MENYEMAI CINTA DALAM RUMAH TANGGA

“ Karena Saat Bersamamu Cintapun Perlu Ilmu. Ilmu Tentang Cinta “

Rumah tangga adalah  madrasah cinta yang tak pernah mengenal kata wisuda. Kelas yang tak pernah usai sampai bel akhir hayat berbunyi. Berumah tangga merupakan suatu keputusan yang sangat penting dalam mengarungi bahtera kehidupan. Mereka ibarat perjalanan dalam sebuah kapal ditengah lautan dengan berbagai cuaca dan keadaan yang tidak menentu. Lama dan panjangnya perjalanan yang dilalui tidak selalu berjalan mulus, Akan ada batu karang yang menganggu, bisa juga menimbulkan kekosongan dan kebosanan didalam mengarungi perjalanan.

Berangkat dari pengalaman rumah tangga sang founder Forum Indonesia Muda, Bunda Tatty Elmir dan suami (re :pa E), mari kita belajar bagaimana menyemai cinta dalam rumah tangga .

bunda dan Pak e

Kami dulu adalah pasangan konvensional. Dulu sebelum menikah tidak begitu detail membicarakan masa depan. Kecuali pernak pernik romantisme sepele. Bahkan juga tidak terpikir tentang pembagian peran dalam rumah tangga yang kami angankan. Waktu itu kami malah belum kenal istilah ; Ketahanan keluarga parenting skill atau strengthening the family dsb. Kami berdua masih sangat muda .

Bunda masih berusia 20 tahun saat menikah dulu, masih kuliah, sambil bekerja sebagai wartawan radio ARH jakarta dan paE (re:suami bunda) berusia 26 tahun masih menjadi pegawai orang, sebagai professional pemula di Surabaya. Kami jarang ketemu, jadi kurang ada kesempatan diskusi panjang lebar. Intinya hanya bisa bicara garis besar, samar-samar pula.

Sebelum menikah kami memang sempat membahas tipe rumah tangga dan pola pengasuhan termasuk pembagian peran itu sekilas. Namun tidak rinci. Boro-boro tentang pembagian peran-peran yg sangat tehnis. Usai menikah kami hidup terpisah. Bunda tetap kuliah di Jkt dan PaE tinggal di Surabaya. Secara alamiah pula ketika suatu hari bunda sakit dirawat 1 bulan di sebuah RS di Jakarta, lalu PaE mengajak Bunda pindah ke Surabaya lalu Bunda bekerja di salah satu radio di sana (radio Suara Surabaya). Semua terjadi secara alamiah saja. Tidak ada saling tuntut atau membuat kesepakatan pembagian ruang, bahkan juga waktu akhirnya bunda memutuskan berhenti kuliah. Padahal saat itu Bunda terikat kesepakatan dengan lembaga pemberi beasiswa.

Ketika PaE pindah ke Kalimantan, dan Bunda hamil, bunda juga ikut dan berhenti bekerja. Sama sekali tak ada kegiatan. Kecuali mengurus rumah tangga dan jalan-jalan. Bunda jadi punya banyak waktu mempraktekkan resep masakan dan mengasuh anak-anak Karang Taruna di komplek kami tinggal di Kalsel. Lagi-lagi itu naluriah. Lalu bekerja kembali saat pindah lagi ke Jakarta tahun 1988. Dan PaE juga mendorong dan ikut mempersiapkan saat bunda dapat kesempatan belajar ke Amerika tahun 90. Semua ijin tesebut Bunda terima dan diberi PaE ikhlas tanpa kesepakatan apa-apa sebelumnya. Bunda juga memilih berhenti bekerja (fulltime) setiap melahirkan, menyusui juga karena naluri seorang Ibu saja. Lalu beraktivitas macam-macam di luar rumah sesuai minat. Nah tentu itu bukanlah sesuatu yang ideal. Mengingat kami punya anak banyak yang tidak boleh ditinggal hanya dengan pengasuh. Beruntungnya, rumah kami selalu ramai dengan adik, ponakan, sanak saudara dan orang tua kedua belah pihak. Kami membesarkan anak beramai-ramai. Saat mereka bayi, jika ada kegiatan bayinya diajak, tapi sekali lagi itu mungkin tidak ideal, karena semua terjadi alamiah tanpa rencana karena saat itu kami belum tahu ilmunya.

