PERAN PENTING SEORANG AYAH DALAM PROSES PENDIDIKAN ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA

 

Seorang ayah adalah idola pertama putrinya dan pemimpin pertama putranya”

-Ivan Ahda-

 

Perjalanan menikah selama 10 tahun dari tahun 2009 hingga sekarang (2019) banyak value dan insight yang saya dapatkan atas proses berinteraksi dengan orang di luar inner circle keluarga seperti mertua, mentor, atau orang lain sehingga dapat mengobservasi dinamika keluarga sendiri. Perjalanan hidup sebelum dan setelah menikah, menurut saya terdapat tiga poin kunci mengenai peran ayah dalam keluarga. Tiga poin tersebut yaitu:

  • Seorang ayah adalah idola pertama putrinya, dan pemimpin pertama putranya. Hal ini semua tentang role model. Utamanya, hal ini terkait dengan tanggungjawab serta komitmen, pengambilan keputusan, dan konsistensi peraturan. Atas pengalaman pribadi, domain ini ayah memegang peranan penting dibanding ibu. Tentu intensitas ataupun variasi di setiap keluarga berbeda.
  • Ayah adalah partner strategis seorang ibu dalam pengasuhan. Istri baiknya turut andil dalam memberikan penguatan kepada suami sehingga bersama sama dapat saling memakna bahwa betapa pentingnya menjadi pasangan strategis. Bahwa menikah bukan hanya syariat dan konsensus sosial, tapi menikah merupakan fase lanjutan dari model lain pertanggungjawaban kita kepada Arti pasangan strategis di sini yaitu dengan berbagi peran dan tidak saling menjatuhkan. Kesamaan mengenai pemahaman tentang hal tersebut penting, agar dari awal kita tidak menjadikan istri sebagai subkontraktor rumah tangga (urusan anak dan semua printilannya hanya dilakukan oleh istri). Pasangan adalah equal partner. “We are equal pertner”, di mana semua orang punya saham dan tanggung jawab yang sama. Secara transendental, seorang istri/ibu punya nilai lebih tinggi 3x lebih dibandingkan seorang ayah maka, sudah jelas kita sebagai ayah tidak bisa menyaingi kemuliaan ini. Namun, disinilah justru menjadi penting. Ayah punya peran untuk menyiapkan fondasi, agar anak-anaknya bisa menghormati ibunya dengan baik. Apabila ingin menjadi ayah yang baik, 50 persennya ditentukan dr sejauh mana efektif dan efisiennya kolaborasi strategis kita sama pasangan kita.
  • Seperti pada pola pengasuhan, menjadi ayah yang ideal, there is no such one playbook ‘how to be a good father’ yang bisa jadi rujukan total kita. Tentu rujukan dari agama, sejarah orang-orang besar selalu bisa kita jadikan patokan. Percayalah bahwa pengasuhan merupakan resultan keseimbangan yang didapat dari kombinasi pengalaman, latar belakang, dan pengetahuan kedua orang tua. Hal ini yang menjadikan pola pengasuhan unik bagi setiap keluarga. “Basically, because parenthood also about exchanging and internalization of values, so we should ask of ourselves. Nilai apa yang dimiliki seorang ayah yang ingin ditransfer kepada anaknya? Pertanyaan ini yang akan membedakan treatment, attitude dan mungkin cara kita handling situation pada urusan sehari-sehari.

Cobalah untuk merefleksikan diri sudah sejauh mana kesiapan kita sebagai seorang calon ayah, atau calon ibu untuk menghadapi tantangan pengasuhan ke depan, seperti berikut:

  1. How we dealing with the past. Tidak bisa dipungkiri, sebagai seorang ayah, kita akan dipengaruhi dengan semua dinamika kehidupan kita sebelum menikah. Oleh karena itu, bagaimana kita berdamai dengan masa lalu; bagaimana orang tua kita memperlakukan kita, bagaimana (mungkin) kita menjadikan orang/pasangan lain sebagai role model kita, atau bahkan bagaimana ekspektasi kita sama pasangan kita. Menjadi seorang ayah, harus ditarik persiapannya bahkan dengan menyadari tipe seperti apakah kita, dan bagaimanakah nanti kita berdinamika dengan pasangan kita?
  2. Menikah hampir sepuluh tahun, membuat saya terkagum-kagum dengan cara Allah menciptakan keunikan masing-masing manusia. Saya dan istri selalu mendapat insight baru, baik dari konflik-konflik ataupun peristiwa kita dalam mengasuh anak-anak. Dari istri, saya belajar utk mendialogkan perasaan. Walau kemajuannya minta ampun susahnya. Namun, hal ini barangkali penting bg seorang ayah. Kita yang laki-laki tidak bisa selalu berkomunikasi dan dialog dengan bahasa data, fakta dan informasi. Mulailah untuk mengutamakan dialog dari sekarang, mungkin bisa membantu kita memudahkan tugas kita sebagai ayah.
  3. Sudah seringkah kita jalan-jalan?Berdasarkan pengalaman saya, jalan-jalan punya peran penting dalam pembangunan karakter, penanaman nilai-nilai sekaligus team building keluarga. Contohnya anak pertama saya. Anakpertama saya bisa belajar banyak saat kita lagi jalan-jalan. Exposure anak terhadap hal-hal baru juga akan membantunya memiliki world view yang lebih baik.

 

Lalu bagaimana mengedukasi papa papa yang tidak familiar dengan psikologi yang tipenya breadwinner agar ikut serta dalam pengasuhan anak?

Tipe breadwinner sepertinya lebih mudah mengajak karena at least yang bersangkutan punya ‘ambisi’, alias punya harapan anaknya akan sepertt apa. Dari titik inilah dijadikan dialog dengan pasangannya bila ini sebagai tanggung jawab bersama. Hal yang sulit itu apabila papanya tipe yang pasrah, alias terserah ibunya. Sama seperti kalau ngebentuk orang,  akan lebih mudah kalau kita develop people yang udah punya ambisi. Nanti mungkin sensitifnya jangn sampe anaknya dijadikan pelampiasan breadwinner selanjutnya.

 

Bagaimana bisa terlepas dari inner child?

Bagaimana diri kita saat ini, sangat dipengaruhi dari diri kita di masa lalu. Manusia itu makhluk dinamis, dia akan terus berproses, sehingga tidak bisa juga dapat dikatakan seseorang itu terlepas dari inner child, alias kasus/permasalahan di masa lalu. Namun, setidaknya dengan menyadarii bhw mungkin dahulu ada sesuatu yang tidak pernah diketahui and it is a good start, I think. Kerelaan dan kelapangan untuk menyadari bahwa “our past affect us in present time”, Hal tersebut bisa dijadikan sebagai spiritual journey. Setiap orang punya waktu dan momentnya sendiri-sendiri, sehingga tidak bisa dipaksakan untuk berubah. Namun, bisa dimulai dengan menyadari bahwa kemungkinan kita semua punya sejarah masa lalu yang fundamental mempengaruhi kita.

Perihal pola pengasuhan dan pengalaman yang didapatkan seseorang saat menjadi new dad or mom, pasti ada hal yang menjadi kekhawatiran tersendiri seperti ada hal yang kurang baik atau kejadian masa lalu yang sangat membuat batin teringat dan tidak ingin terjadi pada pola pengasuhan anak. Tidak ada yang bs memastikan bahwa pengalaman tersebut akan kembali atau tidak. To be honest, hidup kita lebih lama sebagai seorang anak (rata-rata misalnya 24thn menikah) dengan semua pengalaman yang kita terima. Bagaimana mungkin hal ini akan hilang sepenuhnya, atau berubah 100 persen. Jauh lebih penting adalah mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman ini kepada pasangan, agar setidaknya kita bisa mengantisipasi kemungkinan terburuk dari ini semua. Saya sangat percaya bahwa makna sekufu dalam Islam itu tidak hanya mencakup present time, tapi juga past time, artinya variable-variabel masa kini seperti gelar, materi, budaya, dll haruslah dipadukan denganmemahami diri kita pada masa lalu masing-masing. Bisa dikatakan, pasangan kitalah ‘psikolog’ sebenarnya untuk diri kita. Makna pasangan kitalah ‘psikolog’ sebenarnya untuk diri kita yaitu “kita sebaiknya adalah orang yang pertama tahu tentang diri kita, semua cerita kita di masa lalu dan semua titip vulnerable (kerapuhan) kita. Saya sendiri masih belajar dan sangat sulit barangkali, tp as long as we live together (forever), there is always time for our stories.

“Hidup bersama, berarti juga menerima sepenuhnya kalau kita barangkali sambil ‘healing’ bersama. Ibaratnya, sambil mengarungi kehidupan, kita sama-sama saling memperbaiki diri”

 

Bagaimana caranya “dealing with the past”? Hingga sampai saat ini belum bisa berdamai dengan hal tersebut yang akhirnya takut untuk membangun rumah tangga ?

Pada titik tertentu, jika kita merasa harus merujuk diri kita ke profesional, saya pikir itu lebih baik, atau setidaknya bisa dimulai dengan self reflection atau mgkn ada teman dekat kita yang bisa menjadi tempat dimana kita jujur sama diri kita. Buat sebagian orang ini sulit, dan bagi sebagian yang lain ini mudah. Tapi semuanya akan menuju pada satu hal:

“penerimaan akan diri sendiri bahwa jalan hidup kita dengan yang Allah berikan kepada kita merupakan satu karunia dengan paket lengkap yang ada didalamnya”

Mungkin tidak akan ada kata ‘selesai’ kalau berhadapan dengan kerapuhan diri kita. Tapi mempercayai bahwa menikah barangkali bisa menjadi satu jawaban untuk memperkuat diri kita, itu bisa switching mindset kita kesana.

 

Bagaimana menentukan pasangan yang sepaham dengan pola pengasuhan anak kedepannya?

Sebenarnya tidak ada rumusan ideal, kecuali kita bersama bersepakat dgn semua perbedaan dan persamaan kita, “we are going thru this together”. Perbanyak kesempatan untuk mengenal lebih jauh pemikirannya, terus orang-orang sekitarnya dan juga apa pandangan dia. Ini tidak mungkin tercapai bila tidak ada dialog. Hidup bersama, mengasuh anak bersama tidak seindah drama korea ataupun novel-novel roman islami. Keduanya ada sisi-sisi kepahitan yang diyakini juga akan membuat kita lebih realistis memandang hidup. Jangan lekas percaya sama pangeran berkuda yang serba sempurna: ganteng, aktivis, pinter, jago maen gitar, tapi dangkal konsep berpikirnya. Uji saja dia. Perlu diketahui sepemahaman atau pasangan idaman hanya perihal mindset. Mudah-mudahan ‘garis idaman’ masing-masing pasangan bisa bertemu dan bersepakat pada satu kontinum penghidupan. Tidak akan statis, tapi dinamis, seiring perjalanan hidup.

 

Value apa saja yang sudah diberikan ke anak?

Utamakan dialog, bertanggung jawab atas keputusan yang diambil dan apresiasi atas usaha, hasil yang sepadan akan menyusul. Baiknya memiliki banyak cerita yang bisa dibagikan untuk anak-anak.

 

KASUS: Terdapat sebuah keluarga yang kedua orangtuanya sangat religius dan memiliki 2 anak. Ayahnya sangat sibuk bekerja dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Permasalahannya adalah anak bungsunya (laki-laki) mengambil atm card ayahnya lalu mengambil sejumlah uang dan berani berbohong sedangkan kakaknya ada di pesantren. Berdasarkan permasalahan tersebut apakah kekurangan dari peran orang tua khususnya seorang ayah dalam proses pola asuh, padahal secara penglihatan ayah dan ibu sangat mendidik anaknya dengan pemahaman agama begitu dalam? Apakah latar belakang dari ayah yang wataknya keras memengaruhi perilaku anak?

Katakanlah kita bisa anggap keluarga X memiliki tingkat relijiusitas yang tinggi. Mungkin yang perlu dicek bagian relijiusitas mana yang tinggi dari keluarga tersebut. Ada 5 aspek relijiusitas yang mungkin bisa dicek: dimensi keyakinan (belief), dimensi ritual/praktik (practice), dimensi penghayatan (feelings), dimensi pengalaman/konsekuensi (religious effect), atau dimensi pengetahuan (intelektual). Ini menjelaskan kenapa ada yang ‘rajin sholat’ kok masih tetap korupsi? atau misalnya ‘lulusan pesantren’ jatuhnya jadi kriminal, atau ada ‘preman tidak pernah sholat’ tapi sedekahnya kenceng (karena preman tersebut meyakini bahwa perintah bersedekah dalam islam akan memudahkan semua urusan dia).

Balik ke persoalan diatas, mungkin bisa dicek bagian mana yang perlu diperkuat dari keluarga ‘relijius tersebut. Patut diduga, barangkali role model ayahnya yang seharusnya punya peran mendidik tanggungjawab missing, sehingga fungsi ini yang tidak terpenuhi dari sisi orang tuanya. Mengenai perilaku seseorang, banyak hal yang bisa dipakai untuk menjelaskan perilaku tersebut.  Bisa jadi anaknya meniru (modelling) dari lingkungannya (tontonan, temannya dll), atau misalnya itu sebagai bagian dari tindakan untuk seeking attention (mencari perhatian orangtuanya) atau sederhana bahwa ada basic needs (kebutuhan dasar) yang tidak terpenuhi sehingga dapat dipahami perilaku anak itu sebagai bagian dari survival (bertahan hidup). Oleh karena itu sebagai orang tua sudah menjadi sunnatullah kita bersabar dengan semua kemungkinan-kemungkinan terjadi sama anak. Jika kelak ujian itu hadir, semoga kita diberi kekuatan dan kesabaran.

 

Era yang serba digital ini, terkadang beberapa orang tua menginginkan hal yang mudah dan tidak ribet. Salah satunya berdampak pada pendidikan anak. Beberapa orang tua ini akhirnya memberikan gadget kepada anaknya. Apakah itu baik? Ataukah ada solusi lain selain memberikan gadget kepada anak?

Saya dan istri juga mengalami dilema seperti itu. Saya akui pada momen-momen stressfull  dimana saya dan istri sedang riweuh dan tidak berenergi, saya juga memberikan gadget sebagai solusi instan. Hal ini saya akui bukan hal yang baik. Sebelumnya, ketika situasi lagi dalam keadaan normal, saya, istri dan anak menetapkan satu aturan dasar yaitu gadget hanya digunakan waktu tertentu dan untuk tujuan tertentu. Ini biasanya kita establish di awal. Jika ini dikomunikasikan diawal, inshaAllah anak kita bisa nurut. Hal yang menjadi tantangan adalah konsistensi dan komitmen kita. Hal ini karena anak pada dasarnya punya kecendrungan belajar yang cepat, ia akan cepat menemukan pola dan ‘celah’ orang tuanya. Hal Ini yang bisa jadi penuh dinamika. Menetapkan satu aturan dasar itu penting perihal screen time dll.

saya punya kolega alumni psiko, mereka punya rumah dandelion, cukup banyak riset dan best practice tentang screen time tsb. Sudah jadi temuan umum kalau screentime berlebihan pada anak punya efek negatif. Andaikata kita sekarang belum berkeluarga, kalau ada adik, atau saudara, tidak usah sungkan untuk langsung ingetin bila ada yang berlebihan.

http://nypost.com/2016/08/27/its-digital-heroin-how-screens-turn-kids-into-psychotic-junkies/?utm_source=pocket&utm_medium=email&utm_campaign=pockethits

salah satu artikel membahas mengenai ‘digital heroin’. semoga bisa mencerahkan.

(7 April 2019, Diskusi Kolaborasi FC#4 & FC#14)

Pemantik         : Ivan Ahda (Ayah 2 anak, CEO MAXIMA, Master in leadership studiesin national resiliences program (M. Si), B. A in Psychology major (S.Psi), UI)

 

Moderator         : Fitri A FIM 20 Bukittinggi       

Notulis               : Zuhay RZ FIM 15

Resume: ANAK BUKAN KERTAS KOSONG

IMG-20171231-WA0019

Sharse internal perdana dari tim admin yaitu resume buku “Anak Bukan Kertas Kosong” yang ditulis oleh Mas Bukik dengan cetakan pertama tahun 2015.

