adalah harmoni, bahagia, menjadi lebih baik, dan dalam keluarga ada sisi ibadah dan membahagiakan sesama. Ada baiknya pada program keluarga dicantumkan personal growth masing-masing. Agar dapat saling kontrol dan mendukung. Antara suami isteri juga anak-anak.
Contoh jelasnya seperti ini. Misal pasangan suami-istri hendak melanjutkan studi. Tak ada masalah dengan menuntut ilmu lebih tinggi. Tapi karena mereka sudah menikah atau dengan kata lain tak sendiri lagi, dan mungkin ada anak-anak, Maka nilai personal growth-nya bukan di studi lanjutnya, tapi bagaimana mereka diskusi dan menghargai kepentingan anak dan pasangan. Misalnya bergantian masa tempuh studi, sharing tanggung jawab, atau berniat studi lanjut agar dapat lebih Mensejahterakan keluarga dan jadi tauladan anak-anak.
Pada proses adaptasi pasacanikah pun perlu membentuk plan. Plan yang jelas itu yang terukur tapi tak kaku. Perencanaan atau planning harus diikuti diskusi karena merupakan planning bersama bukan planning sendiri lagi, diikuti batasan apa yang masih bisa dan tidak, diikuti konsistensi melaksanakan, dan evaluasi, berjalan sesuai plan atau harus berubah sesuai kebutuhan. Planning juga dapat sesuatu yang bukan material, seperti anak-anak paham tugas-tugas rumah tangga kapan dan bagaimana strateginya.
Setiap pasangan memiliki bentuk dan kondisi yang berbeda, namun pada umumnya terjadi di sekitar kkita. Berikut beberapa bentuk adaptasi dengan kondisi yang sering terjadi:
1. Adaptasi Pasangan yang Dijodohkan
Ada apa dengan dijodohkan? Adakah yang salah? Toh, jodoh bisa dipertemukan dengan berbagai cara, termasuk dijodohkan.Sejatinya, mau sebuah pasangan bersatu dengan dijodohkan atau tidak, akan tetap memerlukan proses adaptasi pascanikah. Hanya mungkin yang perlu dipastikan lagi dan lagi adalah, apakah perjodohan itu merupakan keputusan kita juga. Karena sesuatu yang diputuskan bukan oleh hati kita, biasanya berat untuk dijalani. Ketika kita sudah masuk tahap memelihara pernikahan, alias sudah resmi nikah, maka ubah mindset bahwa dijodohkan berarti berat. Tak selamanya orang yang memutuskan menikah karena saling cinta di awal bakal langgeng, dan sebaliknya jika dijodohkan bakal susah.Tenang saja, rasa cinta biasanya akan tumbuh dengan sendirinya, seiring dengan pengorbanan dan penyesuaian yang dilakukan oleh pasangan kita.Percayalah, kita akan mendapatkan sesuai dengan apa yang kita berikan. Termasuk rasa sayang dan cinta.
2. Adaptasi Tinggal dengan Mertua
Sederhananya, orangtua itu sayang sama anaknya, ingin yang terbaik buat anaknya. Tapi kadang caranya yang kurang sesuai dengan kita. Fokus pada big picture-nya yaitu pemahaman bahwa mereka sayang sama kita. Ikuti saja alurnya, jaga komunikasi dan hubungan yang baik dan perlahan lahan kita menjelaskan keinginan dan baiknya seperti apa ke orang tua. Jika mereka sudah melihat kondisi kita dan kita dapat menjelaskannya dengan baik, maka mereka akan mengerti.
Sebaliknya, ketika orang tua sudah renta dan meminta anaknya untuk merwatnya dan tetap tinggal dengannya, walaupun anak dengan pasangannya sudah memiliki segalanya maka tidak ada salahnya untuk kembali menemani orang tua. Hal tersebut bukan problem yang didapat tapi banyak pengalaman positif, penyesuaian pasangan suami-istri yang makin kompak, dan anak-anak yang makin peduli pada eyangnya. Banyak manfaat positif yang didapat dalam keluarga jadinya.
3. Adaptasi Menghargai Kegiatan Pasangan
Suami dan istri itu hakikatnya sudah berada dalam konsep rumah tangga, yang di sana bukan hanya masalah suami isteri, tapi ada pekerjaan, kontribusi ke masyarakat, sosial, dan lain-lain. Tak semuanya harus dikerjakan secara bersamaan. Bahkan dalam konsep produktivitas, jadinya malah kurang produktif. Tinggal tentukan bersama, kapan waktu yang bisa dihabiskan bersama suami/istri, mana waktu yang suami dan istri produktif dengan kegiatan masing-masing.Tetap ada ruang dan waktu lain yang dapat dipakai bersama.