“SEKARANG KALIAN YANG HIDUP DI DUNIA YANG BEGITU KAYA ILMU DAN INFO, MESTINYA JAUH LEBIH SIAP, LEBIH TERENCANA DAN LEBIH TERBUKA”

Alangkah baiknya segala keputusan yang diambil merupakan hasil mufakat antara suami dan isteri. Bila terjadi perselisihan pendapat, jangan saling ngotot, didiskusikan secara baik-baik, jika suami mengeras, isteri melembut begitupun sebaliknya. Perselisihan terjadi mungkin karena suatu pasangan tidak ingin saling mengalah, maka dari itu mengalah saja untuk sesuatu yang lebih besar.

Ketidak cocokan seringkali menjadi salah satu alasan menjadikan pernikahan itu goyah bahkan berujung pada perceraian.  Sebenarnya tidak ada orang yang selalu cocok satu dengan yang lain. Bahkan kembar identikpun juga tidak. Namun ketika kita memutuskan untuk menikah, maka jangan diperuncing dengan ketidak cocokan, yang dipandang adalah komitmen, apalagi jika sudah memiliki anak. Soal panggilan kepada istri atau suami itu membawa dampak pada perilaku rupanya, terkadang pasangan suka cekcok dan tidak ada saling menghormati karena saling memanggil “Lo gue”. PaE dlm keadaan marahpun belum pernah sekalipun memanggil bunda “Kamu” apalagi yang buruk, selalu memanggil bunda Say, atau sebut nama dalam semarah apapun.

Ketika pasangan masih dalam fase berkenalan (bahkan setelah nikah pun perkenalan masih selalu berlanjut), dan timbul keinginan-keinginan atau ketidaksukaan, apakah perlu disampaikan? Atau ditahan (sabar) agar sang kekasih tidak luka hatinya? Tentu tergantung prinsip atau tidaknya persoalan yang akan disampaikan. Kalau cuma soal potongan rambut atau warna baju boleh-boleh saja diungkapkan tapi tidak terlalu serius.Tapi kalau persoalan yang sangat penting seperti kebiasaan buruk ya harus dirubah. Tentu disampaikan dengan baik. Seperti bunda dan pa’E lakukan pada 10 tahun pertama pernikaahan terutama 5 tahun pertama yaitu dengan saling evaluasi diri. Kita menulis surat, berisi poin-point, apa yang kami sukai dari pasangan dan apa yang tidak. Dengan menulis, semua uneg-uneg bisa disampaikan dengan bahasa yang lebih tertakar dan terjaga. Sementara lisan dikhawatirkan sulit dikontrol.

lalu mengenai “me time”, apakah dalam pernikahan itu benar-benar perlu? Keadaan dimana menjauh dari keluarga untuk menjalankan peran yang sebelum menikah? Setiap orang sebaiknya memiliki “me time”, yang perlu dikomunikasikan pada pasangan masing-masing. Seperti isteri tahu persis kapan jadwal suami badminton, atau kegiatan lainnya khususnya yang membawa kebaikan. Begitupun sebaliknya bagi isteri untuk selalu berusaha melibatkan suami dalam berbagai kegiatan di luar kewajiban. Harapannya kegiatan yang dilakukan sebagai bentuk ventilasi sebuah rumah tangga agar tidak pengap atau jenuh serta agar suami paham dan mendukungnya. Namun tetap berusaha semaksimal mungkin bersama keluarga. Karena KELUARGA ADALAH HARTA YANG PALING BERHARGA.

Saat menikah tentu akan mengalami masa kejenuhan. Bukan jenuh dengan pernikahannya melainkan pada kegiatan rutinitas seperti saat 2 tahun masa menyusui bayi. Oleh karena itu buatlah kesibukan lain yang bisa sembari mengasuh anak sehingga rasa jenuh itu akan hilang. selain itu bagi laki-laki ada yang beranggapan bahwa laki-laki itu punya masa puber kedua, di usia 40 an sehingga apakah seorang isteri harus selalu cantik dan menwan di mata suaminya. Hal ini dikembalikan lagi kepada suami. Suami itu pemimpin. Merekalah yang bisa menjadikan isterinya seperti apa. Kalau suami ingin istrinya bidadari maka dialah yang menciptakannya. Begitu juga yang buruk. Jika suami menginginkan istrinya cantik, wangi, terawatt maka dialah yang harus mengikhtiarkan dahulu dengan mengalokasikan dana untuk itu. Bukan hanya untuk kecantikan tapi lebih kepada kebersihan.