IMG-20171230-WA0005

Buku “Anak bukan kertas kosong” yg ditulis oleh Mas Bukik Terinspirasi dari Ki Hajar Dewantara.

Pertama: Setiap Anak itu istimewa

Kedua: belajar bukanlah proses memasukkan pengetahuan ke diri anak

Ketiga pentingnya peran keluarga dalam pendidikan.

Namun, saat ini pemikiran tersebut dipinggirkan oleh paradigma dunia pendidikan yang berubah. Selain perubahan paradigma dunia pendidikan juga berkembangnya zaman “now” yang didalam buku ini disebut juga sebagai zaman baru atau zaman kreatif. Lahirnya zaman kreatif terlihat dari mudahnya anak-anak belajar dari mana saja dan topik apa saja, orang bekerja bisa di mana saja bahkan bisa di kafe atau di rumah, orang bisa belanja dgn mudah tanpa harus keluar rumah, dan mengenai makan pun telah terjadi pergeseran makna.

Jpeg

Berkembangnya zaman ke zaman kreatif maka tantangan yang diberikanpun semakin banyak. Maka di dalam buku ini diceritakan pentingnya perubahan paradigma pendidikan dan relevansinya dengan pengembangan bakat anak dalam menghadapi zaman kreatif. meluruskan kembali mengenai makna belajar dan pendidikan bagi anak Serta mengingatkan kembali 3 pemikiran Ki Hajar Dewantara.

IMG-20171230-WA0001

Pertama: Setiap anak itu istimewa.

Seringkali anak itu diibaratkan seperti tanaman, sama halnya di dalam buku ini anak diibaratkan sebagai benih “benih kehidupan” yang tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya. Namun, sering kali sebagai orang dewasa berlaku seolah lebih benar sehingga membenarkan tindakan kita untuk memaksa anak. Dimana Anak2 harus belajar begitu banyak pengetahuan yang sama sekali tidak diminati, Menjadikan anak sebagai robot. memberikan ganjaran sebagai hukuman atau mengiming-imingi hadiah agar anak mau mengikuti kemauan orang dewasa khususnya orang tua. kadang dituntut harus menjadi ini menjadi itu. Padahal anak sebagai benih kehidupan itu punya karakteristiknya masing masing.

“Benih padi tidak bisa menjadi Tanaman Jagung, Benih jagung tidak bisa menjadi tanaman padi. Sama Halnya Anak. Pendidik bisa menuntut, tetapi tidak bisa mendikte apa yang sudah menjadi kodrat anak” maka dapat dikatakan bahwa anak itu bukan kertas kosong yang tinggal diwarnai oleh orang lain. Anak telah mempunyai gambar dan warna sendiri yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan di dalam buku ini juga diinfokan mengenai penelitian yg dilakukan oleh John Medina- seorang ahli biologi spesialisasi perkembangan otak dalam bukunya 12 aturan cara kerja otak bahwa anak kembar identik dengan pengalaman yang sama pun tak mempunyai susunan otak yang persis sama. Masing2 pasti memiliki karakteristiknya.

Jpeg

Maka kita harus memahami anak, harus mendengarkan anak sebagai masukan untuk merancang pendidjkan yang sesuai dengan anak. Hargai dorongan dalam diri anak dan memberikan stimulasi yg tepat, dan memberikan motivasi internal dalam diri anak. Hal ini karena, Anak bukan kertas kosong.

IMG-20171230-WA0002

Kedua: belajar bukanlah proses memasukkan pengetahuan ke diri anak.

Anak adalah pembelajar alami. Anak belajar bukan dengan mengetahui cara yang benar, anak belajar dengan mencoba atau mengalami sendiri kemudian mengolah informasi dari pengalaman tersebut menjadi pelajaran atau pengetahuan yang penting baginya. ketika beranjak besar, anak mengembangkan kemampuan belajarnya dengan melihat dan mengalami langsung. Oleh karena itu sumber utama keingintahuan anak adalah perilaku orang dewasa (apa yang dilakukan, digunakan, dibuat, dll). Ketika ingin tahu, anak akan bergerak dengan kemauannya sendiri tp ketika diperintah, anak bergerak mengikuti kemauan orang lain.

Jpeg

Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap anak cerdas dan kecerdasan itu tidak seragam melainkan majemuk. Hal ini karena anak tidak sekedar mencari informasi, tetapi mencari informasi yang dibutuhkan dan sesuai kecerdasan majemuknya.

Jpeg

Di dalam buku ini dijelaskan bahwa terdapat delapan kecerdasan majemuk pada anak yang diperkenalkan oleh Howard Gardner dan untuk memudahkan kita dalam mengenali dan mendidik anak.

Jpeg

Jpeg

Ketiga: Pentingnya peran keluarga dalam pendidikan.

Anak adalah pembelajar alami dan merupakan sistem pengolah informasi yg hidup serta aktif dlm memberikan respon, maka perlu peran orang tua untuk bisa mengarahkan, meluruskan dan mengembangkan keistimewaan anak sebagai benih kehidupan. Perlu diingat bahwa perlakuan orang tua hari ini akan berdampak besar secara langsung maupun tdk langsung terhadap anak. Itulah pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, terdapat tiga proses pendidikan dalam keluarga:

  1. Pendidikan dari orang tua: orangtua berperan sebagai penuntun pengajar dan pemberi contoh.
  2. Saling mendidik antaranggota keluarga: anak belajar dari orangtua dan saudara serta sebaliknya.
  3. Mendidik sendiri: anak mendidik sendiri dirinya sendiri sebagai anggota keluarga yang mempunyai peran dan tanggung jawab.

Di dalam buku ini juga dijelaskan bahwa orangtua juga berperan dalam pengembangan bakat anak. Terdapat 4 peran utama orangtua dalam pengembangan bakat anak yaitu menjadi teladan, menciptakan suasana yg inspiratif, menstimulasi anak belajar, dan menyediakan kesempatan belajar.

Orang tua dapat menjalankan semua peran dalam pengembangan bakat anak, dpt pula mendelegasikan peran pada pihak lain seperti lembaga pendidikan. Ketika semua peran dijalankan oleh orangtua, prosesnya disebut sebagai pendidikan rumah (homeschooling). Oangtua bisa memilih sesuai dengan kemamouan fan kondisi orangtua. Apapun pilihannya, tanggung jawab pengembangan bakat anak tetaplah pada orang tua. Walau didelegasikan tetap harus memantau efektivitasnya.

IMG-20171230-WA0004

Jpeg

Pada Bab terakhir buku ini diberikan delapan latihan bagi orang tua yang menumbuhkan bakat anak dan panduan awal pengembangan bakat anak. Selain itu terdapat bonus poster delapan kecerdasan majemuk anak.

IMG-20171230-WA0003

Brain Based Parenting: Mengoptimalkan Pengasuhan Berdasar Ilmu Neuroparenting

51+ABdRS5rL._SX332_BO1,204,203,200_

Sumber gambar: https://www.amazon.com/Brain-Based-Parenting-Neuroscience-Interpersonal-Neurobiology/dp/0393707288

Otak sebagai Sumber Pembentukan Kepribadian dan Perilaku

Mengapa seringkali kita merasa hidup selalu dikelilingi masalah?

Kenapa ada orang yang berperilaku baik dan buruk? Apa yang mendasarinya?

Darimana proses kepribadian itu bertumbuh dan berkembang?

Berbagai pertanyaan tersebut seringkali hadir dalam pikiran kita. Seringkali kita sebagai manusia lupa akan anugerah yang luar biasa yang telah Allah berikan kepada kita. Manusia diberikan potensi akal yang terdiri dari organ otak di bagian tertinggi di tubuhnya yaitu kepala. Otak adalah salah satu organ ajaib, kurang lebih 1500 gr beratnya dari tubuh kita, dengan tekstur lembut seperti kembang tahu, yang dilapis 7 lapisan dalam sel neuron di cortex cerebri (kulit otak) dan 7 lapisan tengkorak – selaput otak terdalam. Dilapisan tengkorak ini  harus menggunakan gergaji khusus untuk membukanya. Jika satu otak dijadikan satu lembar saja niscaya ia akan menutupi lapangan sepakbola, dan jika lapisan itu dibuat lebih tipis lagi niscaya dia akan menutupi seluruh permukaan bumi.

Salah satu model pembagian otak adalah Allo dan Iso cortex didasarkan dari proses embrional dan lapisan neuron yang membangun area otak tersebut. Pembagian ini sering kita gunakan untuk klinik (neurologi/neurosurgery). Untuk non klinik relatif kurang. Apalagi kalau digunakan untuk menerangkan proses berpikir dan beremosi. Allocortex seperti kurang tepat bila kita samakan dengan sistem limbik, meskipun beberapa piranti Allocortex menjadi pirantinya sistem limbik. Demikian juga isocortex, prefontal cortex (PFC), bagian dari isocortex. Amygdala, hypothalamus, thalamus, VTA dan piranti sistem limbik tidak termasuk dalam Allocortex. Otak dibagi menjadi 3 bagian yaitu: batang otak, limbik dalam dan cortex cerebri. Sebenarnya, bukan tidak ada hubungan yang terjadi hanya dominansi allo dan aktivitas neurotransmitter. Kondisi traumatis adalah proses amygdala hijack, menyimpan informasi yg bias sehingga terbentuk false beliefs yg salah terhadap sesuatu.

Apakah pernah selama ini kita mensyukuri karunia dan nikmat memiliki otak ini?. Otak terdiri dari 100 milyar neuron yang siap distimulasi, yang setiap 1 neuron sanggup untuk bersambungan dengan 10.000 neuron yang lain, membentuk koneksi sirkuit bakat, kemampuan, perilaku bahkan pribadi.. Dari keseluruhan kurang lebih 100 onderdil otak, onderdil otak yang mempengaruhi pengasuhan pada anak diantaranya adalah pancaindera, amygdala, ganglia basalis, broca wernick, labus parientalis, hippocampus, insula. Cara menstimulasinya adalah sebagai berikut:

  1. Pancaindera: Stimulasi keseluruhan indera Anak sekaligus ketika memahamkan dan membiasakan sesuatu. Belajar dengan praktek 90% akan lebih diterima otak dibanding hanya melihat atau mendengarkan saja.
  2. Amygdala: Kenalkan emosi dasar (takut, sedih, bahagia, Jijik, Marah), teladankan ekspresi emosi yang baik.
  3. Ganglia basalis: Kemampuan otomatisasi, biasakan anak untuk berbuat baik, dan buat itu menjadi otomatis.
  4. Broca wernick: luangkn waktu untuk dialog dengan anak untuk menstimulasi kemampuan dan pemahaman bahasa.
  5. Lobus parientalis: Masukan imajinasi-imajinasi yang konstruktif, bimbing imajinasinya untuk membuat anak kelak tumbuh menjadi visoner, namun jika kebalikannya justru kita menstimuasi imajinasi yang destruktif, anak akan memiliki sirkuit “rumah hantu” tempat false belief/bias2 berpikir akan mengarahkan kehidupannya kelak.
  6. Hippocampus: tumbuh di usia anak 4 tahun, stimulasi dengan berpikir rasional/kognitif, memilih, menilai, baca dan kalkulasi, ini bekal untuk kemampuannya mengelola stress.
  7. Insula: mengatur stimulus yang diterima indera dan diasosiasikan menjadi harmoni yang baik.

Sedangkan otak yang diperlukan sebagai orang tua yang mengasuh anak adalah PFC, sistem limbic dalam (amygdala), Cingulat, Basal Ganglia. Basal Ganglia. Cara menstimulasinya adalah sebagai berikut;

  1. PFC: tanamkan niat baik, tanamkan bahwa setiap perilaku yang kita tampilkan harus mempunyai tujuan
  2. Sistem limbic dalam (amygdala): latih amygdala dengan kendalikan dorongan emosi, tunda keinginan yang muncul, kaitkan perasaan dengan nilai dan moral yang telah dipahami dalam PFC.
  3. Cingulat: Latih kemampuan penyesuaian diri, dan fleksibilitas dalam menghadapi segala sesuatu sehingga memiliki alternatif pemecahan masalah, kurangi sikap perfeksionis.
  4. Basal Ganglia: Ganti kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang baik. Cukup memerlukan waktu 3 bulan untuk mengubah kebiasaan.

 

Tujuan Brain-Based Parenting

Tujuan dari Brain-Based Parenting sendiri adalah menjadikan anak tangguh, cerdas, dan berakhlaq baik. Untuk mencapai tujuan tersebut harus di lalui dengan berbagai syarat yaitu; otak rasio, otak emosi, otak sensorik dan motorik harus normal. Namun untuk mencapai otak normal, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah;

  1. Nutrisi yang cukup dan tepat. Nutriri yang terbaik dari ikan-ikanan dan kacang-kacangan.
  2. Lingkungan yang sesuai dengan mencari tempat tinggal berdasarkan lingkungan yang baik.
  3. Pengalaman emosi yang membangun dengan memberikan contoh keteladanan dalam mengelola dan mengendalikan emosi dari significant other. Dengan hal tersebut, anak akan mampu mengidentifikasi perasaan hatinya.
  4. Stimulus rasional yang tepat dengan mengajarkan ke anak cara berpikir benar atau berpikir salah dengan, seperti contohnya ; dari kecil ditakuti hantu, kalau jatuh yang disalahkan kodok, dll.
  5. Aktivitas fisik yang sesuai. Anak yang normal adalah anak yang dapat berlari dan memanjat ketika kecilnya.

 

Peta Perkembangan Otak Manusia

Perkembangan otak manusia dapat dibagi menjadi 3 Sesi Peta perkembangan :

  1. Usia 0-7 Tahun

TANGGUH ditumbuhkan dengan menstimulasi otak emosinya : supaya dia bisa mengidentifikasi perasaaannya dan mengelola emosinya:

Caranya dengan memberikan teladan emosi dari orangtua, tularkan beremosi yang sehat..

a). Umur  0-3 Tahun percepatan penyerapan otak manusia bekerja pada usia ini adalah 8x dari orng dewasa, seperti spons, dia akan menyerap seluruhnya air yang ada di sekitarnya. Kekejian yang biasa dilakukan orangtua pada usia ini adalah ketika anak dilabel negatif dan buruk, dia akan menganggap 8 kali lebih buruk dari apa yang kita sampaikan kepadanya. Stimulasi yang baik pada Otak emosi ketika bayi adalah pembiasaan yang ditampilkan oleh orangtuanya, yaitu: tatapan mata yang teduh, intonasi suara yang terkendali, detak jantung yang tenang, hembusan nafas yang nyaman, keringat yang normal.

(b). 3-7 Tahun percepatan penyerapan otak manusia berkurang pada usia ini menjadi 5x dari orng dewasa. Saat periode ini kejar perkembangan :  50% kemampuan emosi, 40% kemampuan kinestetik dn psikomotor, 10% kemampuan kognitif/Rasio.

  1. Usia 7-14 Tahun

CERDAS ditumbuhkan dengan menstimulasi otak PFC (prefrontal Cortex)nya. Caranya dengan masukan ilmu yang benar, nilai dan moral melalui dialog dua arah, luangkan waktu untuk membimbing rasionalitasnya. Tanamkan disiplin dan pengaturan diri, hubungan sebab akibat yang benar, ajarkan makna kebaikan.. Percepatan penyerapan otak manusia bekerja pada usia ini adalah 3-4x dari orng dewasa.  Saat periode ini kejar PERKEMBANGAN :  30% kemampuan EMOSI, 20% kemampuan kinestetik dn psikomotor, 50% kemampuan kognitif/Rasio.

  1. 3. Usia 14-21 Tahun

ASAH JATI DIRI  Dampingi konsistensinya dalam kebaikan dan berakhlaq baik. Percepatan penyerapan otak manusia bekerja pada usia ini adalah 2x dari orng dewasa. Saat periode ini kejar PERKEMBANGAN :  30% kemampuan EMOSI, 5% kemampuan kinestetik dn psikomotor, 65% kemampuan kognitif/Rasio.