Praktiknya, batasan ruang dan waktu itu Harus jelas. Misal jam kantor, itu domain pribadi, tapi pas istirahat dapat komunikasi via telepon/wa/sms. kalau terpaksa lembur harus berkabar dan mengganti waktu. Sebaliknya dari sisi istri juga seperti itu. Hal tersebut dapat dijadikan media personal growth. Kalau disuruh milih pasti suami lebih suka istri yang mendukung dan mendoakan ketika tugas/kerja, serta menyambut dengan gembira ketika dia pulang tugas/kerja. Dari pada istri yang kalau suami tugas malah sakit, mellow, Telpon terus, dan selalu khawatir. Semua by process dan tidak harus selalu perfect. Dari situ dapat membentuk interdependency bukan dependen dengan pasangan.
Jika boleh mengutip “Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang membebaskan, bukan ikatan yang saling memberatkan apalagi saling mengekang. Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang saling menguatkan dan melengkapi, bukan ikatan saling ketergantungan yang membuat satu orang diantara kita jadi lumpuh ketika tak ada yang satunya.”
4. Adaptasi Pasangan Agar Menjadi Partner Berbakti pada Orang Tua
Introspeksi dulu apakah kita sudah berbakti pada orang tua pasangan kita, Dan sudah jadi mediator untuk menndekatkan pasangan ke orang tua kita? Ini point nya. apalagi sebagai seorang istri, jika suami masih punya ibu atau orang tua, itulah ladang pahala suami. Maka ingatkan dia setiap saat untuk berbakti pada ibunya semampu kita. Rutin berkabar, mendoakan, atau mengirimi sesuatu dapat dilakukan bersama, atau malah ajak tinggal bersama kita. Sebaliknya setiap kita adalah mediator bagi pasangan kita untuk dekat dengan keluarga besar kita termasuk orang tua, seperti duta besar. Pasangan yang tak hanya cinta kita dapat teridentifikasi sejak proses perkenalan. Bagaimana perhatiannya ke keluarga besar kita. sebaliknya apakah kita sudah melakukan hal yang sama ke keluarga calon pasangan? Jadi harus saling memperhatikan satu sama lain.
5. Adaptasi Menjadi Working Mother
Ada kalanya seorang istri dilema antara keinginan untuk berkarir sesuai dengan ilmu yang didapat saat kuliah atau jadi ibu rumah tangga. Hal itu cukup membingungkan saat kita setelah menikah dan memiliki anak dituntut mengurus keluarga dan mendidik anak secara ekstra penuh hingga usia anak 7 tahun.Menyikapi hal tersebut, satu hal yang perlu diyakini bahwa ibu yang baik itu tidak ditentukan dari ibu bekerja atau hanya mengurus keluarga di rumah.
Tolak ukurnya ada pada seberapa bertanggungjawab menjalankan peran sebagai ibu. Maksudnya, di zaman sekarang karir dan ibu bukan dua hal yang harus dibenturkan, tapi dapat sejalan. Tinggal pembagian peran dan supporting-nya yang dikelola. Hidup itu memang pilihan. Tapi kadang kita suka lupa, kalau membicarakan pilihan, kita bukan hanya mempertimbangkan apa saja pilihannya, tapi terlebih penting adalah apa konsekuensinya. Jika ingin jadi ibu karir, maka konsekuensinya harus buat supporting system di keluarga yang memastikan anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Selalu utamakan keluarga.
6. Adaptasi Gaya Komunikasi yang Tepat Pascanikah
Banyak pasangan terjebak mendefinisikan komunikasi dengan harus saling tahu. Seolah kita harus tau tentang semua hal yang berhubungan dengan pasangan kita, begitu juga sebaliknya. Akhirnya, kita terjebak pada hal-hal teknis; sulit terbuka, merasa pasangan tertutup, bahkan yang lebih akut seperti curiga terhadap pasangan atas apa yang tidak atau belum kita ketahui.
Padahal, inti komunikasi itu adalah saling mengerti juga memahami. Tahu segalanya mengenai pasangan belum pasti sudah mengerti. Misal, banyak pasangan yang tahu kekurangan pasangannya, tapi tak bersedia menerima dan mengerti pasangannya. Tapi kalau kita sudah belajar mengerti dan memahami pasangan kita, insya allah, kita dapat lebih menerima kondisi pasangan kita. Entah apakah itu hal yang sudah kita tahu, atau belum kita tahu. Dan di masa-masa penyesuaian setelah nikah, yang harus dilakukan adalah belajar memahami bagaimana pasangan kita, bukan sekedar mengetahui apa saja hal-hal yang berhubungan dengan pasangan. Memahami, jauh lebih dalam dari sekedar tahu.