Mengenai perbedaan usia dengan pasangan mungkin ±10 tahun, bagaimana caranya agar cinta itu masih terjaga? Bukan hanya usia, kita semua itu berbeda. Tapi Allah yang satukan dalam mitsaqan ghalidza. Perbedaan usia hanya masalah angka-angka, banyak suami lebih muda tapi hidup mereka sangat bahagia dan ada juga sebaliknya. Tapi memang secara umum, wanita lebih cepat dewasa sehingga banyak ahli berpendapat sebaiknya laki-laki lebih tua daripada perempua. Sesungguhnya perbedaan usia sangat tergantung pribadi dan kedewasaan masing-masing, jadi sangat personal.

 

Bagaimana menjaga keromantisan dalam rumah tangga ?

Tidak perlu menjaga keromantisan, yang perlu dijaga dan dirawat terus-menerus itu adalah cinta. Bukan roman-romantisnya. Mungkin karena ada kesadaran menjaga/merawat cinta, lalu orang menyebutnya romantis. Padahal itu hanya tool, bukan tujuan, yang harus dijaga adalah bahan bakunya, yaitu :

1.Tanggung jawab

2.Kepedulian

3.Kepercayaan

4.Kehormataan

5.Keikhlasan

6.Kasih sayang

Tak ada suami atau istri yang terlihat hina dan direndahakan saat menunjukkan kepedulian, dan kasih sayang kepada keluarganya. Contoh peduli itu bisa dari hal-hal yang sangat sederhana. Selalu jadi orang yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun kepada pasangannya misalnya, atau bagi suami bisa dengan dibuatkan masakan favorit, disiapkan bacaan kesayangan.

 

“HAL YANG PALING PENTING ADALAH UNTUK TIDAK MENUNTUT MACAM-MACAM SATU SAMA LAIN”

 

Lantas bagaimana menyemai cinta dalam rumah tangga ?

Rumah tangga itu adalah madrasah cinta yang tak pernah mengenal kata wisuda, ketika berumah tangga, tidak hanya masa kini dan masa depan pasangan yang kita terima, tapi seutuh-utuhnya pasangan kita. Saling melengkapi, membersamai dan memahami kekurangan serta kelebihan. Saling mendukung satu sama lain. Rumahku adalah istanaku, tidak ada istana tanpa kerajaan, bangunlah rumah tangga  kalian dengan penuh semangat agar tercapai kebahagian dunia dan akherat

“Untuk MEMBANGUN ketahanan BANGSA harus dengan KETAHANAN DIRI  dan RUMAH TANGGA. Untuk MEMBANGUN ketahanan RUMAH TANGGA harus diawali dengan MENCARI JODOH yang BAIK dengan CARA yang BENAR pula”

 
Dear ananda,

Menikahlah Nak manakala dirimu sudah benar-benar siap. Siap di sini bukan hanya faktor usia, pendidikan dan finansial. Tapi benar-benar siap menerima orang lain untuk menjadi bagian dari diri kita. Seperti daging dengan darah.Ilmu mengenal diri harus benar-benar diamalkan.Kalau kita seorang pencemburu, posesif, sangat mengagungkan privasi, jangan menikah dengan aktifis populer dan relawan yang murah hati lapang segala.Jika kita seseorang yang mau benar sendiri tak mau dibantah, jangan bermimpi punya pasangan cerdas, dan sehat yang pastinya kritis.Banyak orang sesumbar ingin punya pasangan shalih/shalihah, cerdas, sehat, kaya, pemurah, dari keluarga “Intelek”. Lalu setelah menikah stress sendiri karena tak mampu mengimbangi gaya hidup orang “Intelek” karena masih suka sembarangan.Jadi ya mari mengukur dan memantaskan diri.Pernikahan bukan “Kamar Sakti” yang membuat orang berubah.Jadi jangan bermimpi setelah menikah bisa merubah pasangan.Yang paling bisa kita lakukan hanya penyesuaian, pemaafan, dan pengikhlasan yang tiada akhir.Karena nenek moyang kita dari jaman baheula sudah berulang-ulang mengingatkan, bahwa cinta adalah pengorbanan. Terdengar sangat klise. Namun sangat benar adanya.”Jadi mari kita terus memantaskan diri..” tidak hanya dalam proses pencarian jodoh, tetapi juga mempertahankan jodoh agar langgeng dunia akhirat.

 

(29 Februari 2016, Diskusi FC#4)

Pemantik         : Bunda Tatty Elmir dan Pak Elmir (Founder Forum Indonesia Muda)

 

Moderator      : Ragwan Al-Aydrus FIM 14C                  

Notulis            : Robiyanti Saputri FIM 17

 

Tinggalkan komentar