 

 Hal Yang Harus Dilakukan Oleh Orangtua

Kenapa kita senantiasa merasa menghadapi banyak masalah dan muncul keputusasaan dalam mengasuh anak? Hal ini terjadi karena tidak terlatih dalam kemampuan berpikir. Boleh jadi kita berpikir setiap hari namun pikiran yang kita munculkan hanya bersifat instingtif/naluriah belaka, bukan berpikir yang terlatih. Berpikir dengan Insting merupakan berpikir “daya hewani” lebih banyak menggunakan sistem limbic (mengutamakan perasaan dan emosi) , dibandingkan dengan berpikir terlatih yang menggunakan Prefrontal Cortex (mengutamakan nilai, kedalaman ilmu, moral).

Berlatih untuk memiliki BERPIKIR yang TERLATIH adalah dengan :

  1. Cari terus ilmu
  2. Kelola informasi dengan baik
  3. Hilangkan bias-bias negative/false belief- Latih berpikir kritis dan berpikir kreatif

 

Kemampuan yang Harus Dimiliki Orangtua yang Akan Tertular Kepada Anak :

  1. Ketrampilan kalkulatif : kemampuan memprediksi, mengira dan menghitung baik dan buruk suatu aktivitas dilakukan
  2. Kemampuan Komunikatif : kemampuan yang bukan hanya berbicara tapi bisa berbahasa
  3. Kemampuan analitik dan kreatif : proses berpikir yang menggunakan kemampuan kreatif dan analitis sekaligus dalam memecahkan persoalan yang ada
  4. Motivasi dan pengendalian diri : dasar kemampuan yang dapat mengelola emosi dan mengaktifkan berpikir yang benar.
  5. Kemampuan memilih dan memutuskan : kemampuan mengeksekusi keputusan yang diambil untuk menghindari rasa ragu dan plinplan
  6. Kemampuan fisik : memenuhi nutrisi dan aktivitas fisik yang mencukupi

Tak cukup dengan otak normal yg membuat kita hidup, tapi kita harus memiliki otak sehat, yg membuat kita menjadi “manusia”. Otak sehat memiliki 3 komponen yaitu otak yang normal (memiliki keterampilan berpikir + pemahaman dan pembiasaan konsep2 agama  dan spiritual). Otak yang sehat menghasilkan pikiran dan perilaku dan kepribadian yang sehat. Otak memiliki kemampuan untuk menyehatkan dirinya sendiri melalui:

 

Perbaikan Berpikir dan Latihan-Latihan secara Intens dan Permanen (Istiqomah dan Istimror)

Fitrah otak bagian Prefrontal Cortex adalah fitrah kebaikan…Semasa pembuahan zygote sudah terinstall nilai kebaikan-kebaikan didalam otak kita. Jika ada ketidakbenaran yang dilakukan maka reaksi tubuh akan destruktif (Prof. Donald W.Puff : dlm bukunya Foreplay) False Beliefs yang dipahami seseorang akan menjadi benturan terhadap Nilai kebaikan yang sudah ada. False Beliefs itulah yang membuat seseorang mengambil keputusan atas permasalahan yang dihadapi dipastikan berdasarkan emosinya, Amygdala meng-hijack Prefrontal cortex agar nilai kebaikan ditinggalkannya dalam membuat keputusan dan mendahulukan sesuatu yg alih-alih rasional namun nyatanya emosional. Ketika kudeta amygdala ini respon yang akan kita tampilkan adalah respon darurat, Reaktif dan tanpa pilihan yaitu: Menyerang/FIGHT, dan Kabur/FLIGHT Dan ketika ini terjadi otak bekerja dalam kondisi yang tidak sehat dan dipastikan akan terjadi kondisi destruktif secara fisik. Jika ini terulang terus maka jadilah habit/kebiasaan. Nilai kebaikan sebelumnya akan perlahan ditanggalkan, jadilah Amygdala menguasai hidupnya. Saat itulah dikatakan, kondisi otak yang tidak sehat. Begitupun untuk false beliefs yang lainnya. Maka selalu berupaya meng-install otak kita dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, akan menyehatkan baik otak maupun fisik kita. Hal yang perlu menjadi perhatian dan diperbaiki dalam beremosi adalah:

  1. Cakap emosi (caranya : kenali emosi, kelola emosi, tanamkan dan biasakan empati) hal ini akan mengendalikan otak amygdala kita. Memendam emosi dan memuntahkannya sama-sama merusak otak, Yang betul adalah KELOLA EMOSI.
  2. Tanamkan pikiran positif dan banyak menggali ilmu dan hikmah dimanapun berada hal ini akan menyambungkan dan memperkaya otak kognisi kita dibagian prefrontal cortex.
  3. Latihan dan biasakan selalu respon yang positif terhadap sesuatu, sehingga terjadilah pemecahan masalah yang tepat.
  4. Temukan selalu hal-hal yang menjadi stimulan destruktif/merusak dlm pikiran kita
  5. Gantilah berbagai keburukan yang telah kita lakukan dengan kebaikan-kebaikan.
  6. Tanamkan tujuan untuk mencapai kemuliaan dalam hidup, baik didunia maupun diakhirat selalu memiliki tujuan ketika melakukan segala sesuatu–> tanamkan niat kebaikan atas apa yang akan kita lakukan.
  7. Latih dan biasakan terus untuk bermanfaat bagi orang lain.

Anak usia 0 hingga 3 tahun mulai belajar melalui apapun yang dilihat dan didengarnya dan juga belajar merespon melalui respon sekitarnya. Sehingga orangtua perlu memprogram beberapa hal mulai dari ekspresi wajah, gesture, intonasi, karena anak belajar bukan dari bahasa yang disampaikan oleh orang tuanya namun memaknai apa yang ditampilakn baik di wajah maupun suara. Saat usia tersebut, otak emosi berbinar-binar dan matang serta siap untuk distimulasi. Sehingga orang tua harus menampilkan emosi positif  kepada anak karena pada usia tersebut, basic pemahaman adalah senang dan tidak senang. Sehingga perlu distimulusu untuk senang berbuat baik dan dilakukan secara berulang-ulang. Cara mengenalkan emosi dengan benar adalah dengan mengenalkan emosi dari muka kita secara langsung seperti mengajarkan nama beserta tampilannya. Jika pada anak usia ini pernah mengalami pengalaman buruk, pada dasarnya anak itu gampang dialihkan memorinya, tergantung dari apa yang sering diulang. Apa yang dimaknai oleh anak tergantung dari respon kita sebagai orang tua dengan mengganti respon negative menjadi respon positif. Jika kepalang terpengaruh pada aktivitasnya, ajak anak nyaman terlebih dahulu dengan dirinya, kenali bagaimana ia memaknai hal-hal buruk yang menimpanya, arahkan untuk acceptance kondisi yang telah terjadi, namanya sudah terjadi dan ajak untuk mengenali hal-hal yg beremosi positif, untuk mengalihkan memorinya kepada yang lain, perlahan-lahan untuk move-on.

Allah telah memberikan karunia potensi pada setiap manusia  berupa wadah masing-masing. Wadah tersebut ada yang besar, sedang, kecil, namun wadah itu kosong sehingga tugas orang tua adalah mengisi dan memfungsikan secara optimal. Stimulasi intelegensia optimal hingga umur 15 tahun. Sehingga, jika ingin anak lebih meningkatkan kemampuannya perlu dilakukan stimulasi dari segala inderanya. Jangan berpikir waktu yang akan menjawabnya tanpa orangtua memberikan treatment perbaikan. Pada usia 15 hingga 21 tahun, anak tetap bisa distimulasi karena otak kognitif baru matang di umur 20 sd 21 tahun. Lewat dari umur tersebut, manusia tetep bisa berubah karena fungsi plasticity dari otak. Namun syarat utamanya adalah kemauan untuk berubah harus ada. Jika anak memiliki keterbatasan pada intelektual, yang perlu distimulasi adalah bagian emosinya, kalau kognitifnya hanya sampai batas “mentoknya” saja. Dalam hal ini dapat dikatakan anak memiliki otak yang ‘kurang’ normal sehingga perlu dikejar agar memiliki otak sehat dengan melatih rasional atau berpikir jernih dan tingkatkan nilai-nilai moral kebaikan agar dapat berpikir jernih adalah kendala emosi.

 

Bagaimana jika anak yang sejak kecil ditanamkan persepsi untuk takut?

Terdapat beberapa kasus, banyak anak yang sejak kecil ditanamkan persepsi untuk takut pada dokter, jarum suntik atau obat-obatan. Pada dasarnya menakut-nakuti membuat anak menjadi rusak kenormalan otaknya, karena tidak mengikuti poin membangun rasionalitas yang benar. Hal ini yang harus dibenarkan. Hal yang dapat dilakukan oleh dokter yaitu setiap bertemu dengan pasien anak yang takut dengan dokter, perlu diajak ngobrol dulu oleh dokternya sambil menawarkan permainan. Fungsikan otak rasionalnya untuk mengnangkis amygdalanya. Dokter juga perlu meluangkan ngobrol dalam rangka mengkonfirmasi terlebih dahulu pemaknaaannya selama ini. Dokter harus menerima kondisinya dengan respon wajah yang sumringah, antusias, banyak tersenyum. Setelah ada perubahan sedikit saja dari wajah anak, dokter baru bisa melakukan tindakan sambil terus ngobrol agar PFCnya aktif terus. Setelah selesai proses pemeriksaan, berikan apresiasi, pujian dengan sepenuh hati dan berikan hadiah. Proses ini memerlukan waktu yang cukup lama. Orientasi  proses ini bukan pada penyelesaiannya tugasnya namun pada membahagiakan manusia. Penyuluhan agar anak-anak tidak takut pada dokter idealnya dilakukan kepada anak usia 0-7 tahun. Karena pada momen ini yang menentukan awal  suka atau tidak suka, benci atau cinta. Diatas 7 tahun diberikan pengetahuan kesehatan lebih dalam lagi.

 

Jika ingin mendidik anak menjadi penghafal Al-Qur’an, bagaimana teknis stimulasi otak sesuai dengan tahapan brain based parenting?

Usia awal 0 sd 7 tahun menghapal dengan otak emosi, dia suka atau tidak suka, dia cinta atau tidak cinta. Sehingga sebelumnya tumbuhkan cintanya karena sesungguhnya ayat-ayat cinta akan menyelusup pada penciptaNya. Dalam tema cinta ini, kemudian masuk sisi menguatkan aqidahnya dengan resep suka dan cinta tadi. Jadi sambil menghapal sambil teguhkan lagi. Masuk kemudian ke bagian sisi adab, bahwa pembiasaan kita dekat dengan apa-apa yang dicintaiNya perlu dijaga adab-adabnya. Hafalkan saja, sebanyak2nya dengan senang. Kemampuan belajarnya diusia ini 8x orang dewasa. Setelah usia 7  sd 15 tahun, PFC berbinar siap diberi makan ilmu yang mendalam. Ajak dalami pahamnya pada tiap ayatNya, tambahkan hadistnya. Maknai dengan segala peristiwa yang nyata, banyak diskusi, gali pahamnya, sambil terus kuatkan hafalannya. Teknisnya, anak mengulang minimal 20x 1 ayat.. target sepekan hapal 5 halaman di jumat mengulang halaman baru yg dihapal dan murojaah 1 juz sebelumnya.

 

Bagaimana caranya mengubah perilaku anak yang emisionalnya sangat berlebihan dan susah di control? Salah satu contohnya seperti marah yang berlebihan saat di tegur.

Ketika ditegur marah, ia hanya menggunakan pikiran otomatisnya yang sudah berpola dan terbiasa, otak hanya tinggal me-retrieve cara meresponnya. Untuk mengubahnya maka ubah dulu stimulusnya, cara kita menegur di otak anak akan mencari cara baru untuk meresponnya. Prinsipnya stimulus emosi akan di respon emosi, karena emosi mudah menular. Aktifkan menegur dengan mengaktifkan kognitif, dengan mengaktifkan fungsi bahasa mngaktifkan lobus parietalis dengan memberikan imajinasi visioner, ajak anak membayangkan yang membuatnya termotivasi. Caranya dialog, konfirmasi apa yang dimaknai anak, tarik ulur, dengarkan, dengarkan, arahkan. Prosesnya lama dan perlu diluangkan, jangan melulu ingin instan, karena proses itu menentukan. Bekal untuk hidupnya.

 

Pada sebuah kasus di rumah singgah, ada seorang anak perempuan berusia 6 tahun yang baru bergabung di rumah singgah karena bapaknya baru saja meninggal 1 bulan yang lalu. Sampai saat ini sang ibu belum memberi tahu sang anak kalau ayahnya sudah meninggal, ibunya hanya bilang bapaknya pergi ke Madura  belum pulang. Sang anak kerap menangis dan menanyakan ayahnya. Bagaimana menghadapi persoalan tersebut?

Ini adalah bagian dari hard conversation full emotion. Ajak dialog, sampaikan bahwa bunda akan ceritakan sesuatu yg berat untuk bunda juga berat untuk kamu. Ajak tanya jawab tentang apa yang ia pahami mengenai manusia, tentang kehidupan, kita itu milik siapa, di dunia itu ada step by step perjalanan, ada saat dilahirkan ada saat dimatikan.  Ketika masuk poin kematian, Arahkan bahwa kematian adalah sesuatu yang wajar. Kuatkan bahwa kematian bukan akhir, bahwa kita dikumpulkan kelak.bersama yang kita saying. Arahkan untuk banyak-banyak berbuat baik, agar dikumpulkan juga dengan orang-orang baik, termasuk ayahnya. Jaga tone, jaga gesture, otaknya akan maknai bukan hanya bahasa tapi juga ekspresi dan suara kita. Konfirmasi lagi pemaknaanya, tanya perasaannya, nilai berapa sedih misalnya 1 sd 10. Pahami bahwa sedih boleh, tapi seiring waktu dia akan berkurang, karena jika lebih sedih lagi, ayah akan kesusahan disana. Peluklah anaknya, kemudian ajak ke kuburan ayahnya.

 

Apakah PFC berusia matang ketika berumur 25 tahun?

PFC matang diusia 20 sd 21 tahun. Umur 4 tahun sudah mulai berfungsi, 6 hingga 7 tahun mulai bisa diasah, asupi ilmu dan nilai yang benar terhadap sesuatu, ajak berpikir, kenali lebih dalam petunjuk-petunjuk hidup. Asupan PFC sebelum matang harus optimal. Ketika matang dia siap menggunakan dengan tepat.

 

Apakah gerakan sujud ketika shalat secara saintifik bisa berdampak pada PFC?

PFC ada di kening dan belakang mata, sujud melancarkan peredaran darah. Arah pembawa oksigen, energi otak dari oksigen. Otak yang berenergi akan powerfull. PFC adalah direkturnya otak, ketika dipimpin dengan sumber powerfull adalah upaya kita menjadi   sebaik-baiknya manusia

 

Bagaimana caranya mengajarkan anak soal interaksi dengan dunia luar (seperti lingkungan, teman tetangga) dan soal mempertahankan/melindungi diri sendiri?

Masukkan persepsi dan pemahamannya dulu tentang lingkungan, kondisi-kondisi yang berbahaya apa saja dan berikan tools untuk menghadapi bahaya. Semuanya dilakukan step by step, latihan dengan role play, tes pemahaman anak, dan ulang secara terus menerus.

 

Bagaimana teknis mengoptimalkan basal ganglia untuk membiasakan kebiasaan baik, yg berhubungan dengan aktivitas fisik dan aktivitas non fisik?

Basal gangglia bekerja dengan sebab akibat. Mengulang-ulang perbuatan baik akan mengasah otomatisasi. Seimbangkan dengan PFC jika sudah diatas 7 tahun menjadikan otomatisasi lebih bermakna karena ia paham nikmatnya berbuat baik. Anak diberikan kesempatan belajar sholat, kondisikan ketika sebelum adzan. Berikan awareness ketika medengar adzan, termasuk menjawab adzan perkata mulai balita. Berikan hadiah jika sholatnya bagus dan dia akan merasa senang. Lakukan berulang-ulang secara otomatis dia akan sholat ketika adzan setelah pengulangan dilakukan minimal 3 bulan intensif.

Belief system yang membangun kepribadian manusia, berasal dari memory yang masuk karena kita memberikan atensi terhadap stimulus tertentu. Tapi tak jarang bahkan seringkali kita menangkap stimulus dengan bagian otak emosi negatif, jika ini dilakukan berulang maka jadilah pribadi yang kelak berpotensi memiliki gangguan. Kapan pribadi itu terbentuk? Seiring ia bertumbuh saat kita berkesempatan merawat, membina, melatihnya. Anak, amanah yang kelak kembali dipertanggungjawabkan. Semoga kita diberi kekuatan menjadi orangtua yang mulia dengan keturunan yang dimuliakan, Pemilik segala.