Kalau cara komunikasi dengan pasangan, tentu tak dapat dipukul rata karena setiap orang punya karakter dan kondisi masing-masing. Namun, dapat pula digaris bawahi bahwa komunikasi yang baik antar pasangan, selalu dimulai dari rasa nyaman. Buat pasangan kita nyaman dengan kita, biasanya komunikasi lebih lancar dan terbuka. Kalau kita masih ada barrier, canggung, suka sungkan bicara dengan pasangan, mungkin rasa nyamannya yang perlu ditingkatkan.Salah satu cara bikin nyaman; selagi kita bisa, perlakukanlah pasangan kita, sebagaimana dia ingin diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Dengan kata lain, komunikasi itu mau mendengarkan dan mau tahu tentang pasangan kita, serta memberi kesempatan pasangan memahami kita. Caranya, dengan menyampaikan apa yang kita mau dan rencanakan. Gaya komunikasi pun berbeda-beda. Ada yang suka bahasa lisan, tulisan, saat serius, atau saat santai. Jika pasangan yang tertutup maka tidak ada salahnya kita yang proaktif terbuka.
7. Adaptasi Pascanikah ketika Bosan Saat Fase Pembentukan Keluarga
Kuncinya mungkin jangan terjebak rutinitas. Sesekali buat refreshing, liburan, melakukan hal bersama yang tidak biasa. Dapat pula direncanakan tiap bulan punya project keluarga yang produktif tapi fun.
Ada pula jika kebosanan itu pada calon pasangan, berarti tidak ada kecocokan dan mutual self disclosure. Itu pertanda bahwa hubungan tidak dapat dilanjutkan, selagi belum menikah. Tapi jika pada rutinitas pendekatannya itu berarti perlu diskusi lain yang memang penting dan menarik. Namun dapat juga kita yang belum siap berbagi pada orang lain, masih suka sibuk sendiri dan belum mau memperhatikan kepentingan calon pasangan. Tapi Ini khusus untuk tahap persiapan pernikahan, bukan saat sudah menikah.
Lebih jauh, bosan itu tanda bahwa yang dicari tidak ketemu atau malah sudah dapat, jd tidak menarik lagi. Masalahnya apa yang dicari pada pasangan yang sedang pendekatan? passion kah? Komitmen kah? Atau intimacy kah? Dikhawatirkan bahwa yang dicari passion. Karena komitmen dan intimacy ini sifatnya kualitas interaksi, jadi ya makin jauh, makin kompleks dan makin menarik. Kalau passion ini yang warning! Hanya cari cantik/ganteng, cari seksi/gagah, cari sexual appeal. Jadi begitu ada yang lebih maka jadi malas dengan yang ini, saat sudah “dapat”, maka hilang sensasinya. Dari hal ini kita dapat pahami dalam cinta saja sisi spiritualnya lebih banyak daripada sisi duniawinya.
Tinggal kita pilih mana yang paling cocok dan sesuai dengan kondisi kita. Kadang tak semuanya itu hitam putih. Tapi dapat juga abu-abu. Dan percayalah; selalu ada jalan tengah.Intinya keseimbangan dan harmonisasi antar interaksi anggota keluarga didalamnya merupakan hal yang penting. Dasarnya cinta pasangan suami-istri (komitmen, intimacy, dan passion) serta interdependency antara orang tua-anak.
“Pernikahan” adalah sebuah perjalanan. Tidak hanya menyatukan dua insan, namun bagaimana keduanya berproses dan ber-progress menjadi lebih baik dalam sebuah payung bernama “rumah tangga”. Sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya memberi kepada pasangan, masalah memanennya kapan, nanti serahkan kepada Tuhan. Low expectation, high performance.

(30 Mei 2015, Diskusi FC#4)
Pemantik:
1. Nazrul Anwar (Penulis “Letter to Karel” dan “Genap”).
2. Kartika Sari Dewi, S. Psi., M. Psi. (Dosen Psikologi, Psikolog Klinis Dewasa & Keluarga).

Moderator: Melinda Nurimannisa (FIM 13).
Notulis: Dimas Prasetyo Muharam (FIM 14c).

Satu pemikiran pada “ADAPTASI PASCANIKAH

  1. Ping balik: ADAPTASI PASCANIKAH | Islamialogy's

Tinggalkan komentar