 

 

(21 Desember 2017, Diskusi FC#4)

Pemantik     : Ani Khairani, M.Psi, Psikolog (Direktur UNIK.Edu+ Educational Psychological Consultancy, Aktivis gerakan Indonesia Beradab, Pemilik Khalifah Childcare Tapos Depok)

Notulis         : Dian Novita Fitriani FIM 15

Moderator   : Anindya FIM 17

 

 

 

 

 

Parenting Mengapa Penting?

featured-parenting

Bobo doll experiment dari Albert Bandura menggunakan dua kelompok anak usia dini, kelompok eksperimen diberi tontonan kartun dengan kelompok kontrol tanpa perlakuan apapun. Hasilnya adalah anak yang mendapat tontonan menjadi lebih agresif dibandingkan anak pada kelompok kontrol. Proses ini menggelitik dan menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa tidak ada satu kelompok anak yang menonton dengan dampingan orang tuanya?
Bukankah menjadi orang tua memerlukan jawaban “how”. Jika dokter, pilot, bahkan tukang jahit diajarkan keahlian tentang bagaimana menjalankan perannya, bagaimana dengan orang tua?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas orangtua mengasuh anaknya dengan “learning by doing” lalu apa bedanya dengan “trial and error” ?
Apakah artinya menjadi orang tua tidak perlu persiapan? Apakah bila nanti tiba saatnya, maka berarti it’s time to practice. Dan pada saat itu saya melakukan riset sederhana dan mendapatkan hasil bahwa 83% ibu yang sudah memiliki anak mengaku bahwa mereka baru mempelajari hal seputar pengasuhan anak ketika sudah tau akan punya anak (mengandung), dan sisanya baru mempelajari hal seputar pengasuhan setelah melahirkan anak.
Menjadi seorang pengasuh, menjadikan kita menjadi seorang pembelajar, karena seandainya jika ada seseorang yang sudah ikut pengajian parenting berkali-kali, lalu kuliah dengan jurusan psikologi sampai dengan master, lalu apakah secara otomatis dia akan siap menjadi orangtua? Tentunya tidak. untuk itulah mengapa kita kita sama-sama belajar menjadi orangtua
Mengapa mengasuh harus disiapkan dari sekarang? karena anak adalah tanggung jawab terbesar yang dititipkan Allah dan akan diminta pertanggungjawabannya. Dari sudut pandang Islam, tertulis dalam QS An-Nisaa: 9 yang artinya:
“Dan hendaklah takut orang yang meninggalkan dibelakang mereka, anak-anak keturunan yang kalian khawatir terhadap mereka. maka bertakwalah pada Allah dan berkata yang benar/jujur.”
dan hendaklah takut, siapa? ‘orang yang meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah’ apa yang dimaksud dengan lemah? ayat ini terselip diantara ayat-ayat tentang mawaris (pewarisan) yang menjadi banyak orang salah tangkap, anak-anak lemah karena tidak ditinggali harta yang cukup. Tapi yang dimaksud lemah sebenarnya adalah lemah karena tidak memiliki kesiapan untuk menghadapi tantangan zamannya. ‘Maka bertaqwalah, dan ucapkan kalimat yang benar, kalimat yang jujur’ bagaimana kita bisa mengucapkan kalimat yang benar, jika tidak ada ilmu mengenai hal itu? Seperti apa makna ‘berkata benar’ itu? ingat, berkata benar berarti mencakup segala perkataan perilaku dan keputusan yang kita berikan kepada anak kita.
Jika tanpa ilmu, tanpa sadar kita bisa mengatakan hal yang tidak benar terhadap anak kita. Sebagai contoh jika suatu saat seorang ibu menghadapi anak balitanya yang jatuh ketika lari-lari, lalu ia kesakitan, ia bisa saja mengatakan.. ‘Gapapa ini, besok juga sembuh..’ yang ternyata besok harinya si anak mendapati lukanya masih sakit. ‘Oooh ini mejanya nakal..sini ibu pukul mejanya’ yang membuat anaknya mudah menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dia perbuat sendiri ‘Alaaah gapapa itu sakit segitu aja, udah gapapa jangan nangis..’ yang membuat anak menjadi tidak memiliki empati kepada orang lain Suatu saat jika ibu harus pergi dari rumah lalu anaknya nangis, kemudian dititipkan pada pembantunya atau neneknya lalu dialihkan perhatiannya lalu ibunya pergi. Suatu saat jika ingin menyuapi anaknya makanan sehat lalu anaknya tidak mau makan, lalu mengelabui dulu ke gelas teh yang manis, tapi padahal isinya asin? yang ternyata membuat si anak menganggap ‘boleh berbohong’ jika tujuannya untuk kepentinganmu. Suatu saat ketika kita sedang sibuk dengan urusan pekerjaan lalu anak balita kita rewel, lalu kita berikan handphone di usia balita? yang ternyata membuat si anak lebih lekat kepada gadget dibandingkan dengan orangtuanya.

Pengetahuan mengenai cara berkata yang benar harus kita siapkan sejak sekarang, Benar perkataan, sikap, perbuatan, dan keputusan. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah memerintahkan para pemuda yang sudah ‘mampu’ untuk menikah.. mampu disini bukan hanya mampu bayar rumah kontrakan, atau mampu beli rumah, beli kendaraan atau mampu bayar sekolah anak. Mampu disini adalah sadar dengan pernikahan tersebut kita akan menghasilkan keturunan dan harus mampu untuk mengasuh dan mendidik keturunan tersebut. Bagi yang laki-laki, konsekuensi dari pernikahan berarti akan memimpin rumah tangga. Sejauh mana kita sudah siap jadi pemimpin dalam rumah tangga? Bagi para perempuan, konsekuensi dari pernikahan adalah untuk tugas perempuan sederhana, cukup taat pada suaminya. Tapi mudahkah merendahkan ego untuk taat kepada suami?

Perkara mendidik keturunan saat ini menggaris bawahi gap generasi di masyarakat sebagai jawaban dari alasan menyiapkan kemampuan mengasuh sebelum menikah. Generasi Y adalah generasi transisi antara X dan Z, sedangkan generasi Alpha, generasi mendatang, sudah harus beradaptasi dengan 4 tantangan utama mengasuh anak, sebagai berikut;
1. Gap generasi, Recovery masa kemerdekaan RI membuat sebagian besar orangtua dikala itu (generasi baby boomers dan gen X) memiliki mindset bahwa jika anak mau sukses, maka anaknya harus mengisi pos-pos industri sehingga orientasi target akademis tinggi pada anak-anaknya. Kita generasi Y dibekali dengan pendidikan setinggi-tingginya tapi ternyata tidak dibekali dengan kemampuan mengasuh anak, bahkan mindset yang lazim dimiliki masyarakat hari ini adalah “mengasuh adalah hal natural yang nanti akan juga bisa didapatkan seiring dengan berjalannya waktu” ini sama dengan istilah yang sudah disinggung diawal ‘learning by doing’ dan ‘trial and error’. Akhirnya, bagi generasi Y cita-cita yang terbersit akan ada seputar menjadi dokter, pilot, guru, dan insinyur dibuktikan anak-anak pada jaman ini disibukkan dengan kegiatan akademis, Sekolah – PR – Les – Sekolah – PR – Les dst.
2. Ketika tidak memiliki kesiapan mengasuh, kita akan cenderung menggunakan cara pengasuhan hasil observasi dari lingkungan terdekat. Misalnya kita akan menggunakan kembali cara mengasuh yang digunakan oleh orangtua kita dulu walaupun kadang kala ada beberapa sisi yang tidak kita sukai, (sering dimarahi, sering dibandingkan, mudah diremehkan, terlalu kolot, pemikiran yang kaku dll) tapi rupanya secara tidak sadar kita mengulangi hal tersebut jika tidak memiliki pengetahuan bagaimana cara merubahnya. Bukan bermaksud menyalahkan cara pengasuhan orang tua kita dahulu, tapi itulah cara terbaik yang bisa mereka lakukan di zamannya, ingat! di zaman orangtua kita parenting belum marak seperti sekarang. Nah, ketika menggunakan cara pengasuhan orangtua kita dulu terhadap anak kita, ini menjadi masalah tersendiri karena kita akan mengasuh generasi Alpha! yang pola pikirnya, gaya hidupnya, tantangan di zamannya akan sangat berbeda dengan jaman orangtua kita dahulu. apa yang terjadi jika gaya pengasuhan Gen X, dipakai untuk mengasuh generasi Alpha? ini menyebabkan terjadi kesenjangan generasi yang bisa menyebabkan pola asuh kita tidak optimal.
3. Generasi Alpha adalah generasi Digital native, yang sejak kecil sudah mengenal teknologi. Sehingga mereka sekarang hidup, belajar, bergaul, bahkan bernafas dengan internet. Tantangan mengasuh menjadi semakin besar dengan terjangan arus bebas informasi yang dapat diakses oleh anak kita kapan pun dan dimanapun. perlu diketahui, di masyarakat kita (Indonesia) terjadi satu fenomena yaitu Gegar budaya (cultural shock) yaitu ketika teknologi berkembang sangat cepat, tidak dibarengi dengan kemampuan para orangtua untuk mendampingi anaknya mengenal teknologi dengan baik. Akhirnya muncul dua tipikal orang tua; orangtua permisif, adalah orangtua yang membiarkan anaknya kenal teknologi sendirian tanpa pendampingan, tipikal orangtua ini menyebabkan anak terpapar hal-hal negatif yang ada di internet. Tipikal kedua adalah orangtua parno, yang menganggap internet adalah berbahaya dan akhirnya menutup akses anaknya dengan teknologi/internet yang mana lebih berbahaya karena menyebabkan anaknya mencari teknologi sendirian dan terjadi kesenjangan dengan orangtuanya. Inilah beberapa data dan fakta yang terjadi di masyarakat kita akibat gegar budaya dengan teknologi. 1. Sebanyak 95 dari 100 anak SD mengaku sudah pernah melihat pornografi (terbukti dengan riset tim edukasi Kakatu setiap kali melakukan edukasi di sekolah). di tahun yang sama, menunjukan bahwa 4,3 juta situs porno dibuat setiap harinya. jika dulu orang harus mencari pornografi jika ingin melihatnya, sekarang pornografi yang mencari anak-anak kita dengan agresif. 2. Pembentukan dopamin (hormon yang membuat seseorang merasa senang) di golden age terstimulasi oleh gadget sehinggal kelekatan anak kepada gadget melebihi kelekatan anak kepada orangtuanya. 3. Adiksi games sampai dengan total penggunaan gadget yang tidak wajar, data terparah yang pernah kami dapatkan adalah anak-anak SD di kota Bandung ada yang masih main HP sampai jam 4 pagi. jika tidak sigap dengan tantangan mengasuh di era digital, anak-anak hari ini terancam: BLAST (Bored, Lonely, Afraid,Angry, Stress, Tired) hidupnya membosankan, kurikulum di sekolah menjadi semakin berat, ditambah lagi dengan tuntutan orangtua harus les, Kesepian, tidak ada teman cerita, komunikasi orangtua dengan anak buruk, Afraid Angry, Stress dan Tired (kelelahan). Anak-anak BLAST sangat rentan terhadap bullying, peer pressure, konten dan value yang tidak baik, sasaran empuk pebisnis pornografi, dan budaya hidup tidak sehat. padahal anak-anak yang akan kita besarkan hari ini dan 87 juta anak lainnya akan mengisi semua posisi pemimpin di negeri ini di tahun 2045, 100 tahun kemerdekaan Indonesia ada yang jadi dokter, guru, peneliti, birokrat, menteri, bahkan presiden. Bisakah kita bayangkan apa yang terjadi di negeri ini jika generasi penerusnya terancam BLAST? Salah satu dari 87 juta anak itu adalah anak kita. Yuk kita sama2 belajar mengasuh anak (parenting) dari sekarang. Sadari bahwa anak kita adalah amanah. Bayangkan jikalau kita dititipkan satu buah benda berharga oleh seorang presiden, apa yang akan kita lakukan? Pastinya kita akan menjaga barang tersebut dengan sangat hati-hati. Bahkan jangan sampai ada satu gores pun pada benda tersebut. Sekarang kita akan dititipkan seorang anak oleh yang maha memiliki alam semesta, dalam keadaan baik-baik, dalam keadaan suci, seberapa kali lipat kita harus berhati-hati menjaga titipan tersebut? Jangan sampai kita mengembalikannya atau mempertanggungjawabkannya dalam keadaan yang rusak. untuk menutup sesi awal ini, mengutip perkataan sayyidina Ali bin Abi Thalib, Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena ia hidup di zamannya, bukan di zamanmu
Tanya jawab
1. David
1.Bagaimana solusi mengatur kebiasaan anak di sekolah dan dirumah? Aturan, pengawasan dirumah dan di sekolah tentu ada perbedaan. Misal : gadget di sekolah dilarang, dirumah boleh dengan pengawasan orangtua. Jikalau anak protes, karena membandingkan teman sebaya di sekolah bebas menggunakan gadget di rumah dan ayah/ibunya ketahuan anaknya sering main gadget online?
2. Bagaimana merubah tabiat anak jalanan yang masuk remaja untuk diajarkan akhlak? Padahal akhlak idealnya sudah diajarkan pada anak-anak usia balita/sebelum remaja.
~ Bagiamana mengatur kebiasaan anak menggunakan gadget, salah satu caranya adalah dengan membuat kesepakatan diawal. Artinya saat awal anak mulai memegang gadget, bentuk kesepakatan contohnya seperti mau lihat apa, mau main berapa lama, dan waktu selesai bermain. Kesepakatan ini dilakukan sebelum memberikan gadget ke anak. Jika anda membelikan gadget pribadi ke anak ada tiga hal yang perlu didiskusikan:
1. Diskusikan kebutuhan, butuh gadget untuk apa? Jika butuh gadget untuk komunikasi dengan orangtua dari sekolah cukup handphone yang bisa menelfon dan sms saja. Jika butuh gadget untuk membantu tugas sekolah, tidak perlu handphone (HP) canggih seperti Samsung 7, Iphone 7, dan HP dengan spesifikasi tinggi lainnya. Jika butuh HP untuk bermain game, masuk ke tahapan diskusi berikutnya
2. Diskusikan resikonya, diskusikan kepada anak terkait resiko yang akan dia hadapi ketika menggunakan gadget dan internet (resiko kecanduan, resiko konten negatif, dan adab-adab berinteraksi). Bayangkan jika kita sedang mengajari anak kecil naik sepeda, apa yang dia rasakan? Cemas, was-was, khawatir lalu kita akan mengatakan kepada anak untuk berhati-hati, memberi berbagai wejangan; hati-hati jaga keseimbangan, nanti ada polisi tidur, hati-hati banyak motor, dsb. Sama halnya ketika kita memberikan sebuah gadget, anak perlu tau resiko yang akan dia hadapi supaya menghindarinya.
3. Diskusikan tanggungjawabnya, diskusikan tanggung jawabnya ketika terlanjur terkena resiko yang sudah diberi tahu.

Sebuah tips menarik yang bisa kita contoh, seorang ibu di US membuat surat perjanjian dengan anaknya sebelum memberikan gadget, salah satu bunyinya seperti ini;
“Mama berikan HP untuk kamu, tapi HP ini milik mama, kamu boleh menggunakannya untuk menunjang kebutuhan sehari-hari kamu. Karena HP ini milik mama, sewaktu-waktu mama mau lihat atau mama mau ambil, kamu harus mengizinkannya.”

Cara ini bisa digunakan untuk mengantisipasi kasus orangtua yang kesulitan mengakses HP anaknya karena diberi ‘password’ dan alasan privacy.
2. Mila Jovovich
Kalau baca materi, semacam sesuai sama candaan teman-teman saya jaman SMA yang intinya anak-anak itu hasil trial and error orangtua,, hehehe … Tapi setelah dipikir serius, mungkin ada benarnya. Anak pertama mungkin udah jadi semacam “korban” trial and error supaya orang tua bisa belajar untuk adik-adiknya. Nah disini emang sih ada aja teman-teman saya yang lebih bermasalah dibandingkan adik-adiknya, atau kakak-kakaknya. Secara keilmuan kondisi begini benar nggak ya? Atau asumsi aja? Hehehe… ada yang jusru belajar dari pengalaman itu dan jadi orangtua yang lebih baik, tapi ada juga yang menurunkan pola didik yang kurang baik ke anak-anaknya. Pertanyaan saya, buat yang sudah terlanjur dapet pola asuh yang kurang baik, dirinya perlu melakukan apa supaya nggak menurunkan pola didik yang sama ke anak-anaknya? Atau saya sebagai sahabatnya, bisa melakukan apa supaya anak-anak mereka nggak menjadi generasi hasil trial and error lagi?
~ Perbedaan hasil pola asuh anak pertama dan anak kedua dst bisa jadi adalah salah satu indikasi dari kekurang siapan orang tua untuk mengasuh, jadi betul-betul ‘trial and error’ padahal mengasuh anak kan tidak bisa diulang kembali, kalau ingat slogan salah satu produk minyak kayu putih “Buat anak kok coba-coba”
Tapi, tidak ada kata terlambat untuk menyadari pentingnya pola asuh apa yang akan kita berikan ke anak kita nanti, selama seseorang mau belajar memahami diri dan belajar menghadapi tantangan. Kuncinya terdapat pada 2 hal itu tadi; SADAR dan TAU. Sadar bahwa perlu belajar mengasuh anak, sadar bahwa ada tantangan pengasuhan yang semakin banyak seiring dengan perkembangan zaman, dan tau apa saja yang perlu dilakukan untuk membekali diri sehingga bisa mengasuh anak dengan baik. Jika memang ada ‘karakter’ yang tidak bisa lepass akibat dari pengasuhan orangtua terdahulu, kita bisa ikut pelatihan ‘forgiveness therapy’ atau ‘healing innerchild’
Mila Jovovich
Sayapun mungkin bungung mau ngapain kalau nanti punya anak. Teman saya bahkan ada yang sampai menangis ketika menyusui karena tidak tahu harus ngapain. Sarannya akan saya jadikan referensi
~ Ada beberapa hal yang bisa disiapkan secara konkret untuk mempersiapkan kemampuan mengasuh, kita bahas pasca sesi tanya jawab.
Innerchild sederhananya adalah sosok anak kecil yang berada dalam diri kita. Ada orang yang innerchild nya baik ada juga yang kondisinya buruk atau bisa dikatakan trauma.
Sebagai contoh:
Prankk!!! (terdengar suara gelas pecah). “Kok dipecahin sih gelasnya?!!” Semua kata-kata negatif terlontar pada anak kecil yang sedang bermain dan tak sengaja menyenggol gelas di sebuah meja. Gelas seakan jauh lebih mahal dibandingkan harga diri anak. Sebenarnya, orangtua juga memahami bahwa anak jauh lebih mahal daripada gelas. Tapi entah mengapa emosi pad situasi itu tidak terkendali sehingga dengan agresifnya orangtua memarahi anaknnya sendiri. Masalah seperti itu sering terjadi karena innerchild kita msih bermasalah. Masalah mood dan emosi seperti kecewa berlebihan, bimbang, agresif bahkan seringkali menimbulkan kekerasan fisik dikarenakan permasalahan innerchild yang masih belum terselesaikan di masa lalu. Masalah ini bisa berdampak besar karenaakan membentuk skema emosi yang sama pada anak kita, turun menurun, terus ke generasi selanjutnya. Makadari itu, penting bagi kita untuk memberikan penanganan yang tepat.
Innerchild itu berwujud rekaman masa lalu yang masih teringat dan terbayang sampai saat ini. Saya yakin pasti banyak hal yang sudah kita lalui bersama orangtua, entah itu kenangan baik atau buruk. Nah kenangan buruk inilah yang perlu diwaspadai, jangan sampai kita meneruskan kenanagan ini ke anak kita kelak. Hal yang perlu dilakukan adalah berdamai dengan masa lalu, maafkan kenangan pahit saat itu, dan ikhlaskan.
3. Gita dan Karrama
Mohon maaf sebelumnya, perkenalkan saya Gita dari Makassar. Aku kan masih awam tentang ilmu parenting nih kak. Sedangkan dari penjelasan kakak ada beberapa kata-kata yang sudah menjadi “budaya” yang sering dilakukan orang tua. Apa sih kata dan sikap yang sebaiknya kita lakukan jika kita dihadapkan seperti kasus Anak jatuh yang di’bohongi’ besok akan langsung sembuh. Bagaimana saya harus bersikap?
~ Orang tua harus konsisten, jika sudah membuat kesepakatan dengan anak, tepati kesepakatan itu apapun kondisinya, jangan mengalah karena alasan ‘ga tega’ dengan anak, jika sering kendor aturannya, anak akan terus mencari celah supaya bisa membujuk orangtuanya. Konsisten juga berarti orangtua harus membuat kesepakatan dengan seluruh orang dewasa atau anak lainnya dalam keluarga yang terlibat langsung dalam pengasuhan si anak. Misalnya istri,suami, anak pertama dengan kakek, nenek, juga asisten rumah tangga.
Jika tanpa ilmu, tanpa sadar kita bisa mengatakan hal yang keliru kepada anak. Sebagai contoh, jika suatu saat seorang ibu menghadapi anak balitanya yang jatuh ketika lari-lari, lalu anak merasa kesakitan, Ibu bisa saja mengatakan ‘Gapapa nak besok juga sembug’ yang ternyata besok harinya si anak mendapati luka yang masih sakit. ‘Oh… ini mejanya nakal, sini ibu pukul mejanya’ ini sadar tidak sadar mendidik anak untuk menyalahkan orang/hal lain di luar dirinya atas kesalahan yang ia buat sendiri. ‘ Alaaaah gapapa itu sakit segitu aja, udah nggakpapa jangan nangis…’ ini membuat anak tidak berempati kepada orang lain. Suatu saat jika ibu harus pergi dari rumah lalu anaknya nangis, kemudian dititipkan pada pembantunya atau neneknya lalu dialihkan perhatiannya lalu ibunya pergi.. Suatu saat jika ingin menyuapi anaknya makanan sehat lalu anaknya tidak mau makan, lalu mengelabui dulu ke gelas teh yang manis, tapi padahal isinya asin? yang ternyata membuat si anak menganggap ‘boleh berbohong’ jika tujuannya untuk kepentinganmu. Suatu saat ketika kita sedang sibuk dengan urusan pekerjaan lalu anak balita kita rewel, lalu kita berikan handphone di usia balita? yang ternyata membuat si anak lebih lekat kepada gadget dibandingkan dengan orangtuanya.

Bagaimana harus bersikap?
jika mendapati anak jatuh, apa yang harus dilakukan? memang tidak harus melakukan apa2 peluk dulu sampai emosinya stabil, jangan dihentikan tangisnya, biarkan dia mengalirkan emosinya sampai selesai.. kemudian sapa perasaannya.. ‘sakit yaa kakinya’ semoga lekas sembuh yaa.. sambil dielus2 atau beri pertolongan langsung jika memang lukanya besar dan butuh pertolongan.. sampai emosinya stabil, tidak perlu mengatakan apapun, apalagi menasehati.. menasehati bisa saja jadi salah satu komunikasi populer yang sering dilakukan oleh orgtua yang justru menyebabkan miss komunikasi dengan anaknya.. menasehati disaat yang tidak tepat, misal kasusnya ketika anak sedang mengangis atau anak sedang tantrum.. setelah emosinya stabil, baru boleh dinasehati dengan baik.. misalnya: adik jatuh karena lari2 yaa.. nah sekarang adik tau, kalo lari2 kencang, kita bisa jatuh, lain kali larinya harus lebih hati2 ya! lebih baik mengatakan seperti ini daripada bilang ‘jangan lari2!’

4. Robbi Aulia Helmi
Bagaimana pendapat kang Saad tentang Homeschooling karena disini bonding antara orangtua dan anak bisa sangat dekat. Saya melihat pola asuh ini dari Bunda Septi Peni dan menginspirasi saya untuk melakukan hal yangg sama kelak. Namun pada beberapa kasus, homeschooling menyebabkan anak tidak banyak memiliki teman dan menjadi ansos. Disisi lain, saya memiliki planning bahwa anak saya kelak harus menjadi hafidz atau hafidzah. In case, diupayakan masuk pesantren, ya sangat bertabrakan. Mohon pencerahan kang, mungking kang Saad bisa membuat titik temu antar keduanya?

~ Homeschooling pastinya orangtua harus sudah siap dengan menjadi provider pendidikan anak dari segala aspek, psikologis, akademis, lifeskills dsb. Nah terkait ansos, rasanya homeschooling yang baik idealnya tak akan membuat anak menjadi ansos, karena skill bersosialisasi menjadi salah satu ‘kurikulum’ yang harus orangtua siapkan juga dalam proses pendidikan. Buktinya jika mengambil contoh dari bu Septi Peni, ketiga anaknya adalah entrepreneur yang skill sosialnya tidak diragukan lagi, bahkan mereka semua memiliki skill public speaking diatas rata-rata, mungkin lebih baik dari anak yang sekolah formal. Terkait cita-cita menjadi hafidz atau haafidzah ini baik sekali, namun jangan lupa, peran orangtua dalam mendidik tetap yang utama. Sekolah/pesantren hanyalah sarana untuk mencapainya. Jangan sampai kita ‘mensubkontrakkan’ anak kita pada sekolah/pesantren, dalam artian karena merasa anak sudah sekolah di pesantren, lalu orangtua sudah tenang dan tinggal memetik hasilnya.

Robbi Aulia Helmi
saya ngeliat case temen lain kang hehe jadi agak ansos.. mungkin karena perbedaan kurikulum yaa. hem baik kang 🙂 kalau kang Saad dihadapkan pada pilihan. anak kang Saad mengikuti apapun keputusan orangtuanya. kang Saad akan memilih Homeschooling atau sekolah formal atau pesantren?
terkait kurikulum sekali lagi saya belum tau yah kurikulum ideal home schooling itu seperti apa.. kalo temen-temen tertarik mau angkat home schooling jadi pembahasan khusus, nanti bisa sayasambungkan ke pakar home schooling untuk mengisi sesi sharse selanjutnya pada intinya home schooling dilakukan ketika orangtua ingin menerapkan sistem pendidikan yang lebih tepat dengan tujuan pengasuhan anaknya.. jika anak jadi ansos, mungkin skill bersosialisasinya luput dari kurikulum yang diterapkan orangtuanya.

~ kalo saya cenderung ke sekolah formal kang 🙂 dengan pertimbangan saya perlu tau dulu tujuan pendidikan sekolahnya dan lingkungan yang dibentuk oleh sekolah tsb

Bagaimana dengan keluarga yang mengalami divorced dan broken home sehingga kehilangan salah satu sosok orangtua dan tidak mendapatkan pola asuh seimbang?
~ idealnya pendidikan parenting akan berjalan sempurna dan beriringan ketika dilakukan oleh orangtua yg lengkap. namun bagaimana keadaannya, jika orangtuanya divorced.
betul, idealnya pendidikan dan parenting butuh peran lengkap ibu dan ayah.. Jika anak mendapat kasih sayang hanya dari ibu, namun tidak mendapatkannya dari ayah, ia seperti bendungan dengan air berlimpah, namun temboknya rapuh.. Jika anak mendapat kasih sayang hanya dari ayah, namun tidak mendapatkannya dari ibu, ia bagai bendungan kokoh yang kering tak berisi. Kultur kita terlanjur melekat kuat bahwa urusan anak adalah urusan Ibu. jangankan pada keluarga yang mengalami divorce, keluarga yang lengkap pun masih banyak ditemukan peran pengasuhannya tidak seimbang. yah dan Ibu memiliki porsi masing-masing dalam membangun bendungan jiwa anak. Perannya saling melengkapi. Dan yang perlu ditekankan adalah bukan lengkap jumlah atau personnya yang paling penting, tapi lengkap fungsinya. Jika kita ada pada suatu kondisi tidak ideal, tetap lengkapi peran yang hilang dari kakek atau nenek, paman atau bibi, kakak, atau orang dewasa lainnya yang bisa jadi panutan.. Dan pihak yang terlibat dalam pengasuhan anak harus kompak dan konsisten terhadap batasan dan nilai yang dibuat oleh pemimpin keluarga.. Jika peran pengganti juga sulit didapatkan, sebagai orangtua tunggal kita perlu berperan ganda, menjadi ayah sekaligus menjadi ibu.

5. Ayu Jannat
Apa saja resiko dari mengasuh anak dengan menggunakan metode ‘learn by doing’ kak? Kalau boleh mohon dipaparkan hasil riset terkait itu jika ada?

~ Resiko dari mengasuh anak learn by doing ada risetnya? Belum ada.. tapi coba deh kalo misalnya kita ngelakuin sesuatu dengan cara learn by doing, selalu ada celah untuk melakukan kesalahan. Sebetulnya bukan berarti kita harus siap dulu tau segala hal baru boleh mengasuh anak, menjadi seorang pengasuh selalu menjadikan kita seorang pembelajar. belajar sejak dini bertujuan untuk meminimalisir resiko kesalahan perkataan, perbuatan dan keputusan yang akan kita ambil untuk mengasuh anak kita kelak.

Sebagai contoh, ada sharing cerita dari teman di kelas pendampingan kehamilan yang saat ini sedang saya ikuti. Saat ini dia sedang mengikuti probram VBAC karena dulu melahirkan anak pertamanya dengann caesar dan mendapatkan banyak intervensi dari pihak rumah sakit karena pada waktu itu dia tidak memiliki pengetahuan tentang proses persalinan. Dia bilang menyesal baru ikut kelas pendampingan kehamilan setelah hamil anak kedua.

Bagaimana cara ‘merehabilitasi’ anak-anak yang sudah telanjur di posisi dimana kelekatannya pada gadget melebihi kelekatan pada orangtua?

~ Carikan alternatif kegiatan yang lebih menarik atau minimal sama menariknya dengan gadget, jangan sampai orangtua bilang ‘jangan main hape terus!’ Tapi tidak menyediakan aktivitas lain yang menarik untuk anak. mungkin kegiatan fisik, misalnya; menunggangi kuda, berenang, memanah, book hunter, camping Bersama ayah. diantara tips & triknya bisa lihat lagi jawaban saya soal cara mengatur kebiasaan anak menggunakan gadget. tambahannya, kenali karakteristik digital native dan pengasuhan seperti apa yang tepat untuknya, pelajari bagaimana cara mendampingi anak mengenal teknologi, kenalkan anak pada teknologi sesuai dengan kebutuhannya, diskusikan dengannya terkait resiko2nya, diskusikan juga tanggungjawabnya, beri aturan waktu dalam menggunakan gadget, dan yang paling utama lakukan semua itu dengan komunikasi yang benar, baik dan menyenangkan..

Adakah pilihan lain selain menjadi orangtua yang permisif atau parno di era digital sekarang? Bagaimana cara mempersiapkan dari sekarang, mohon tips dan triknya?

~ Orangtua permisif dan parno hanyalah 2 tipe akibat dari fenomena gegar budaya di masyarakat kita. Pilihan lainnya tentu menjadi orangtua yang bijak di era digital yang sadar dengan tantangan mengasuh di era digital, kenal karakteristik anak era digital dan tau bagaimana cara mengasuhnya.

Seringkali ada fakta bahwa terjadi ketidak kompakan antara sang ayah dan ibu terkait pola asuh bahkan dalam menentukan keputusan tertentu untuk anaknya. Sayangnya resikonya pun berakibat ke mental sang anak. Nah, bagaimana cara mengantisipasi hal tersebut dimulai sejak tahapan memilih pasangan halal dan berlanjut ke tahap-tahap selanjutnya?

~ Lanjutan pertanyaan terakhir dri Ayu 4. Seringkali ada fakta bahwa terjadi ketidak-kompakkan antara sang ayah dan ibu terkait pola asuh atau bahkan dalam menentukan keputusan, tertentu untuk anaknya. Sayangnya, risikonya pun berakibat ke mental sang anak. Nah, bagaimana cara mengantisipasi hal tersebut dimulai sejak tahapan memilih pasangan halal dan berlanjut ke tahapan-tahapan selanjutnya? diantara tips & triknya bisa lihat lagi jawaban saya soal cara mengatur kebiasaan anak menggunakan gadget. tambahannya, kenali karakteristik digital native dan pengasuhan seperti apa yang tepat untuknya, pelajari bagaimana cara mendampingi anak mengenal teknologi, kenalkan anak pada teknologi sesuai dengan kebutuhannya.. diskusikan dengannya terkait resiko-resikonya, diskusikan juga tanggungjawabnya, beri aturan waktu dalam menggunakan gadget, dan yang paling utama lakukan semua itu dengan komunikasi yang benar, baik dan menyenangkan.

Hak pertama anak kita di dunia ini adalah dipilihkan ayah/ibu yang baik untuknya 🙂 tentunya jadi tugas bagi yang sedang mencari calon pendamping untuk benar2 memilih pendamping sesuai yang pas dengan frame diri kita. bagaimana cara mengenalnya? apakah harus dijalani dengan masa perkenalan (ta’aruf) yang bertahun-tahun? ingat! “Mengenal calon pasangan sebelum nikah bukanlah jaminan pernikahan akan berlangsung dengan baik, karena semua sifat asli akan muncul setelah menikah sehingga proses mengenal pasangan adalah proses seumur hidup.” sampaikan pandangan hidup dan rencana-rencana pengasuhan anak kita ketika berkenalan dengan calon pasangan, tanyakan pula bagaimana pandangannya dalam hal pengasuhan anak. Jika sudah satu pandangan, satu aqidah, mau saling membuka diri, mau saling menjaga komunikasi, mau saling bekerjasama, insya Allah kedepannya akan terjalin kekompakkan dalam rumah tangga kita, insya Allah

12 Gaya Populer/ Gaya Parentogenic

12 Gaya populer atau istilahnya adalah gaya parentogenic, adalah gaya yang biasa digunakan oleh orangtua. Saking umumnya digunakan oleh orangtua bahkan secara turun-temurun, kita menganggap kalimat-kalimat itu adalah kalimat yang wajar. emangnya ini kalimat yang tidak wajar? gaya komunikasi seperti ini membuat perasaan anak menjadi tidak nyaman (dengan kadar masing-masing). Gaya komunikasi seperti ini menciptakan satu lubang di hati anak yang tak terlihat oleh orangtua. Jika terus menerus digunakan, gaya populer ini menjadi penghalang komunikasi anak dengan orangtua.

Gaya populer Kekeliruan dalam Komunikasi. Lihat komunikasi dalam pengasuhan anak oleh Psikolog perempuan yang berfokus pada parenting dan pendidikan anak dari
Seratusintitute.com . http://www.seratusinstitute.com/news/detail/psikologi/53/gaya-populer-kekeliruan-dalam-komunikasi.html

Kegiatan Fisik, misalnya, menunggangi kuda, berenang, memanah, book hunter, camping bersama ayah.

Referensi lain Ust. Bachtiar Nasir “Ayah dan anak laki-laki” dan pakar parenting Ust. Budi Ashari “Melahirkan generasi al Fatih dan Salahuddin Al-Ayubi”.

Closing statement

Setiap diri kita sudah dibekali naluri untuk menjadi ayah/ibu yang baik bagi anak2 kita. Tugas kita adalah melatih naluri tersebut untuk bisa dimaksimalkan dalam mengasuh anak dengan segala tantangan yang kita hadapi hari ini. Dalam satu kisah Rasulullah mengatakan, ikat dulu untamu, baru bertawakkal. Siapkan diri kita untuk menjadi orangtua yang bijak di zaman sekarang, insya Allah akan selalu diberikan keberkahan dalam menjalankan amanah kita kelak sebagai orangtua.

(Minggu 12 November 2017, Diskusi FC#4)
Bomber: Saad Ibrahim ( Inisiator Nuparents, Edukator Parenting di Era Digital)
Moderator: Robbi Aulia Helmi (FIM 18)
Notulis : Sekar Hanafi (FIM 17)

 

 

 

Mengobati Kecanduan Pornografi Pada Anak

stop_pornografi

Meruaknya media dan gadget digital masa kini bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua: di satu sisi memudahkan akses ilmu pengetahuan dan informasi, namun di sisi lain juga menyuguhkan “pengetahuan berbahaya” seperti pornografi yang harus diproteksi dari anak-anak kita. Psikolog Anak, Ibu Elly Risman,menyatakan bahwa dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh pornografi ini bahkan jauh lebih berbahaya daripada narkoba.Dilansir dari situs eramuslim.com yang merangkum seminar Bunda Elly di IPB Bogor, dinyatakan bahwa otak anak yang rusak akibat pornografi diibaratkan seperti sebuah mobil yang bagian depannya mengalami kerusakan parah akibat tabrakan.

Pre Frontal Cortex (PFC) atau bagian otak depan anak adalah bagian otak yang menjadi rusak jika telah kecanduan pornografi. Padahal, fungsi dari PFC pada otak adalah untuk merencanakan, mengendalikan emosi, mengambil keputusan, dan berpikir kritis dan lainnya. Fungsi PFC ini terus berkembang dan akan matang pada usia 25 tahun, maka bayangkanlah jika dalam tahap perkembangannya fungsi ini telah rusak bahkan sebelum mencapai kematangan.Karena itu, untuk menanggulangi dan mencegah kerusakan pornografi pada diri anak, Fim Club 4 Pendidikan Parenting Forum Indonesia Muda menggelar sebuah diskusi online pada 26 Maret 2016 dengan pembicara Ibu Dra. Perwitasari, seorang psikolog lulusan Universitas Indonesia yang saat ini aktif berkegiatan sebagai psikolog, trainer, konselor di Yayasan Kita dan Buah Hati dan RSIA KMC.

Bu Perwitasari atau biasa dipanggil dengan Bu Wiwit memaparkan bahwa, saat ini yang membuat pornografi menjadi semakin berbahaya dengan kehadiran internet adalah karena internet mengandung unsur 4A.dengan kecanggihan internet mengandung unsur 4 A, yaitu :

  1. Accesible; Mudah diakses dimanapun kapanpun
  2. Affordable; Terjangkau. Bahkan tanpa biaya.
  3. Anonim; Rahasia. Tanpa diketahui org lain.
  4. Aggressive; Bersifat menyerang, mengejar konsumennya. Karena saat ini pornografi disebarkan tidak lagi melalui situs namun bahkan ke medsos pribadi, yang terkadang memunculkan gambar-gambar “berbahaya” di home kita, yang kita sendiri sebetulnya tidak menghendaki.Pornografi ini pada anak akibatnya bisa lebih parah daripada orang dewasa, karena anak-anak sebetulnya belum cukup berkembang PFCnya. Sehingga, mereka cenderung menyerap dan meniru begitu saja apapun yang dilihat.

Hal lain yg membuat anak atau seseorang mudah kecanduan pornografi adalah kondisi BLAST (boring, lonely, angry, stress dan tired).  Kondisi BLASTakan menuntut otak untuk melakukan sesuatu yang menstimulasi keluarnya dopamin pada otak. Jikaberada di dalam kondisi ini kita melihat pornografi, maka otak kita akan mengeluarkan dopamin. Sehingga timbullah rasa ketagihan, dan keinginan untuk mengulanginya kembali.

Lalu, bagaimana mencegahnya? Internet yang aman dan sehat jelas sangat diperlukan. Maka, orang tua sejak awal harus memastikan bahwa internet yang digunakan anak berada di dalam control orangtua dan memiliki filter untuk mencegah anak-anak mengakses konten porno. Tetapi, seiring dengan bertambah usia, tentu kontrol eksternal ini perlu juga didampingi dengan kontrol internal, yakni dengan memberikan edukasi tentang bahaya pornografi bagi perkembangan mereka. Anak perlu tahu apa bahayanya, dan apa yang harus dilakukan bila tidak sengaja melihatnya. Sejak awal anak-anak diajarkan dan ditanamkan untuk tidak mengizinkan dirinya melihat hal-hal yang tidak baik dan menjaga pandangannya.

Kita juga perlu menciptakan hubungan yang hangat dengan anak agar mereka tidak berada di dalam kondisi BLAST. Ajarkan juga bagaimana sejak awal mereka bisa mengatasi BLAST itu, dengan berbagai alternatif kegiatan yang positif, kreatif dan produktif. Kegiatan olahraga juga diperlukan agar anak dapat menyalurkan energinya. Bagi anak laki2, saat baligh nanti olah raga ini diperlukan untuk mengeluarkan sperma, dengancara sehat dan alamiah tanpa perlu melakukan hal-hal negatif (seperti masturbasi dll). Tanamkan juga keimanan sehingga anak menghayati adanya pengawasan dari Yang Maha Mengetahui, dan keyakinan bahwa semua yang ia lakukan harus dipertanggungjawabkan di hadapanNya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana menangani anak yang sudah terlanjur kecanduan pornografi?Kita harus pahami bahwa kecanduan porno membuat yang bersangkutan lebih sulit mengontrol dirinya dibanding kecanduan yang lain. Hal ini dikarenakan jika anak kecanduan karena hal yang lain, napza misalnya, unsur yang menyebabkan kecanduan itu berasal dari luar dirinya. Sehingga, saat unsur itu ditiadakan maka otomatis tubuhnya akan melakukan detoksifikasi menetralkan zat-zat kimia di dalam otaknya. Namun, kecanduan pornografi akanmembuat terbentuknya mental model porno/perpustakaan porno di dalam otak yang bersangkutan. Sehingga, meskipun dia sudah tidak bisa mengakses pornografi secara langsung, ia tetap bisa mengakses dan memutar ulang adegan-adegan porno di kepalanya. Hal ini akan menyebabkan dia tetap kecanduan untuk memutar kembali memorynya tanpa perlu diminta. Dan hanya dia yang tahu mengenai hal ini.Inilah yang menyebabkan kecanduan pornografi lebih sulit untuk dihilangkan bila yang bersangkutan belum memiliki kesadaran untuk berubah/sembuh. Maka,apa saja tahapan yang harus dilakukan?

  1. Hal pertama yang harus dilakukan dan yang paling sulit adalah membangun kesadaran pada yang bersangkutanakan bahaya pornografi dan memunculkan motivasi untuk mau sembuh/ meninggalkan pornografi.
  2. Kedua, adalah memberi anak kemampuan untuk mengatasi kondisi BLAST. Dalam hal ini, bagi anak dibutuhkan dukungan positif dari orang tua. Pola asuh ya harus diubah menjadi pola asuh positif.
  3. Ketiga, diperlukan kemampuan untuk mengatasi “flash” / memory pornografi yang bisa muncul tiba-tiba, Anak harus belajar mencari alternatif kegiatan atau pemikiran positif yg dapat mengalihkan “flash”.

Mulai usia berapakah anak bisa dikenalkan tentang edukasi pornografi?

Mengajarkan anak akan bahaya pornografi memang harus bertahap sesuai dengan usia anak.  Yang harus diajarkan sejak awal adalah pemahaman bahwa tidak semua hal bisa/ boleh kita lihat, kita dengar, dan kita lakukan.Penting juga untuk mengajarkan anak-anak tentang bagian tubuh yang boleh terlihat, dilihat, dan mana yang tidak boleh.Seperti kalau kita mengajarkan makanan ada yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan. Contohnya, sejak kecil kita tidak membiarkan anak melihat bagian tubuh org lain yg privacyatau menjadi aurat seseorang. Tanamkan kepada anak rasa malu ketika melihat aurat maupun ketika auratnya terlihat.Jadi, jangan buka baju di depan anak. Jangan bawa anak ke tempat-tempat yang dia bisa melihat hal-hal yang tidak senonoh. Jangan sampai porno-aksi nya justru ia dapatkan pertama kali dari rumah secara tidak sengaja. Penting untuk memastikan tidak ada anak dan kamar sudah terkunci rapat saat melakukan hubungan seksual.Jadi, memang pendidikan seksualitas yang benar, sehat dan lurus yang harus diberikan sejak awal.  Agar anak sejak awal memiliki kesadaran dan pemahaman yang benarakan aurat dan rasa malu.

Bagaimana menanggulangi pengaruh lingkungan?Internet kanada di mana saja dan sulit dikontrol. Bagaimana jika internet sudah diproteksi di rumah, namun ia justru mendapatkan dari teman-temannya di sekolah?

Sesungguhnya yang utama adalah memunculkan kontrol internal, yakni dengan edukasi yang benar.Sampaikan bahwa hal-hal yang ia lihat dan ia dengar akan mempengaruhi dirinya. Kita tentu saja dapat menggunakan analogi-analogi dan media yg konkrit.Misalnya, kita menyiapkan 2 wadah lalu masing-masingmemasukkan benda yang bersih dan benda yang kotor/sampah. Lalu, kita minta anak membandingkan mana yang ia suka. Tentu iaakan memilih yg bersih. Nah, kita sampaikan bahwa apayang kita lihat, dengar, dan juga yang kita makan itu ada yang baik dan membuat kita sehat, namun ada juga yang merupakan sampah/hal tidak baik yang bisa membuat sakit/merusak diri kita.

Di usia dini memang kontrol eksternal masih sangat diperlukan. Kita harus memastikan mereka memang tidak bisa mengakses konten porno baik sengaja maupun tidak sengaja.Anak-anak umumnya terpapar karena ketidaksengajaan.Hal ini disebabkan karena orang tua lalai.Tidak menyadari adanya bahaya pornografi.Misalnya, guru memberikan tugas yang harus mengakses internet, padahal anak belum diedukasi.Atau orang tua yang mengakses lalu lalai/terlihat oleh anak. Atau media-media  seperti film-film anak-anak yang memiliki adegan porno. Memang kita seringkali kurang sensitif pada softporn sehingga menganggap itu adalah hal yang biasa. Padahal, ini yang membuat kita menjadi butuh untuk melihat hardporn. Oleh karena sering melihat softporn ini, kita jadi tidak menyadari hardporn, tahu-tahu sudah kecanduan.

Proses yang terjadi di otak tidak bisa kita handle karena terjadi tanpa kita sadari. Bila sejak awal anak sudah kita latih untuk mengontrol pandangannya, mengontrol pendengarannya, mengontrol apa yang dia makan dengan senang hati, bukan karena takut/terpaksa, maka akan menjadi tameng untuk tidak memperhatikan pornografi. Oleh karena itu, penting sejak awal kita membangun kemampuan berpikir memilih dan memutuskan untuk melakukan hal yang baik. Bagaimana caranya?Yakni dengan membiasakan berdialog. Lebih sering menggunakan kalimat tanya daripada kalimat perintah. Memberikan alternatif-alternatif pilihan positif dan respek pada keputusan anak, daripada sekedar menyuruh-nyuruh. Disini memang dituntut kreativitas orang tua dan kemampuan memahami karakter anak sesuai dengan usia.

Lalu, Bagaimana interaksi dengan gadget?Apakah sebaiknya anak-anak dibatasi?

Ketika anak sudah akan berinteraksi dengan gadget, maka anak sebelumnya sudah harus dijelaskan baik buruknya,  aturannya, dan kesepakatan penggunaannya. Sebaiknya sebelum baligh, anak tidak dibiarkan berinteraksi dengan gadget dan internet tanpa pengawasan orang tua. Dan saat remaja di atas 17 tahun atau setelah baligh,  pastikan bahwa anak sudah memiliki kontrol internal yang baik. Anak-anak lebih baik diperbanyak kegiatan eksplorasi di alam, kegiatan yang aktif bergerak, kegiatan keterampilan yang kreatif.Selain untuk merangsang saraf-saraf di otaknya, juga untuk melatih otot-ototnya.Hal ini juga merupakan stimulus yang baik untuk menumbuhkan minat pada kegiatan aktif, sehinggaanak tidak cenderung ke gadget. Interaksi dengan gadget membuat anak jadi “mager” / males gerak dan “lazy mind”/ males mikir.

Anak zaman sekarang banyak pegang handphone karena orangtuadan guru malas/tidak mau repot. Hanya mengambil gampangnya agar anaktenang, dengan memberikan hp /ipad.Juga karena khawatir dianggap kuno dan takut anak gaptek.Kita harus mengetahui bahwa anak memang belum bisa sepenuhnya memiliki self control, karenaPFC belum kuat sempurna. Apalagi, kalau kita lebih banyak dengan doktrin yang tidak melatih anak berpikir.“Pokoknya tidak boleh, nanti dosa, dsb.Kita hanya pernah mengatakan bahwamelihat gambar yang jelek-jelek tidak boleh.Lalu kita merasa sudah mengedukasi.Di usia awal, kita perlu mengecek seberapa besar kontrol internal anak. Misalnya, ketika kita ajarkan bahwa kalau pilek tidak boleh minum es.Nah, suatu saat ketika tidak ada kita, anak ditawari es, padahal sedang pilek.Kita dapat melihat apakah dia mau atau menolak.Kalau dia mau dengan sembunyi-sembunyi, berarti kontrol internalnya belum terbentuk.

Lalu, bagaimana caranya mengedukasi?

Saat mengedukasi, kita bisa menggunakan beberapametode :

  1. Contoh konkrit
  2. Dialog/ kalimat tanya
  3. Pembiasaan/rutin/konsisten
  4. Reward

5.Konsekuensi.

Kalau anak sudah memiliki “perpustakaan porno” di dalam kepalanya, bagaimana caranya mengedukasi?Misalkan sudah benar-benar parah memory itu berada di dalam otak. Walaupun diberikan ilmu agama sebanyak apapun, memory itu tetap ada kan?

Iya betul.Menghilangkan pornmemory nya itu yang memang sulit.Beberapa teknik terapi bisa kita lakukan untuk membantu.Jadi, kalau sudah cukup lama mengakses dan cukup parah tingkat kecanduannya, maka sesi terapinya menjadi lebih lama/panjang.Yang kami tangani saat ini bahkan ada yg sudah setahun.Baru 2 bulan ini tidak flash lagi.Namun ini juga belum selesai. Karena mungkin masih ada fase relapse. Jadi, lebih baik mencegah ya daripada mengobati.

Seperti yang disampaikan ibu sebelumnya, saat ini pornografi dengan mudahnya diakses bahkan oleh anak-anak sekalipun.Di iklan TV sehari-hari pun ada adegan yang menurut saya tidak pantas jika ditonton anak-anak. Jika orang tua memilih untuk membatasi atau bahkan tidak mengenalkan anaknya pada media digital seperti TV, gadget, dll, apakah langkah tersebut tepat di era digital saat ini ?Dan bagaimana jika lingkungan tempat tinggal anak justru sebaliknya? Di mana anak-anak lain dengan mudahnya gonta-ganti channel TV, mengakses internet, dll. Apa tidak akan menimbulkan kecemburuan dan protes pd anak ?

Untuk anak-anak, memang orang tua harus membatasi interaksi dengan gadget dan layar.Tentu saja bukan sekedar melarang atau membatasi. Jadi ortu harus bisa komunikasi dengan baik, benar, dan menyenangkan .Dan juga harus bisa menerapkan disiplin dengan kasih sayang.Harus ada bounding antara orang tua dan anaknya.Sampaikan pada anak alasan kita melarangnya.Kita juga harus menciptakan lingkungan yang mendukung pengasuhan kita.Untuk itu, kita harus menggalang kerjasama baik di keluarga maupun di masyarakat.Ambil hpnya atau tidak memberi handphone.Karena yang penting adalah edukasinya.Di sini, memang dituntut kedekatan anak dengan orang tuanya agar tercipta kepercayaan anak kepada orang tua. Bila anak tahu alasan kita membatasi gadgetnya, maka anak akan mudah menerimanya.

Lalu, bagaimana caranya mengedukasi anak secara efektif  untuk yang berumur kisaran SD dan sederajatnya? Karena tidak mungkin kita memberikan pengetahuan yang berat tentang apa bahaya pornografi dll..

Mengedukasi anak itu suatu keharusan. Memang perlu disederhanakan bahasanya sesuai dengan usia anak. Untuk anak SD,  kita bisa mulai dengan penjelasan bahwa kita semua diberi otak di dalam kepala kita. Beritahukan kepada anak gambar otaknya.Jelaskan bahwa otak ini yang membuat kita pintar, lebih pintar dan cerdas daripada binatang.Namun, otak kita bisa rusak.Kita contohkan misalkan dengan membuat lubang-lubang pada gambar otak tersebut.Lalu kita beritahukan, bahwa salah satu yang merusak otak adalahketika kita mrlihat yg tdk baik. Lalu diskusikan apa saja yang baik dan yang boleh kita lihat, dan apa yang tidak baik, yang tidak boleh kita lihat.

Bagaimana jika orang tua sibuk sehingga tidak bisa memperhatikan tanda tanda kecanduan pornografi? Bagaimana cara orang tua untuk bisa tahu?Lalu, bagaimana penanganan yg dapat dlakukan orang tua untuk anak yang kecanduan, apakah harus dengan bantuan psikolog?

Sesibuk apapun, orang tua seharusnya tetap perhatian pada anak.Harus tahu aktivitas anak dan bahasa tubuhnya. Beberapa indikator anak yg kecanduan porno :

– senang menyendiri dengan gadgetnya.

– tertutup. Hpnya juga tidak boleh dilihat kecuali oleh yang memang sama minatnya.

– main hanya dengan teman tertentu yang sama2 suka gadget

– “mager” atau tidak suka aktivitas outdoor, yg aktif atau yang terdapat interaksi sosial.

– tidak suka diajak bicara

– kalau di kamar mandi lama

– senang melihat detail tubuh orang.

– mata terlihat kosong.

Memang bila tidak teliti, secara fisik tidak terlihat tanda-tanda kecanduan porno.Ini juga yang membuat agak sulit mendeteksinya.Tidak seperti kasus kecanduan napza yang terlihat jelas perubahan fisik yang mencolok.  Padakasus kecanduan porno biasanya terdeteksi pada stadium yang tinggi yaitu bila sudah muncul “acting out” atau menampilkan  perilaku seksualnya seperti masturbasi, memperkosa, mensodomi dll.

Penjelasan lebih lanjut tentang pornografi dan dampaknya serta perlindungannnya  bisa dibaca di dalam buku “The drug of The New Millennium karya Dr. Mark Kastlemen, seorang psikiater di Amerika . Bukunya sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Yayasan Kita dan Buah Hati.

Maka, mengingat bahaya dari pornografi ini, sebagai orangtua kita seharusnya menjadi lebih waspada.Bagaimanapun, lebih baik mencegah daripada mengobati.

 

(26 Maret 2016, Diskusi FC#4)

Pemantik         : dra. Perwitasari (Psikolog, konselor, trainer di YKBH dan RSIA KMC)

 

Moderator      : Zuhay Ratuz Zaffan FIM 15                   

Notulis            : Melinda Nurimannisa FIM 13

Manajemen Pengasuhan Single Parent Terhadap Kesuksesan Anak

single-mum1

Pengasuhan hampir selalu melibatkan peran ibu dan ayah yang saling melengkapi. Namun realitanya tak semua anak mendapat sentuhan sempurna dari kedua pihak ibu dan ayah. Perceraian atau kematian salah satu pasangan membuat ayah atau ibu mau tak mau membesarkan anaknya seorang diri (single parent). Oleh karena itu, tugas pengasuhan tentu menjadi lebih berat. Namun, bukan tidak mungkin kesuksesan setiap anak dapat diraih dengan pendidikan yang diperoleh dari seorang ibu atau ayah.

Agustina Djakfar, seorang ibu yang memiliki 5 (lima) buah hati, berhasil membuktikan bahwa menjadi seorang single parent bukan halangan untuk mendidik anak-anaknya menuju gerbang kesuksesan. Tante Agustin, begitu ia akrab disapa, menyampaikan serta mengingatkan kepada calon ibu dan ayah atau yang telah menjadi ibu atau ayah akan landasan yang selama ini beliau jaga dalam mendidik anak-anaknya.

“Didiklah anak-anakmu agar siap menghadapi zamannya, karena mereka kelak akan hidup di zaman yang berbeda denganmu” –Ali Bin Abi Thalib Radhiallahuanhu–

 

Dari Abu Hurairoh, ia berkata, Rasulallah saw bersabda, “Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani, dan Majusi, sebagaimana dilahirkannya binatang ternak dengan sempurna, apakah padanya terdapat telinga yang terpotong atau kecacatan lainnya?. Kemudian Abu Hurairoh membaca, Jika engkau mau hendaklah baca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”

Dengan berpegang pada dua dasar tersebut, kewajiban orang tua ialah membekali diri dengan ilmu yang dibutuhkan untuk menjalankan perannya, baik ketika menjadi seorang ayah atau ibu. Segala sesuatunya harus dimulai dengan memiliki ilmunya, bahkan sejak sang buah hati masih di dalam kandungan. Orang tua yang berilmu akan menuntun anak-anaknya untuk menghadapi masalahnya dengan ilmu pula. Berbekallah dengan ilmu yang cukup dan sesuai, dengan demikian akan mempermudah kita, sebagai orang tua, mengasuh anak-anak hingga dewasa meskipun dalam keadaan sendiri atau single parent.

KPK( Kehangatan, Perhatian, dan Komunikasi )
Ikatan antara sang ibu dan buah hati terjalin sejak dalam masa kandungan hingga anak-anak bertumbuh kembang, dengan berbekal ilmu, akan membangun tiga hal yang menurut Tante Agustin sangat penting untuk pendidikan anak. Tiga hal pokok tersebut adalah Kehangatan, Perhatian, dan Komunikasi (KPK). Lalu, ketika takdir menghampiri beliau untuk menjadi single parent, modal ini lah yang kurang lebih sangat membantunya.

Bagaimana pun juga, seorang anak akan memiliki karakter seperti apa yang orang tua berikan atau ajarkan. Mereka cenderung meniru orang tua baik dalam karakter maupun sikap. Misalnya, ketika orang tua mendidik dengan kata-kata lembut dan positif, nilai-nilai positif tersebut bias melekat pada sang anak. Hal tersebut hanya bisa kita lakukan apabila ada ilmu yang cukup untuk dimiliki seorang ibu yang positif. Jika tidak ada ilmu, tentu akan percuma. Ilmu yang diterapkan dalam jangka waktu selama interaksi dengan anak sejak dalam kandungan akan sangat melekat erat.

Fitrah

Setiap anak dilahirkan adalah fitrah atau suci. Anak juga dilahirkan dengan kemampuan berpotensi sama dengan anak-anak lainnya. Tante Agustin menambahkan bahwa setiap anak sesungguhnya disiapkan untuk menjadi baik. Misalnya memiliki sikap kepemimpinan yang jujur,peduli, rendah hati, dan lain sebagainya. Kalau kemudian dia menjadi nakal atau punya sifat buruk, maka semuanya adalah karena pola asuh orang tuanya yang mungkin belum membekali dirinya dengan ilmu ketika menerima amanah tersebut.

Tentu, bukan tidak mungkin seorang anak akan terpengaruh terhadap tingkah polah yang ada di lingkungannya. Manusia merupakan makhluk social, tentu akan berhubungan dengan manusia lainnya. Bagaimana bila ada pengaruh negatif dari lingkungan anak? Perlindungan orang tua terhadap kontaminasi luar haruslah dimulai sejak dalam kandungan. Misalnya dengan menjaga emosi, mengontrol gizi kandungan, dan ilmu yang dibaca oleh sang ibu.

Kemudian ketika anak mulai mempelajari sikap dan perilaku di sekitarnya, kita sebagai orang tua harus menunjukkan bagaimana perilaku yang baik. Dengan perlahan, mereka akan menjadikan orang tuanya sebagai role model. Segala yang kita lakukan akan dijadikan acuan oleh anak. Oleh karena itu pastikan sikap yang kita lakukan dan yang mereka tiru adalah perilaku yang baik. Dengan demikian mereka akan cukup terlindungi dari pengaruh negatif lingkungannya.

Lakukanlah tindakan “pembersihan” apabila ternyata pengaruh negatif itu tetap terbawa. Misalnya anak kita berkata-kata kasar di rumah sesudah pulang sekolah, lalu kita berikan penjelasan terkait apa yang mereka lakukan. Larang ia untuk mengulanginya lagi dan berikan penjelasan dengan lembut.
Orang Tua, Idola Anak

Anak umumnya menjadikan orang tua mereka sebagai idola dan akan ditiru ketika hendak melakukan sesuatu. Namun, bagaimana untuk seorang single parent?Apakah harus berusaha menggantikan peran yang lainnya? Agustina Djakfar menjelaskan bahwa ia tidak pernah mencoba mengganti peran ayah anak-anaknya. Ia tetap menjalankan sebagai seorang ibu bagi mereka, menjadi teman diskusi untuk berbagai topik sejak kecil, dan tidak lupa menguatkan peran ayah dengan menceritakan sosok atau karakter baik sang ayah dan menetralisir pandangan miring mereka. Jadi, ada kalanya mereka bangga akan sosok ibunya, sesekali mereka bangga akan sosok ayahnya.

Bagaimanapun juga, kekosongan salah satu sosok orang tua dalam keluarga, mesti diisi atau dilengkapi oleh yang lainnya. Bukan bermaksud menggantikan, tetapi mengkomunikasikan tentang pribadi ayah atau ibu agar terbentuk karakter orang tua di benak anak sebagai idola mereka.

Pun ketika seorang ibu terpaksa mengurus anak seorang diri karena suami bekerja jauh dari rumah, komunikasi ini sangat penting dibentuk. Anak akan tetap merasa dekat dengan ayah dan ibunya. Sang ayah tetap harus mengisi perannya dengan memberikan perhatian yang dikomunikasikan ke anak, misalnya sun atau peluk jauh anaknya. Perhatian kecil juga bias diberikan ayahnya dengan menanyakan kegiatan anak di sekolah, pelajaran yang didapatnya, atau aktifitas keseharian anak. Jangan coba ingin tahu aktifitas anak-anaknya melalui istrinya saja. Tanyakan langsung kepada mereka. Hal itu akan membuat ikatan ayah dan anak tetap erat dan hangat.

Kebutuhan Batin Anak

Perhatian dan komunikasi di jaman sekarang, tidak terbatas pada jarak. Jika memang terpaksa harus pergi jauh, orang tua tetap dapat memberikan perhatian kepada anaknya. Tidak lupa ketika kembali berjumpa dengan anak, berikan pelukan dan perhatian itu secara langsung. Kebutuhan anak akan perhatian orang tua mereka tidak akan pernah bias digantikan dengan hal lainnya. Misalnya orang tua memberikan mainan, atau uang jajan yang banyak.

Posisikan anak sebagai sosok yang mengerti setiap hal yang terjadi dan komunikasikan dengan Bahasa yang sesuai umur anak. Misalnya ketika mengkomunikasikan kepergian ayahnya untuk bekerja di tempat yang jauh, jelaskan dengan bahasa yang sederhana. Cukup bilang bahwa ayah pergi kerja jauh agar bias membelikan anaknya mobil atau hal-hal sederhana lain yang mereka mengerti.

Stay Hungry

Kehangatan, Perhatian, dan Komunikasi dari orang tua kepada anak mestilah dilakukan dengan penuh keikhlasan dari hati. Hal itu dilakukan dengan tetap menimba ilmu untuk membekali diri sebagai orang tua. Tidak ada kata cukup untuk mencari ilmu apalagi ilmu yang digunakan untuk mengasuh anak sendiri. Tetap cari ilmu dengan mengikuti pelatihan parenting, membaca buku, dan berdiskusi dengan orang tua lain agar membuka cakrawala lebih untuk menguatkan karakter kita sebagai orang tua.

Orang yang berilmu akan semakin rendah hati. Tidak pernah malu untuk belajar dari mana pun sumbernya. Tidak sombong dengan ilmu yang dimiliki, serta tidak sungkan berkata “tidak bisa”. Karena diri terus haus akan ilmu yang baru. Kita juga akan menjadi orang yang mampu menghargai setiap kritik dan saran dari orang lain.

Jangan Berharap Jadi Single Parent

Pertikaian dalam rumah tangga mungkin adalah hal yang biasa terjadi. Namun, jangan sampai hal itu membuat perceraian dan akhirnya terbentuklah pola pengasuhan dengan single parent. Sesungguhnya, tidak ada yang diuntungkan ketika keputusan bercerai dan menjadi single parent kecuali egoisme orang tua, ayah dan ibu, itu sendiri. Sedangkan anak adalah pihak yang sangat dirugikan secara psikologis. Suami istri harus mencari penyebab semua masalah yang terjadi dan bersama-sama mengatasinya dengan melibatkan pihak ketiga yang bisa membantu menyelesaikan masalah mereka. Keduanya harus meluruskan niat hidup bersama,mengakui dengan jujur banyak hal-hal apa saja yang belum dilakukan dan berusaha bersama-sama melakukannya dengan komitmen. Dan yang peling penting, menghilangkan ego masing-masing.

Jika kita memang berilmu dan berpikir matang, tidak pernah kita akan terbersit untuk menjadi seorang single parent. Menjadi singleparent harus menjadi pilihan akhir setelah segala upaya perdamaian telah dilakukan maksimal. Namun, jika kondisi tersebut harus terjadi, maka ilmu-ilmu yang kita pelajari sebelumnya akan sangat berguna. Menerapkan tiga konsep utama, Kehangatan, Perhatian, dan Komunikasi, dalam setiap prosesnya. Hal ini mau tak mau harus dilakukan dengan ikhlas seorang diri. Hasil yang luar biasa pasti akan muncul di kemudian hari. Agustin biasa menguatkan dirinya dengan memandang anak sebagai sebuah bentuk amanah dan titipan Allah kepadanya.

 

(30 Januari 2016, Diskusi FC#4)

Pemantik            :

Agustina Djakfar,54 th.
Domisili                :Pangkalpinang

Anak ke 7 dari 7 bersaudara

Alumnus Fakultas Hukum Parahyangan Bandung

Menikah selama 19 tahun, mempunyai anak 5 orang yaitu:

  1. Laila Qhistina (jaksa),menikah,punya dua orang anak
  2. Shally Pristine sedang S2 di London,Inggris
  3. Shabriwa Shalat,S1,pekerja di perusahaan IT di Penang,Malaysia
  4. Chaikal Amrullah S1 Geodesi ITB
  5. Isla Madina kelas 3 SMA.

Hobbi    : membaca dan memasak.

Kegiatan yang pernah diikuti :

  • Peserta terbaik Pelatihan PET (Parent Effective Training) yaitu metode didik efektif dan revolusioner tahun 1997
  • Ketua posyandu selama 5 tahun dan menjadi posyandu terbaik se-Kabupaten Bandung tahun 1992
  • Mengikuti berbagai seminar dan pelatihan tentang pendidikan keluarga dan anak di berbagai tempat sejak thn 1992 -2010
  • Ketua lembaga RIKSA yaitu suatu kegiatan yang berusaha mengembalikan hak anak pada fitrahnya khususnya anak jalanan.

Moderator          : Shendy Alberta Lamandau FIM 15

Notulis                 : M. Arif Rahman Hakim FIM 16

 

 

 

 

Golden Age dan Tumbuh Kembang Anak

screenhunter_01-apr-10-07-06

Masa tahun-tahun pertama kehidupan disebut Golden Age atau masa awal perkembangan anak. Masa ini terjadi pada anak usia 3-5 tahun.Kurang lebih 80% perkembangan otak manusia berada dalam periode ini. Pada masa ini, kemampuan otak untuk menyerap informasi sangat tinggi. Anak bisa mempelajari berbagai macam keterampilan, membentuk kebiasaan-kebiasaan yang akan berpengaruh pada masa-masa kehidupan selanjutnya, juga memperoleh konsep-konsep dasar untuk memahami diri dan lingkungan sekitar.Dengan segala kelebihan tahapan golden age tersebut, ternyata ada banyak cara dalam pengoptimalan kemampuan anak agar bisa melewati perkembangan yang cemerlang.

Dari sudut pandang ilmu kedokteran menyatakan bahwa kecerdasan bisa disiapkan, faktor utamanya adalah nutrisi dan stimulasi.Golden periodyang merupakan periode yang sangat sensitif terhadap perubahan yang positif maupun negatif, semua bergantung pada terpenuhinya kebutuhan untuk tumbuh kembang otak atau tidak.Pada proses stimulasi, positif artinya apabila kebutuhan untuk tumbuh kembang otak terpenuhi maka akan terbentuk jaras-jaras yang optimal. Jaras merupakan sambungan antar sel-sel saraf yang satu dengan yang lainnya, dan merupakan salah satu penentu kualitas kecerdasan anak.

Semakin optimal jarak yang terbentuk, maka akan semakin optimal kualitas kecerdasan seorang anak. Namun, untuk paparan negatif seperti bentakan, ternyata tidak berpengaruh pada jaringan saraf anak (secara medis), apalagi sampai terputusnya jaringan saraf pada masa tumbuh kembang anak. Untuk faktor nutrisi,  zat besi merupakan salah satu contoh zat yang memiliki pengaruh penting dalam tumbuh kembang anak pada masa golden age dan juga berpengaruh pada pembentukan kognitif masa depan anak.

Di Indonesia sendiri sayangnya golden period untuk pertumbuhan tidak dapat dicapai dengan baik. Masalah golden period sebenarnya sudah dilakukan di posyandu yaitu dengan kartu menuju sehat yang bisa dikontrol tiap bulannya. Namun, posyandu lebih melakukan kontrol berat badan, tidak dengan tinggi badan. Sehingga yang terjadi adalah data riskesdas tahun 2010 menunjukkan anak pendek di indonesia yang kurang dari 5 tahun sebanyak 35,6 %. Hal ini menjadi masalah karena WHO (World Health Organization) menerapkan batas masalah kesehatan masyarakat di angka 20%. Semua ini bisa terjadi karena catch up (deteksi dini) pada golden period yang tidak bisa dibackup oleh orang tua yaitu pada dua tahun pertama.

Dua tahun pertama melihat bagaimana berat dan tingginya, karena berat dan tinggi pada anak terutama usia sedang tumbuh merefleksikan nutrisi. Namun tidak banyak masyarakat yang peduli, salah satunya dengan masalah balita pendek atau berat badan berlebih. Oleh karena itu WHO menganjurkan kejar golden period 2 tahun pertama (golden period pertumbuhan), karena ketika suatu anak memiliki masalah pertumbuhan dan terdeteksi setelah critical period (2 tahun untuk pertumbuhan) maka akan lebih sulit untuk melakukan catch up bahkan sebelum 24 bulan.

WHO growth chart dibentuk per usia anak menggunakan bulan, supaya bisa terlihat progressnya. Untuk konkretnya bisa dihitung dari total kebutuhan kalori harian apakah terpenuhi atau tidak, itu bisa dihitung sendiri. Tetapi untuk pemilihan menu sendiri disarankan kebagian gizi. Untuk kasus ADB (anemia kekurangan besi) bisa disebabkan banyak faktor, seperti kurang asupan, cacingan maupun genetic. Kekurangan gizi ketika ibu sedang hamil memiliki kemungkinan akan berdampak pada perkembangan anak.

Dalam ilmu psikologi, tidak ada hal yang secara spesifik menjelaskan tentang golden age, karena setiap tahapan umur anak unik dan penting. Perkembangan seorang anak/individu itu sendiri dimulai dari sejak kandungan hingga anak beranjak dewasa dan lansia. Jika mengalami hambatan/permasalahan (di usia mana pun), maka kemungkinan akan memunculkan permasalahan perkembangan selanjutnya.Perkembangan anak tidak hanya meliputi satu aspek, melainkan banyak aspek yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan emosi dan perkembangan sosial.

Sejak lahir, orang tua  dapat mengoptimalkan perkembangan dengan memberikan ASI ekslusif. Selain untuk kebutuhan pertumbuhan fisik bayi, saat pemberian ASI ibu juga memberikan pemenuhan kebutuhan psikis seperti rasa aman, nyaman, dan memunculkan trust pada bayi. Perkembangan selanjutnya hingga anak berusia 2 tahun, pengoptimalan juga dapat menggunakan stimulasi yang bersifat sensoris-motorik yaitu melibatkan indera seperti penglihatan, pendengaran, sentuhan dan kegiatan-kegiatan yang melibatkan motorik seperti berlari, memanjat, dan lain-lain. Hal itu sangat efekif dilakukan karena saat itu perkembangan kognisi anak (menurut piaget) berada pada tahapan sensoris motorik.

Pengembangan kemampuan-kemampuan anak dengan usia toodler (balita), bisa lebih diperbanyak dengan cara bermain dan eksplorasi. Kemudian juga mengikutsertakan latihan bantu diri yang disesuaikan dengan kesiapan masing-masing anak. Jadi sebelum proses pengoptimalan, orangtua perlu memenuhi kebutuhan dasar anak. Kebutuhan dasar anak yang diperlu dipenuhi adalah Asah (stimulus bermain/pendidikan), ASIH (kasih sayang), Asuh (kebutuhan nutrisi, kesehatan, imunisasi, dan lain-lain).

Tumbuh kembang anak juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Pencapaian yang optimal dapat dipersiapkan dan dicegah sejak dini.Pendidikan dan pengetahuan terkait tumbuh kembang anak diperlukan dalam pengoptimalan masa golden ageserta proses monitoring tumbuh kembang anak. Orang tua perlu membawa anak ke klinik tumbuh kembang secara berkala untuk memastikan bahwa anak tumbuh sesuai fasenya. Selain faktor eksternal, faktor internal seperti IQ, tempramen, dan bawaan lahir dan bersifat genetis sangat berpengaruh. Pada masa ini, terdapat proses modeling (meniru) terutama orang tua. Kedokteran modern menyebutkan bahwa peran orang tua menjadi yang utama dalam mempersiapkan anak yang berkualitas. Bahkan, paparan negatif dari luar bisa diatasi dengan model positif dari orang tua.

Bermain adalah sarana belajar anak untuk mengembangkan kemampuan sosial dan interaksi. Dimulai pada usia 6 bln kegiatan tummy time adalah kegiatan terbaik buat stimulus bayi (babycentre.com).Tugas orang tua adalah mendampingi anak ketika bermain. Terkait motorik kasar anak, usia 2 tahun pertamapenting untuk melatih motorik kasar (sesuai tahapan perkembangannya). Merangkak memang salah satu tahapan yang penting dialami untuk melatih keseimbangan anak. Kegiatan motorik kasar yang bisa dilakukan beragam sekali, utamanya kegiatan outdoor: berjalan, melompat,naik tangga, meniti jembatan, memanjat dan lainnya.

Usahakan anak tidak terlalu sering digendong agar mereka bergerak. Karena jika tuntutan motorik kasar tidak tuntas,dampaknya tidak hanya gangguan keseimbangan (mudah jatuh, mudah nabrak, lari seperti kurang stabil), bahkan juga ada potensi gangguan konsentrasi, dan ini pengaruhnya baru bisa dirasakan ketika anak sudah dalam usia sekolah. Orangtua perlu tahu tuntutan tahapan perkembangan anak, agar stimulasi yang diberikan tepat dan efektif. Jangan sampai perkembangan pesat, tetapi ada step yang terlewat.

Pada usia selanjutnya, bermain tidak hanya aktifitas fisik, bisa juga duduk tenang seperti bermain puzzle, mewarnai, dan aktivitas kreatif lainnya. Mengatasi anak yang sangat aktif, perlu peran kedua orang tua, bergantian menemani agar orang tua tetap bisa bersama dengan anak dan berbagi peran.Memilih permainan yang memungkinkan orang tua bisa menemani sambil beristirahat (seperti puzzle, yang sifatnya tidak bergerak aktif). Satu hal yang perlu diketahui bahwa anak aktif adalah ciri anak sehat.Hiperaktif yang justru menunjukkan adanya gangguan. Penyebab hiperaktif merupakan gangguan genetic, dan dalam penegakan diagnosis hiperaktif atau ADHd perlu proses yang panjang. Jika anak mengalami temper tantrum, itu disebabkan karena terkendala kosakata (biasanya terjadi pada anak yang baru bisa bicara), ia ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak dimengerti oleh orang disekitarnya sehingga anak frustasi.Jadi, orang tua diminta mengenali emosi anak, sehingga orang tua bisa membantu anak untuk “menamakan” emosi tersebut.

Tahun-tahun pertama anak adalah yang sangat penting karena merupakan proses tumbuh kembang fisik, perkembangan kecerdasan, keterampilan motoric, serta sosial emosi yang sangat cepat dan menentukan masa depan anak. Anak bukanlah miniatur orang dewasa sehingga perbedaan kecepatan pertumbuhan bagian-bagian tubuh harus dihadapi dengan perlakuan khusus. Berikut perkembangan yang terjadi pada golden age:

  1. Perkembangan emosi

Melakukan stimulasi perkembangan emosi karena masa anak adalah masa kritis perkembangan emosi. Kematangan emosi akan berpengaruh pada perkembangab pribadi. tidak membuat anak stres karena mempengaruhi perkembangan emosi. Ibu harus menyeimbangkan antara emosi yang menyenangkan dan emosi yg tdk menyenangkan.

  1. Perkembangan sosial

Memperkenalkan lingkungan sosial ke anak mulai dari keluarga dan masyarakat.

  1. Perkembangan moral

Menanamkan moral agama pada anak seperti taqwa. Mengajarkan agar paham norma/tingkah laku yang baik dan jelek.

  1. Perkembangan intelegensi

Menstimulasi melalui permainan2 seperti mengajak anak bermain menggunakan permainan APEK (Alat Permainan Edukatif Konstruktif).

Secara garis besar tahap perkembangan anak dalam dua tahun pertama adalah masa bayi sedangkan dari usia 3-5 tahun merupakan masa pra-sekolah. Dalam tahap-tahap perkembangan itu, ibu seharusnya melakukan stimulasi dini dan memantau perkembangan anak berdasarkan milestone child development yang menyangkut berbagai aspek yang disebutkan. Tidak lupa asah, asih, asuhnya. Asuh yaitu kebutuhan fisis seperti makanan, kebutuhan dasar, papan, sandang, higienis, rekreasi yang terjaga. Asih yaitu kebutuhan emosi dan kasih sayang seperti memberi ikatan yang erat serasi selaraa antara ibu dan anak. Asah yaitu kebutuhan stimulasi mental yang merupakan cikal bakal proses belajar pendidikan dan pelatihan. Dimulai sedini mungkin semenjak dalam kandungan hingga lahir seperti mendekap bayi saat lahir.

Menjadi orangtua adalah amanah yang berat, oleh karena itu orangtua harus memiliki pengetahuan mengenai mendidik dan merawat anak sesuai masa pertumbuhan dan perkembangan nya. Mari manfaatkan Golden Age ini sebagai kegiatan utama dalam membangun bangsa yg sedang sakit ini.

“Punya anak itu lucu, tapi tidak ada istilah lucu-lucuan dalam mengurus anak. Kalau memang tidak mau belajar bagaimana mengurus anak dengan baik, lebih baik tidak usah punya anak” (Prof.Nanan, Sp.A)

(6 Juni 2015, Diskusi FC#4)

Pemantika: 1. Rolla Apnoza (Psikolog Klinis Anak, Alumni FIM 6)

  1. DR.Dr.Eddy Fadlyana., SpA(K), M.Kes. (Staf Pengajar FK Unpad-Dept. Ilmu Kesehatan Anak, Divisi Tumbuh Kembang dan Ketua UKK Tumbuh Kembang Ikatan Dokter Anak Indonesia-IDAI)

 

Moderator: Syahidah FIM 17

Notulis: Afifah FIM 17

Referensi tambahan
1. Baby Book – dr.Sears

  1. WHO Growth Chart
  2. Denver Milestone

Buletin FIM Club #4 Pendidikan Parenting++

Haiiii PenTingersss…

Ada Kabar Gembira.. kini FC#4 sudah ada ekstrak PDFnya loohhh dalam bentuk buletin PenTing++

Ektraknya bisa diperoleh di link berikut:

Buletin PenTing Jilid 1: https://www.dropbox.com/s/18gqd23qpjzr8xq/Buletin%20PenTing%20Jilid%201.pdf?oref=e

Buletin PenTing Jilid 2: https://www.dropbox.com/s/8w1ff4czba082un/Buletin%20PenTing%20jilid%202.pdf?dl=0

Buletin PenTing Jilid 3: https://www.dropbox.com/s/9c4o3vrkj15hg3n/Buletin%20PenTing%20%20jilid%203.pdf?dl=0

Selamat Menikmati 🙂

Semoga Bermanfaat 🙂

Terima Kasih 🙂